10 Januari 2014
KETIKA “OPLOSAN” MENGGOYANG PIKIRAN DAN HATI
Oleh: Nurul Iman
Istilah oplosan belakangan ini begitu masyhur dan akrab di telinga setiap orang di negeri ini disebabkan jatuhnya banyak korban meninggal di berbagai wilayah Indonesia akibat menenggak minuman tersebut. Booming lagu “oplosan” dengan goyangnya yang khas yang popular oleh acara YKS dengan bintang Shoimah dkk. juga turut menumbuhkan suburkan istilah oplosan. Hanya saja, ternyata pesan moral dalam lagu Oplosan tidak mempan membujuk para penikmat minuman “api” tersebut untuk meninggalkannya, karenya ternyata lagu Oplosan lebih enak dinikmati jogetnya dari pada diresapi makna yang terkandung di dalamnya.
Banyak orang menikmati lagu Oplosan tanpa mengerti makna syair-syairnya terbukti dari terus membludaknya animo penonton live show YKS disamping rating acara yang terus melambung. Goyang oplosan telah menghipnotis banyak kalangan yang memang mentradisikan hiburan murah untuk melepas penat selepas bekerja seharian, apalagi jika diselingi dengan adanya hadiah berus uang cash dalam game-game yang dibawakan para host acara ini. Joget Oplosan dan semisalnya yang diusung YKS telah berhasil melahirkan banyak artis baru sekaligus mempopulerkan kembali artis-artis lama.
Kesuksesan goyang oplosan untuk menghadirkan kegembiraan dan hiburan bagi banyak orang ternyata memicu kekhwatiran banyak kalangan lain. Banyak pakar agama dan pemerhati pendidikan justru merasa prihatin dengan fenomena merebaknya joget oplosan tersebut. Tokoh KPAI dan pemerhati anak Seto Mulyadi misalnya menilai goyangan tidak mendidik dan berdampak buruk bagi perkembangan anak Indonesia. Mahfudz Sidiq dari Komisi I DPR (yang membidangi penyiaran) menyebut kehadiran goyang seperti oplosan merupakan bukti bahwa lembaga penyiaran saat ini tidak memiliki standar pembuatan program yang berdasarkan kebudayaan Indonesia.
Secara jujur rasanya memang sulit untuk mengatakan bahwa joget semisal Oplosan tidak membawa dampak apa-apa terhadap jiwa para penonton termasuk kita. Goyangan pinggul, pakaian minim, lekukan diri para penyanyi serta iringan musik yang menghentak selain memicu goyangan para penonton juga akan menghadirkan sensasi erotisme dan fantasi seks orang normal. Selain menggoyang fisik setiap penonton, goyang Oplosan dan semisalnya dapat pula menggoyang hati, pikiran, atau bahkan meruntuhkan keimanan para penikmat acara tersebut.
Kita sulit pula membayangkan dengan apa yang terjadi pada genarasi mendatang bangsa ini jika mereka terus menerus menikmati hiburan yang tidak mendidik. Jika lagu yang selalu didengar dan disenandungkan semisal “Cinta Satu Malam” “Satu Jam Saja”, “Belah Duren”, “Wanita Lubang Buaya” atau yang lebih dahsyat lagi, dan yang ditonton videonya lalu diikuti adalah goyangan-goyangan erotis-sensualnya dengan ritmik sesuai dengan judul-judul lagu tersebut, maka akan lahirlah generasi-generasi penikmat goyang yang akan mengusung pergaulan bebas serta permisifisme hidup. Akibatnya, dipastikan kesetiaan terhadap pasangan dan makna dan sakralitas lembaga pernikahan akan hilang.
Jika yang terjadi adalah demikian, maka rasanya tidak salah dengan pendapat ulama yang mengharamkan musik dari pada menghalalkannya dengan alasan dar’u al-mafsadhat (meninggalkan kerusakan) harus diutamakan dari pada jalb al-maslahah (menjemput kemaslahatan. Ulama, semisal Yusuf al-Qardhawi yang memperbolehkan musik bisa jadi akan berpaling mengharamkannya disebabnya banyaknya mafsadat dalam musik saat ini dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Wallahu a’lam.
UTR (UJIAN TENGAH RAMADHAN)
Ramadhan sering diidentikkan dengan bulan tarbiyah, bulan pendidikan. Melihat durasinya, Ramadhan menurut menulis memang merupakan masa pendidikan 2 semester. Bukankah dalam sebuah semester, tatap muka setiap materi pembelajaran biasanya berlangsung selama 14 hingga 16 kali? Jika hari-hari berpuasa Ramadan adalah 29/30 hari, tidakkah jumlah itu ekuivalen dengan 2 buah semester pembelajaran? Sebuah masa pembekalan pendidikan ideal yang telah dirancang Allah Rabbul izzati untuk charge keimanan dan ketakwaan kaum beriman. Subhanallah.
Madrasah/sekolah Ramadhan berarti sebagai bulan tempat belajar dan masa menempa diri dengan nilai-nilai agama agar terinternalisasisi dalam kehidupan nyata. Sependapat dengan hal tersebut, Ramadhan memang merupakan sebuah “sekolah tinggi” yang dirancang Allah berulang terjadi setiap tahun. Prodinya adalah manajemen taqwa. Syarat belajar dan kuliah di dalam sekolah tinggi Ramadhan adalah muslim beriman, akil, baligh, dan tidak dalam keadaan sakit atau musafir.
Sekolah tinggi Ramadhan merupakan universitas terbuka ilahiyah dengan model perkuliahan turorial mandiri, dengan kontrak kuliah individual antara seorang manusia sebagai seorang hamba dengan Tuhannya, disebabkan status “rahasia” ibadah puasa Ramadhan sesuai dengan janji Allah yang menyebut puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh-Nya dana karenannya hanya Dialah sendiri yang berhak memberikan besaran pahalanya. As-shaumu li, wa ana ajzi bih.
Mata kuliah wajib yang harus ditempuh dalam sekolah dua semester ini adalah: 1) menahan lapar dan dahaga; 2) menahan nafsu syahwat/biologis; 3) menahan diri dari hal-hal yang dapat merusak nilai puasa; dan semuanya dilakukan mulai terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Sedangkan mata kuliah tambahannya adalah: kejujuran, kedermawanan dan empati sosial, kesederhanaan, qiyamullail, tadarus al-Qur’an. Keberadaan mata kuliah pilihan tersebut menegaskan bahwa nilai yang dicapai mahasiswa sekolah Ramadhan akan sangat berbeda satu sama lainnya, sebanding dengan banyaknya mata kuliah tambahan yang diambil. Semakin tinggi. Karenanya, ada yang dalam isi transkripnya haya ditulis nilai mata kuliah wajib. Ada pula yang ditulis nilainya ditulis lengkap, dengan menyebut seluruh mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan. Hai ini disebabkan usaha mahasiswa tersebut secara nyata untuk melakoni dan menempuh tantangan keseluruhan mata kuliah tersebut.
Ketika memasuki pertengahan Ramadhan seperti ini, wajib bagi setiap shaim yang merupakan mahasiswa ST Ramadhan melakukan kalkulasi/muhasabah diri tentang efektifitas pelaksanaan “perkuliahan” Ramadhan dengan segala mata kuliah wajib maupun sunnahnya. Sejumlah pertanyaan perlu disusun dan diajukan kepada diri sendiri tentang apakah puasa Ramadhan yang dilaksanakan telah berjalandengan baik. UTS (ujian tengah ramadhan) ini dimaksudkan agar jika terdapat kekurangan-kekurangan selama pelaksanan setengah Ramadhan pertama, hal tersebut dapat diperbaiki dalam paruh kedua. Jika usaha perbaikan ini dilakukan, tentunya keberhasilan dalam berpuasa Ramadhan akan dapat diraih. Soal-soal dalam “ujian akhir semester” Ramadhan nanti juga akan mudah dijawab.
Berkenaan dengan perbaikan ibadah lewat muhasabah diri tersebut telah diingatkan Umar bin Khattab dalam sunan al-Tirmidzi. Beliau berpesan “hasibu anfusakum qabla an tuhasabu, wa tazayyanu lil ‘ardhi al-akbari” atau hitungkah kekurangan diri kalian (dalam ibadah dan amal) sebelum kalian akan dihitung dan persiapkan diri untuk dihadapkan ke hadirat Allah kelak. Dengan demikian, muhasabah terhadap pelaksanan puasa Ramadhan mutlak dilakukan. Selamat menempuh UTR, Ujian Tengah Ramadhan.Semoga sukses.
“BAKARLAH” DOSAMU
Oleh: Nurul Iman
Seorang guru kenalan saya di Trenggalek yang berbatasan dengan Ponorogo, bercerita tentang keadaan murid-murid SMP tempat ia mengajar. Menurutnya, secara guyonan anak-anak di daerah itu jika ditanya bagaimana dengan penguasaan pelajaran mereka selalu saja menjawab “thithik-thithik pak”. Kata “thithik” yang disampaikan tersebut bukan berarti “sedikit-sedikit”(dalam bahasa jawa) tetapi kegiatan membantu orang tua berupa memukul-mukul batu dengan palu agar dapat dijadikan koral, sebuah bahan material bangunan. Mereka menjadikan kesibukan thithik batu sebagai alasan ketidakmampuan mereka untuk menguasai pelajaran dan menjawab pertanyaan guru.
Tidak ada yang salah dengan kegiatan “thithik” yang nota bene yang dianggap sebagai kegiatan kasar tersebut, karena dalam Islam semua pekerjaan halal untuk mengais rezeki adalah sesuatu yang mulia. Rasulullah SAW pernah menciumi tangan sahabat yang kasar dan menyebutnya sebagai tangan yang akan membawa pemiliknya menuju sorga. Yang belum pas adalah, jika anak-anak di usia sekolah menelantarkan belajar dan mengulangi pelajarannya disebabkan kegiatan yang dianggap dapat menghasilkan uang. Andai, kegiatan tersebut dilakukan secara berimbang, antara belajar dan bekerja, tentu merupakan point plus bagi para siswa tersebut.
Kegiatan “thithik” yang dilakukan dengan memukul batu perbatu, merupakan aktifitas yang perlahan dan pasti yang akan menghabiskan tumpukan bahkan gunungan batu, meski dilakukan secara manual. Tidak heran jika akhirnya banyak bukit ludes, dan sungaipun akan kehabisan batu-batunya, disebabkan aktifitas thitik-thithik tersebut yang setiap harinya membutuhkan material.
Setiap manusia akan selalu memproduksi krikil-krikil dosa lewat kesalahan-kesalahan yang dilakukan, yang dimungkinkan akan menjadi gunung kesalahan (jibal al-sayyiat) jika dibiarkan tanpa adanya “penebusan” melalui taubat. Rasulullah SAW dalam riwayat al-Tirmidzi (hadith 2423) dan Ibn Majah (hadith 4241) menyebut setiap manusia sebagai khatta’ atau sering melakukan kesalahan. Sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat. Gunung-gunung kesalahan harus segera dihancurkan lewat thithik-thithik semisal istighfar. Melakukan istighfar harus dilakukan berkali-kali dan berkelanjutan, agar proses penghancuran dan penebusan dosa dapat mengimbangi laju produksi tumpukan dosa. Sesuai dengan kaidah la kabirata ma’a al-istighfar wala saghirata ma’a al-istimrar, maka tumpukan dosa kecil tidak akan menjadi besar jika terus menerus dikikis dengan istighfar. Sebalikknya dosa kecil akan membesar dan menggunung jika diabaikan dan dilakukan secara terus menerus. Rasulllah SAW sebagai panutan kita telah mencontohkan dengan ber-istighfar sebanyak 70 kali sehari atau 100 kali dalam riwayat lain (Tirmidzi: 3182).
Bulan Ramadhan adalah momen berharga bagi pertaubatan setiap muslim. Allah telah menyediakan bulan ini sebagai yang dipenuhi rahmat (kasih sayang) dan maghfirah (ampunan)-Nya. Tidak berlebihan bahwa kesalahan dan dosa setiap muslim antara dua ramadhan akan dihapuskan Allah, jika saja dosa-dosa besar dapat dihindari. Setiap kebaikan seorang yang shoim akan dilipatkan pahalanya sekehendakNya sebagai balasan atas ketaatan yang dilakukan dengan meninggalkan makan dan minum. Allah menegaskan dalam hadits qudsi, wa ana ajzi bihi atau dan "Akulah yang akan membalasnya sendiri".
Momen ramadhan merupakan saat paling efektif bagi kita untuk melakukan tithik-tithik terhadap dosa-dosa kita dikarenakan disebabkan fasilitas Allah di dalam bulan ini dengan melipatkan pahala setiap kebaikan orang yang berpuasa termasuk jika ia melakukan taubat. Jika taubat itu dipadu dengan do’a sayyid al-istighfar (penghulu istighfar) atau do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah (ma’tsurat) maka dampaknya akan semakin dahsyat dan hebat. Ibarat menghancurkan gunung dosa dan kesalahan, maka kita mempergunakan palu godam yang besar atau bahkan sebuah dinamit. Mudah-mudahkan, kita secara produktif dapat menghilangkan banyak dosa.
Dengan demikian tidak tidak salah jika bulan ini disebut ramadhan, merujuk kepada maknanya secara bahasa yang berarti panas membakar. Bukankah syetan “kepanasan” terhadap banyaknya amal ibadah dan amal sholeh kita sehingga dosa-dosa kita juga akan hilang “terbakar”. Karenanya, saatnya kita terus memperbanyak amalan-amalan kita dan melanggengkan taubat agar kita akhirnya dapat diampuni. Bakarlah dosa-dosamu.
1 Agustus 2012
MENJADI SHAIM SEJATI DI NEGERI “WANI PIRO”
Oleh: Nurul Iman
Tagline “wani piro” yang diusung iklan salah satu produk rokok terkenal begitu akrab di telinga setiap orang. Ungkapan itu seringkali meluncur bahkan dari mulut anak-anak kecil baik secara serius maupun guyonan. Ketika diperintahkan untuk melakukan suatu pekerjaan misalnya, maka jawaban yang muncul adalah “wani piro”?. Mereka menuntut upah untuk tugas yang dibebankan.
Ungkapan wani piro dalam Iklan tersebut sebenarnya merupakan sindiran terhadap kenyataan hidup dan budaya suap yang telah menghegemoni kehidupan bangsa ini dalam segala urusannya. Jika dunia jin yang merupakan dunia ghaib pun tidak luput dari suap, maka dalam dunia nyata manusia, tentunya praktik sogok tersebut dapat lebih parah kenyataannya. Tidak hanya dalam urusan birokrasi dan penegakan hukum, urusan sosial kemasyarakatan sering kali tidak luput dari praktik suap, tip, pelicin, sogokan atau apalah istilahnya. Bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang mewajarkan tradisi “amplop” dalam segala urusannya, meski sebenarnya urusan itu telah tercover dalam anggaran resmi sebuah institusi pemerintahan, ataupun justru tidak perlu diberikan tip karena telah menjadi tanggung jawab pekerjaan seseorang. Beda antara hadiah dan sogokpun menjadi samar. Banyak urusan hanya bisa lancar dengan uang. Bangsa ini juga lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dibandingkan harus bersusah payah berusaha mendapatkannya dengan cara normal, wajar, dan lebih beradab.
Kasus-kasus korupsi yang diekspos berbagai media belakangan ini menunjukan bahwa banyak pejabat dan wakil rakyat negeri ini kehilangan kepekaannya terhadap nasib rakyat dan kepeduliannya kerugian negara. Demi menimbun kekayaan pribadi, maka proyek-proyek negara pun diperdagangkan, sehingga kualitas proyek dan bangunan tidak lagi diprioritaskan. Sementara itu, liputan investigatif berbagai stasiun televisi tentang produksi bahan makanan, jajanan olahan dan minuman baik yang dilakukan dalam skala kecil maupun besar, menunjukkan laku keculasan yang telah membudaya di kalangan produsen. Penggunaan zat-zat berbahaya seperti pemutih, boraks, pewarna sintetis, dan bahan pengawet telah merambah beras, daging, ayam, ikan asin, tahu, tempe, kerupuk, bakso, siomay, buah-buahan, dan bahkan sayur-sayuran. Semuanya dilakukan atas nama mendapat keuntungan dan keumuman. Kebohongan dan keculasan menjadi sesuatu yang umum, sementara kejujuran, kepolosan, dan kewajaran menjadi sesuatu yang aneh.
Kita menjadi tidak nyaman dengan pelayanan birokrasi yang tidak memiliki standar yang jelas dan baku, menjadi khawatir dengan penegakan hukum yang diperjualbelikan sehingga tidak adil, atau bahkan menjadi takut dengan apa yang kita konsumsi dan makan dalam keseharian tentang kehalalan maupun hieginitas kandungannya. Kenyataan ini seakan menempatkan kita dalam “neraka” dunia di kehidupan bangsa ini. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis sahih bahwa kejujuran akan menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan akan menuntuk menuju surga. Sedangkan kebohongan akan menuntun kepada kekejikan, dan kekejian akan menuntun kepada neraka (HR. Bukhari dan Muslim). Neraka adalah tempat kembali di akhirat, yang di dalamnya disediakan berbagai siksaan bagi para durjana, termasuk pembohong di dalamnya. Dalam konteks kehidupan dunia, neraka itu dapat dimaknai sebagai ketidakpastian, kecemasan, ketidakadilan, maupun ketakutan yang menghantui masyarakat. Sebaliknya, surga dunia dapat berupa kenyamanan, keadilan, dan keamanan.
Ajaran kejujuran merupakan salah satu nilai agama yang mulai memudar dalam kehidupan bangsa ini. Mencari birokrat yang jujur tidaklah mudah, sebagaimana sulit mencari hakim dan penegak hukum yang setia kepada keadilan, atau menemukan wakil rakyat yang setia pada para pemilihnya. Meskipun, negara ini dikenal dengan negara dengan produk undang-undang terbanyak, tetapi keteraturan sosial, ketaatan pada hukum dan kesetiaan pada nilai-nilai peraturan masih merupakan hal yang langka. Laku jujur supaya makmur, kalah populer dengan laku lacur agar tidak hancur serta segera makmur.
Mayoritas penduduk negeri ini yang turut menjalankan puasa Ramadhan belum menjamin bahwa ajaran kejujuran menjadi salah satu nilai yang dipedomani bersama. Padahal makna puasa sesungguhnya sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam berbagai hadis tidak hanya meninggalkan makan, minum, dan penyaluran hasrat biologis di siang hari, tetapi juga harus mengejawantah dalam bentuk ketaatan kepada Rabb, kesabaran, pengendalian diri dan emosi, menebar kebajikan, kesederhanaan, dan laku kejujuran. Sebaliknya, segala bentuk keburukan, perbuatan keji, dan kebohongan harus dapat dihindari.
Pemahaman yang utuh terhadap konsep puasa akan melahirkan shaimin dan shaimat yang sejati yang berkesempatan mentas pada akhir Ramadhan menjadi pribadi-pribadi bertaqwa. Karenanya menjadi tugas bersama untuk mendidikkan konsep tersebut dimulai dari diri sendiri dan keluarga, lalu menuju masyarakat luas dan bangsa ini. Nilai-nilai luhur puasa utamanya kejujuran hendaknya dapat ditanamkan secara kokoh dan dipedomani dalam pendidikan, perdagangan, penyelenggaraan pemerintahan dan seluruh aspek kehidupan. Ibda’ binafsik, mulailah dari diri sendiri. Ibarat membuat medan magnit, maka medan magnit kejujuran harus diusahakan mulai dari yang terkecil, lalu dapat membesar, dan membesar sehingga perlahan tapi pasti dapat menggantikan medan magnit kebohongan yang telah mengakar dan terlanjur membesar.
Membentuk budaya jujur tidaklah mudah, sesulit menjadi shaim sejati di tengah masyarakat bangsa ini. Tetapi jika gerakan laku jujur ini berjalan dan sukses, tidak ada yang diuntungkan kecuali diri kita sendiri. Ketentraman, kedamaikan, keamanan, dan keteraturan sosial akan menjadi atmosfir yang melingkupi kehidupan bermasyakat dan berbangsa. Sungguh benar yang apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis al-Tirmidzi bahwa al-sidqa tuma’ninah wa al-kadzib raibah (kejujuran adalah ketentraman dan kebohongan adalah kegalauan). Mari belajar untuk dapat berpuasa dengan sebaik-baiknya, agar dapat merengkuh ketaqwaan sebagaimana dijanjikan Allah, laallakum tattaqun. Wallahu a’lam.
20 Juli 2012
KEPOMPONG RAMADHAN
“Telur-telur, ulat-ulat, kepompong, kupu-kupu, kasihan deh luu”, demikian bunyi nyanyian yang sering dicelotehkan anak-anak ketika bermain dan ingin mengolok teman yang sedang kalah dalam permainan mereka. Dalam nyanyian tersebut tergambar daur hidup serangga bernama kupu-kupu. Diawali dari telur, menjadi ulat, menjadi kepompong, lalu berubah menjadi kupu-kupu, sebuah entitas yang mengambarkan puncak keindahan dan keelokan makhluk tersebut.
Untuk menjadi kupu-kupu indah, seekor ulat yang pada awalnya terlihat menjijikkan harus berjuang membuat kepompong, menyendiri di dalamnya, dan berhenti dari makan dan minum. Semuanya membutuhkan waktu cukup lama, yakni 7-20 hari, tergantung jenisnya. Ulat itu lalu harus bersusah payah untuk dapat keluar dari kepompong dengan sendirinya. Perjuangan tersebut yang dapat menghantarnya menjadi kupu-kupu cantik, yang dapat bebas terbang dan menjelajah lebih luas jengkal daratan dunia dibanding saat makhluk itu masih berupa larva atau ulat.
Jika ulat saja harus berjuang dan berpuasa untuk dapat menjadi kupu-kupu indah, maka Allah berkehendak agar manusia juga berjuang dan berpuasa untuk dapat menjadi “pribadi indah”, alias muslim bertaqwa. Secara fisik, manusia beriman memang tidak bisa bermetamorfosis seperti kupu-kupu lewat perubahan bentuk tubuh, tetapi secara mental dan spiritual perubahan itu akan sangat kentara dalam cara pandang, sikap, perilaku dan aktivitas diri.
Muslim bertaqwa (la’allakum tattaqun) yang merupakan tujuan syariat puasa Ramadan, adalam gambaran puncak keindahan pribadi seorang muslim. Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 misalnya, Allah menyebut orang-orang bertaqwa adalah pribadi-pribadi penuh kebajikan yang ditandai dengan iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab Allah, dan kepada para nabi. Seorang bertaqwa juga gemar memberikan hartanya untuk kerabat, anak-anak yatim, faqir miskin, ibn sabil, peminta-minta, dan untuk upa membebaskan perbudakan. Ia juga mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mentaati perjanjian yang dibuatnya. Dalam surat Ali Imron ayat 133-135 misalnya, Allah menegaskan kembali dengan bahasa yang berbeda bahwa pribadi bertaqwa adalah mereka yang banyak berderma saat susah maupun lapang, penuh pengendalian diri terutama terhadap amarahnya, suka memaafkan, dan suka berbuat baik. Muslim bertakwa juga tidak larut dalam kesalahan dan dosanya, tetapi sebaliknya ia segera bertobat dan memohon ampun kepada Tuhannya.
Taqwa adalah puncak keindahan pribadi muslim dan mukmin. Paduan hubungan harmonis habl minallah yang berdimensi vertikal ilahiyah dan habl min al-nas yang berdimensi horizontal sosial kemasyarakatan. Tidak berlebihan jika Rasulullah menyebut tidak beriman seseorang yang tidak mencintai sesamanya sebagaimna ia mencintai diri sendiri (HR. Bukhari: 12). Rasul seraya bersumpah sebanyak tiga kali, juga menyebut tidak beriman mereka yang tidak dapat menghindarkan tetangga dari kejahatan anggota badannya (HR. Ahmad: 8078).
Karena itu, ukuran kesuksesan puasa seorang muslim sejatinya dapat dilihat nilai tambah dirinya, dari sebelum puasa dan sesudahnya, yang nampak dalam dalam dua hal: 1). meningkatnya kualitas hubungan dan kedekatannya dengan Allah, sang Khalik. Setelah berpuasa, seorang muslim seharusnya semakin mantab imannya, semakin khusyu’ ibadahnya, serta semakin banyak dzikirnya. 2) meningkatnya kualitas hubungan dengan sesama manusia, baik dengan keluarga, sahabat atau masyarakat. Setelah berpuasa seorang muslim menjadi lebih santun, lebih sabar, perhatian, dan peduli terhadap sesama.
Ramadhan adalah “kepompong” perubahan seorang muslim dan mukmin agar dapat menjadi kaum muttaqin. Tentu hanya mereka yang mau dan berkenan berpuasa dengan sungguh-sungguh, memperbanyak kebaikan dan meninggalkan keburukannya, yang memiliki kesempatan untuk menjelma menjadi pribadi yang indah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak agar momen ramadhan ini berlangsung setiap tahun, agar setiap kita dapat menjadi indah dan semakin indah --seindah kupu-kupu--, penuh kebaikan diri dan bermanfaat dalama kehidupan di dunia, dan akhirnya dapat terbang ke langit surga suatu saat nanti. Amiin, insya Allah.
13 Maret 2012
BORN TO TEACH
Seorang teman berolah raga badminton yang telah menjadi orang tua bagi satu orang anak, mengeluh tentang perkembangan putranya di sekolah terutama berkenaan dengan perilaku dan akhlaknya terhadap kedua orang tua. Ada kesan bahwa yang bersangkutan “menyalahkan” sekolah atas ketidak berhasilan menanamkan akhlak tersebut. Sambil terus mendengarkan curhat teman tersebut, saya terus membatin, bukankan pendidikan akhlak dan mental anak, bahkan pendidikan secara umum, seharusnya tetap menjadi tanggung jawab orang tua, sedangkan sekolah hanyalah membantu.
Membebankan seluruh tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah tidaklah benar. Bukankan kemampuan sekolah dan guru sangat terbatas, demikian pula alokasi waktu yang dimilikinya. Seorang anak menghabiskan seperempat atau sepertiga waktunya di sekolah, sementara tiga perempat lainnya habis di luar sekolah, termasuk juga rumah. Bahwa sekolah efektif harus mampu membelajarkan anak, turut membentuk budaya kebaikan dan menanamkan nilai-nilai unggul dalam diri anak, hal itu tidaklah dipungkiri, tetapi semuanya itu tidak akan berhasil jika keluarga dan orang tua tidak mengambil perannya yang sangat strategis dan khas. Peran orang tua tetap tidak tergantikan oleh pihak lain.
Ungkapan para orang tua yang sering menyebut bahwa perkataan guru di sekolah lebih digugu dan ditiru tidaklah sepenuhnya benar. Seorang guru di sekolah memang lebih mengetahui metode dan strategi yang tepat untuk menanamkan pengaruhnya kepada anak. Tetapi ikatan emosional antara orang tua dan anak sebenarnya merupakan modal yang lebih efektif dalam menanamkan pengaruh dan mendidikkan sebuah nilai . Apalagi jika orang tua melengkapi ikatan emosi tersebut dengan kemampuan komunikasi yang baik, strategi pendidikan yang jitu. Pendidikan di dalam rumah akan menjelma menjadi “sekolah” yang dahsyat melengkapi pendidikan formal sekolah.
Setiap orang sejatinya adalah guru kebaikan maupun keburukan. Para orang tua adalah “guru” bagi para putranya. Tidak berlebihan jika dalam pepatah Arab disebut bahwa ibu adalah guru utama (al-umm ustadz al-asatidzah ula) dan sekolah pertama bagi anak-anaknyan (Al-ummu madrasah). Mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik dan benar, sama dengan membangun sekolah pertama yang bermutu yang pada gilirannya memberikan dasar yang mapan bagi pendidikan formal pada masa berikutnya dan perkembangan fisik dan jiwanya.
Seseorang yang menyadari perannya sebagai guru –disamping peran-peran lain-- akan berusaha mengajarkan kebaikan dan memainkan peran tersebut demi menularkan virus-virus unggul dalam dirinya kepada setiap orang yang berada dalam jangkauan pengaruhnya. Ia akan merasa bahagia jika ada orang lain bisa belajar sesuatu dan mengambil pelajaran darinya. Sementara itu seorang yang tidak menyadari perannya sebagai guru, justru akan menjelma menjadi guru keburukan dengan bertindak seenaknya dengan menebar virus-virus buruk dirinya. Pilihan untuk menjadi guru kebaikan dan keburukan membawa konsekwensi logis bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Guru kebaikan selalu akan terus belajar dan menempa diri demi meningkatkan manfaat dirinya bagi orang lain. Sedangkan guru keburukan disebabkan ketidaksadarannya, akan terus terjerat oleh keburukannya sendiri karena hanya memperturutkan kesenangan hidup dan kepuasan nafsunya. Padahal di akhirat, nabi menyebut bahwa orang yang mengajarkan kebaikan akan menuai pahala yang sama dengan kebaikan orang yang mendapatkan pengajaran dan turunan pahala lain selama pelajaran tersebut terus diamalkan (man sanna sunnatan hasanatan fa lahu ajruha wa ajr man ‘amila biha). Sedangkan orang yang mengajarkan keburukan akan mendapatkan dosa seperti orang yang melakukan keburukan karena belajar darinya serta turunan dosa dari orang-orang yang diajarkan (man sanna sunnatan sayyiatan fa ‘alaiha wizruha wa wizru man ‘amila bihi ba’daha).
Dalam rangka memaksimalkan diri untuk menjadi guru kebaikan, seseorang perlu terus belajar dan mengembangkan diri. Secara formal proses ini dapat ditempuh dengan menempuh pendidikan di jurusan kependidikan sehingga bakat untuk mengajar akan tersebut terus tumbuh. Sedangkan secara non formal dan informal dapat ditempuh dengan belajar dari berbagai sumber seperti seminar, pelatihan, dan berbagai media cetak atau elektronik. Pengalaman orang lain merupakan masukan yang sangat berharga pula. Yang terpenting adalah terus belajar dan mengasah diri.
Menjadi guru kebaikan atau guru keburukan, adalah pilihan bebas kita tetapi yang pasti kita dilahirkan untuk menjadi guru atau born to teach. Mari persiapkan diri kita dengan berbagai ketrampilan mengasuh anak dan keluasan wawasan pendidikan yang baik. Wallahu a’lam
BORN TO TEACH
Seorang teman berolah raga badminton yang telah menjadi orang tua bagi satu orang anak, mengeluh tentang perkembangan putranya di sekolah terutama berkenaan dengan perilaku dan akhlaknya terhadap kedua orang tua. Ada kesan bahwa yang bersangkutan “menyalahkan” sekolah atas ketidak berhasilan menanamkan akhlak tersebut. Sambil terus mendengarkan curhat teman tersebut, saya terus membatin, bukankan pendidikan akhlak dan mental anak, bahkan pendidikan secara umum, seharusnya tetap menjadi tanggung jawab orang tua, sedangkan sekolah hanyalah membantu.
Membebankan seluruh tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah tidaklah benar. Bukankan kemampuan sekolah dan guru sangat terbatas, demikian pula alokasi waktu yang dimilikinya. Seorang anak menghabiskan seperempat atau sepertiga waktunya di sekolah, sementara tiga perempat lainnya habis di luar sekolah, termasuk juga rumah. Bahwa sekolah efektif harus mampu membelajarkan anak, turut membentuk budaya kebaikan dan menanamkan nilai-nilai unggul dalam diri anak, hal itu tidaklah dipungkiri, tetapi semuanya itu tidak akan berhasil jika keluarga dan orang tua tidak mengambil perannya yang sangat strategis dan khas. Peran orang tua tetap tidak tergantikan oleh pihak lain.
Ungkapan para orang tua yang sering menyebut bahwa perkataan guru di sekolah lebih digugu dan ditiru tidaklah sepenuhnya benar. Seorang guru di sekolah memang lebih mengetahui metode dan strategi yang tepat untuk menanamkan pengaruhnya kepada anak. Tetapi ikatan emosional antara orang tua dan anak sebenarnya merupakan modal yang lebih efektif dalam menanamkan pengaruh dan mendidikkan sebuah nilai . Apalagi jika orang tua melengkapi ikatan emosi tersebut dengan kemampuan komunikasi yang baik, strategi pendidikan yang jitu. Pendidikan di dalam rumah akan menjelma menjadi “sekolah” yang dahsyat melengkapi pendidikan formal sekolah.
Setiap orang sejatinya adalah guru kebaikan maupun keburukan. Para orang tua adalah “guru” bagi para putranya. Tidak berlebihan jika dalam pepatah Arab disebut bahwa ibu adalah guru utama (al-umm ustadz al-asatidzah ula) dan sekolah pertama bagi anak-anaknyan (Al-ummu madrasah). Mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik dan benar, sama dengan membangun sekolah pertama yang bermutu yang pada gilirannya memberikan dasar yang mapan bagi pendidikan formal pada masa berikutnya dan perkembangan fisik dan jiwanya.
Seseorang yang menyadari perannya sebagai guru –disamping peran-peran lain-- akan berusaha mengajarkan kebaikan dan memainkan peran tersebut demi menularkan virus-virus unggul dalam dirinya kepada setiap orang yang berada dalam jangkauan pengaruhnya. Ia akan merasa bahagia jika ada orang lain bisa belajar sesuatu dan mengambil pelajaran darinya. Sementara itu seorang yang tidak menyadari perannya sebagai guru, justru akan menjelma menjadi guru keburukan dengan bertindak seenaknya dengan menebar virus-virus buruk dirinya. Pilihan untuk menjadi guru kebaikan dan keburukan membawa konsekwensi logis bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Guru kebaikan selalu akan terus belajar dan menempa diri demi meningkatkan manfaat dirinya bagi orang lain. Sedangkan guru keburukan disebabkan ketidaksadarannya, akan terus terjerat oleh keburukannya sendiri karena hanya memperturutkan kesenangan hidup dan kepuasan nafsunya. Padahal di akhirat, nabi menyebut bahwa orang yang mengajarkan kebaikan akan menuai pahala yang sama dengan kebaikan orang yang mendapatkan pengajaran dan turunan pahala lain selama pelajaran tersebut terus diamalkan (man sanna sunnatan hasanatan fa lahu ajruha wa ajr man ‘amila biha). Sedangkan orang yang mengajarkan keburukan akan mendapatkan dosa seperti orang yang melakukan keburukan karena belajar darinya serta turunan dosa dari orang-orang yang diajarkan (man sanna sunnatan sayyiatan fa ‘alaiha wizruha wa wizru man ‘amila bihi ba’daha).
Dalam rangka memaksimalkan diri untuk menjadi guru kebaikan, seseorang perlu terus belajar dan mengembangkan diri. Secara formal proses ini dapat ditempuh dengan menempuh pendidikan di jurusan kependidikan sehingga bakat untuk mengajar akan tersebut terus tumbuh. Sedangkan secara non formal dan informal dapat ditempuh dengan belajar dari berbagai sumber seperti seminar, pelatihan, dan berbagai media cetak atau elektronik. Pengalaman orang lain merupakan masukan yang sangat berharga pula. Yang terpenting adalah terus belajar dan mengasah diri.
Menjadi guru kebaikan atau guru keburukan, adalah pilihan bebas kita tetapi yang pasti kita dilahirkan untuk menjadi guru atau born to teach. Mari persiapkan diri kita dengan berbagai ketrampilan mengasuh anak dan keluasan wawasan pendidikan yang baik. Wallahu a’lam
26 Januari 2012
TRAGEDI TUGU TANI, NAKOBA, DAN PROYEK PENDIDIKAN KITA
Nama Tugu Tani, yang sudah lama tidak diperhatikan oleh masyarakat Jakarta, kini menjadi ramai dibicarakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Dan Tugu Tani pun menjadi terkenal kembali, seakan bangkit dari tidur, seiring terjadinya tabrakan maut pada 22 Januari 2012 yang melibatkan pengemudi mobil Xenia yang merenggut 9 nyawa pejalan kaki dan melukai beberapa yang lainnya. Nama Apriani Susanti, seorang wanita bertubuh tambun, selaku pengemudi dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk dari narkoba yang dikonsumsinya. Penyelidikan kepolisian terhadap Apriani pun terus berkembang terutama berkaitan dari mana narkoba tersebut diperoleh.
Dalam kehidupan di keluarga, masyarakat sekitar dan tempat kerja, sosok Apriani dikenal sebagai pribadi yang baik, tetapi di balik itu ternyata terdapat rahasia yang bersangkutan tentang ketergantungannya pada Narkoba dan Miras. Tragedi tugu Tani, menyentakkan kesadaran kita bersama, betapa narkotika telah gaya hidup sebagian masyarakat kita, sehingga menjadi salah satu hantu yang menakutkan bagi kelanjutan bangsa ini dikarenakan mengancam para generasi muda dan menghancurkan mental mereka. Kenyataan ini sekaligus menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama khususnya kita para pendidik dan orang tua untuk lebih berhati-hati, lebih peduli, dan lebih teliti terhadap pendidikan dan perkembangan para anak-anak. Cukuplah bagi kita, agar Tugu Tani bisa menjadi lambang yang selalu mengingatkan tentang bahaya Narkoba. Tidak perlu jatuh korban yang lebih banyak lagi, dari anak-anak bangsa ini.
Istilah Narkoba atau narkotika dan obat-obatan dikenal dalam Islam sebagai khamar. Ulama menyebut bahwa kullu ma yukhamir al-aql fahua khamr (setiap sesuatu yang membutakan akal dapat disebut khamr). Dalam hadith Nabi yang diriwayatkan Imam Nasai dan Ahmad, Rasulullh menegaskan kaidah ini dengan ungkapan kullu muskirin khamr, wa kullu khamr haram (setiap yang memabukkan disebut khamr, dan setiap khamr pasti diharamkan). Berkenaan dengan kaidah tersebut maka khamar tidaklah terbatas pada minuman saja, tetapi mencakup segala sesuatu yang memabukkan seperti putau, heroin, ekstasi, dan lain sebagainya. Dan setiap yang memabukkan dalam Islam, hukumnya adalah haram.
Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan dalam Al-Baqarah ayat 219 bahwa dalam khamar terdapat manfaat dan madharat. Tetapi, manfaat yang didapat dari khamar ini tidaklah sebanding dengan besarnya madharat/ kerugian yang ditimbulkan (wa istmuhuma akbar min naf’ihima). Karenanya, tidak berlebihan jika narkoba yang merupakan bagian dari khamr sering diakronimkan dengan “Narik-Korban-Banyak”. Hal ini berarti bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh Miras dan Narkotika sangatlah banyak dan multidimensional. Secara singkat dapat disebut bahwa berkenaan kesehatan, narkoba dapat merugikan fisik penggunanya dengan merusak akal, jantung dan ingatan. Dalam kehidupan keluarga, ketergantungan terhadap narkoba akan menjadikan terceraiberainya keuangan rumah tangga dan terabaikannya hak-hak para penghuninya. Seorang bapak yang mencandu narkoba, biasanya menjadi acuh dan menelantarkan istri, anak dan keluarganya. Dalam kehidupan sosial, masyarakat penikmat narkoba menjadi terasing dari lingkungannya, kehilangan kepedulian pada orang lain, serta akan mengabaikan keselamatan diri dan bahkan orang lain seperti halnya terjadi pada Apriani dalam kejadian tabrakan di Tugu Tani.
Kerugian besar dari dampak narkoba juga nampak dari besarnya biaya yang harus dialokasikan untuk rehabilitasi pecandu Narkoba. Untuk dapat dapat melepas seseorang dari ketergantungan narkoba dibutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dalam hitungan Direktur BNN (Badab Narkotika Nasional) Benny Mamoto, pada tahun 2011 dana yang dibutuhkan dalam merehabilitasi 3,8 juta pecandu narkoba di Indonesia adalah sebesar 30 triliun setiap tahun. Sebuah angka yang fantastis, bagi bangsa ini. Andai dana tersebut dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak. Tidak berlebihan jika dihubungkan dengan dampak yang ditimbulkan narkoba, Allah kemudian melaknat semua pihak yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi khamar. Dalam hadits Abu Dawud dan Ibn Majah Rasulullah menegaskan bahwa Allah melaknat khamar sendiri, peminumnya, penuangnya, pemerah (pembuat) nya, yang meminta diperahkan (pemesan/pengorder), pembawanya (distributor), dan yang minta dibawakannya."
Tragedi Tugu Tani itu selayaknya menyulut kesadaran kita bersama untuk menyatakan perang terhadap narkotika dan penyebarannya di Indonesia. Yang perlu dicatat bahwa candu narkoba saat ini tidak lagi melanda kota-kota besar saja, tetapi telah melanda segenap masyarakat tanpa pandang bulu, melampaui batasan umur, jenis kelamin, suku bangsa, status keluarga, stasus sosial, dan gaya hidup. Narkoba telah betul telah menyebar dan mulai menggerogoti masyarakat Indonesia kita ini, secara sembunyi-sembunyi namun pasti. Banyak orang tua para pencandu yang mendadak shok melihat anak-anaknya telah terlibat penggunaan narkoba dan mengetahui tanda-tandanya terlebih dahulu.
Mengetahui seseorang telah mencandu narkoba memang tidaklah mudah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa narkoba membawa gejala kejiwaan yang aneh dalam diri seseorang, seperti menjadi pelupa. Hal ini dikarenakan narkoba dapat mengurangi memori dan daya ingat. Pencandu narkoba biasanya menunjukkan pemikiran yang sulit untuk dimengerti, mudah tersinggung, dan selalu menentang. Emosi diri seringkali tidak terkendali dan suka marah-marah. Selain itu, konsumsi narkoba juga sering menjadikan seseorang menjadi kurang bergairah, lemah, letih, dan lesu. Jika mendapati tanda-tanda tersebut, para orang tua dan pendidik harus waspada dan bertindak bijak untuk meneliti lebih lanjut, apakah memang hal tersebut disebabkan oleh konsumsi narkoba.
Genarasi muda adalah aset termahal bangsa ini. Jika mendidik mereka dapat diibaratkan seperti menumbuhkan pohon-pohon dalam kebun masa depan, tentunya kerjasama semua pihak mutlak diperlukan sesuai porsi masing-masing. Beban ini tidak saja melekat pada guru, orang tua, atau lembaga pendidikan saja. Hambatan-hambatan pendidikan seperti halnya narkoba, pornografi, serta perjudian tentu harus disingkirkan bersama agar masa depan bangsa ini tetap cerah sesehat dan secerdas generasinya yang tetap dapat tumbuh berkembang dalam iklim pendidikan yang bersih.
Semua orang dalam bangsa ini pasti menginginkan agar bangsa ini menjadi bangsa yang kokoh, kuat dan cerdas, bukan menjadi bangsa pecundang karena genarasinya menjadi pencandu dan pemadat narkoba. Rasulullah mengingatkan dalam hadist al-Bukhari, bahwa diantara tanda-tanda hari kiamat adalah membudayanya kebodohan dan sedikitnya ilmu (pemahaman), berkembangnya perzinaan, dikonsumsinya khamar, dan sedikitnya jumlah laki-laki dibandingkan perempuan. Jika kita tidak terlibat dan bekerja sama dalam menanggulangi narkoba dan penyebarannya di Indonesia ini, bukan tidak mungkin bangsa ini dapat kiamat dan hancur, sehancur generasi muda penerusnya. Bukankan angka pencandu narkoba yang saat ini berjumlah 3,8 juta akhirnya bisa saja membengkak menjadi 38 juta, dan seterusnya, jika tidak ada upaya untuk menanggulanginya? Naudzubillah min dzalik.
TRAGEDI TUGU TANI, NAKOBA, DAN PROYEK PENDIDIKAN KITA
Nama Tugu Tani, yang sudah lama tidak diperhatikan oleh masyarakat Jakarta, kini menjadi ramai dibicarakan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Dan Tugu Tani pun menjadi terkenal kembali, seakan bangkit dari tidur, seiring terjadinya tabrakan maut pada 22 Januari 2012 yang melibatkan pengemudi mobil Xenia yang merenggut 9 nyawa pejalan kaki dan melukai beberapa yang lainnya. Nama Apriani Susanti, seorang wanita bertubuh tambun, selaku pengemudi dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk dari narkoba yang dikonsumsinya. Penyelidikan kepolisian terhadap Apriani pun terus berkembang terutama berkaitan dari mana narkoba tersebut diperoleh.
Dalam kehidupan di keluarga, masyarakat sekitar dan tempat kerja, sosok Apriani dikenal sebagai pribadi yang baik, tetapi di balik itu ternyata terdapat rahasia yang bersangkutan tentang ketergantungannya pada Narkoba dan Miras. Tragedi tugu Tani, menyentakkan kesadaran kita bersama, betapa narkotika telah gaya hidup sebagian masyarakat kita, sehingga menjadi salah satu hantu yang menakutkan bagi kelanjutan bangsa ini dikarenakan mengancam para generasi muda dan menghancurkan mental mereka. Kenyataan ini sekaligus menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama khususnya kita para pendidik dan orang tua untuk lebih berhati-hati, lebih peduli, dan lebih teliti terhadap pendidikan dan perkembangan para anak-anak. Cukuplah bagi kita, agar Tugu Tani bisa menjadi lambang yang selalu mengingatkan tentang bahaya Narkoba. Tidak perlu jatuh korban yang lebih banyak lagi, dari anak-anak bangsa ini.
Istilah Narkoba atau narkotika dan obat-obatan dikenal dalam Islam sebagai khamar. Ulama menyebut bahwa kullu ma yukhamir al-aql fahua khamr (setiap sesuatu yang membutakan akal dapat disebut khamr). Dalam hadith Nabi yang diriwayatkan Imam Nasai dan Ahmad, Rasulullh menegaskan kaidah ini dengan ungkapan kullu muskirin khamr, wa kullu khamr haram (setiap yang memabukkan disebut khamr, dan setiap khamr pasti diharamkan). Berkenaan dengan kaidah tersebut maka khamar tidaklah terbatas pada minuman saja, tetapi mencakup segala sesuatu yang memabukkan seperti putau, heroin, ekstasi, dan lain sebagainya. Dan setiap yang memabukkan dalam Islam, hukumnya adalah haram.
Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan dalam Al-Baqarah ayat 219 bahwa dalam khamar terdapat manfaat dan madharat. Tetapi, manfaat yang didapat dari khamar ini tidaklah sebanding dengan besarnya madharat/ kerugian yang ditimbulkan (wa istmuhuma akbar min naf’ihima). Karenanya, tidak berlebihan jika narkoba yang merupakan bagian dari khamr sering diakronimkan dengan “Narik-Korban-Banyak”. Hal ini berarti bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh Miras dan Narkotika sangatlah banyak dan multidimensional. Secara singkat dapat disebut bahwa berkenaan kesehatan, narkoba dapat merugikan fisik penggunanya dengan merusak akal, jantung dan ingatan. Dalam kehidupan keluarga, ketergantungan terhadap narkoba akan menjadikan terceraiberainya keuangan rumah tangga dan terabaikannya hak-hak para penghuninya. Seorang bapak yang mencandu narkoba, biasanya menjadi acuh dan menelantarkan istri, anak dan keluarganya. Dalam kehidupan sosial, masyarakat penikmat narkoba menjadi terasing dari lingkungannya, kehilangan kepedulian pada orang lain, serta akan mengabaikan keselamatan diri dan bahkan orang lain seperti halnya terjadi pada Apriani dalam kejadian tabrakan di Tugu Tani.
Kerugian besar dari dampak narkoba juga nampak dari besarnya biaya yang harus dialokasikan untuk rehabilitasi pecandu Narkoba. Untuk dapat dapat melepas seseorang dari ketergantungan narkoba dibutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dalam hitungan Direktur BNN (Badab Narkotika Nasional) Benny Mamoto, pada tahun 2011 dana yang dibutuhkan dalam merehabilitasi 3,8 juta pecandu narkoba di Indonesia adalah sebesar 30 triliun setiap tahun. Sebuah angka yang fantastis, bagi bangsa ini. Andai dana tersebut dapat digunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat banyak. Tidak berlebihan jika dihubungkan dengan dampak yang ditimbulkan narkoba, Allah kemudian melaknat semua pihak yang terlibat dalam produksi, distribusi dan konsumsi khamar. Dalam hadits Abu Dawud dan Ibn Majah Rasulullah menegaskan bahwa Allah melaknat khamar sendiri, peminumnya, penuangnya, pemerah (pembuat) nya, yang meminta diperahkan (pemesan/pengorder), pembawanya (distributor), dan yang minta dibawakannya."
Tragedi Tugu Tani itu selayaknya menyulut kesadaran kita bersama untuk menyatakan perang terhadap narkotika dan penyebarannya di Indonesia. Yang perlu dicatat bahwa candu narkoba saat ini tidak lagi melanda kota-kota besar saja, tetapi telah melanda segenap masyarakat tanpa pandang bulu, melampaui batasan umur, jenis kelamin, suku bangsa, status keluarga, stasus sosial, dan gaya hidup. Narkoba telah betul telah menyebar dan mulai menggerogoti masyarakat Indonesia kita ini, secara sembunyi-sembunyi namun pasti. Banyak orang tua para pencandu yang mendadak shok melihat anak-anaknya telah terlibat penggunaan narkoba dan mengetahui tanda-tandanya terlebih dahulu.
Mengetahui seseorang telah mencandu narkoba memang tidaklah mudah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa narkoba membawa gejala kejiwaan yang aneh dalam diri seseorang, seperti menjadi pelupa. Hal ini dikarenakan narkoba dapat mengurangi memori dan daya ingat. Pencandu narkoba biasanya menunjukkan pemikiran yang sulit untuk dimengerti, mudah tersinggung, dan selalu menentang. Emosi diri seringkali tidak terkendali dan suka marah-marah. Selain itu, konsumsi narkoba juga sering menjadikan seseorang menjadi kurang bergairah, lemah, letih, dan lesu. Jika mendapati tanda-tanda tersebut, para orang tua dan pendidik harus waspada dan bertindak bijak untuk meneliti lebih lanjut, apakah memang hal tersebut disebabkan oleh konsumsi narkoba.
Genarasi muda adalah aset termahal bangsa ini. Jika mendidik mereka dapat diibaratkan seperti menumbuhkan pohon-pohon dalam kebun masa depan, tentunya kerjasama semua pihak mutlak diperlukan sesuai porsi masing-masing. Beban ini tidak saja melekat pada guru, orang tua, atau lembaga pendidikan saja. Hambatan-hambatan pendidikan seperti halnya narkoba, pornografi, serta perjudian tentu harus disingkirkan bersama agar masa depan bangsa ini tetap cerah sesehat dan secerdas generasinya yang tetap dapat tumbuh berkembang dalam iklim pendidikan yang bersih.
Semua orang dalam bangsa ini pasti menginginkan agar bangsa ini menjadi bangsa yang kokoh, kuat dan cerdas, bukan menjadi bangsa pecundang karena genarasinya menjadi pencandu dan pemadat narkoba. Rasulullah mengingatkan dalam hadist al-Bukhari, bahwa diantara tanda-tanda hari kiamat adalah membudayanya kebodohan dan sedikitnya ilmu (pemahaman), berkembangnya perzinaan, dikonsumsinya khamar, dan sedikitnya jumlah laki-laki dibandingkan perempuan. Jika kita tidak terlibat dan bekerja sama dalam menanggulangi narkoba dan penyebarannya di Indonesia ini, bukan tidak mungkin bangsa ini dapat kiamat dan hancur, sehancur generasi muda penerusnya. Bukankan angka pencandu narkoba yang saat ini berjumlah 3,8 juta akhirnya bisa saja membengkak menjadi 38 juta, dan seterusnya, jika tidak ada upaya untuk menanggulanginya? Naudzubillah min dzalik.