Menjadi Shaim Sejati di Negeri "Wani Piro"
20.46 | Author: nuruliman1972
1 Agustus 2012
MENJADI SHAIM SEJATI DI NEGERI “WANI PIRO
Oleh: Nurul Iman
Tagline “wani piro” yang diusung iklan salah satu produk rokok terkenal begitu akrab di telinga setiap orang. Ungkapan itu seringkali meluncur bahkan dari mulut anak-anak kecil baik secara serius maupun guyonan. Ketika diperintahkan untuk melakukan suatu pekerjaan misalnya, maka jawaban yang muncul adalah “wani piro”?. Mereka menuntut upah untuk tugas yang dibebankan.
Ungkapan wani piro dalam Iklan tersebut sebenarnya merupakan sindiran terhadap kenyataan hidup dan budaya suap yang telah menghegemoni kehidupan bangsa ini dalam segala urusannya. Jika dunia jin yang merupakan dunia ghaib pun tidak luput dari suap, maka dalam dunia nyata manusia, tentunya praktik sogok tersebut dapat lebih parah kenyataannya. Tidak hanya dalam urusan birokrasi dan penegakan hukum, urusan sosial kemasyarakatan sering kali tidak luput dari praktik suap, tip, pelicin, sogokan atau apalah istilahnya. Bangsa ini telah menjelma menjadi bangsa yang mewajarkan tradisi “amplop” dalam segala urusannya, meski sebenarnya urusan itu telah tercover dalam anggaran resmi sebuah institusi pemerintahan, ataupun justru tidak perlu diberikan tip karena telah menjadi tanggung jawab pekerjaan seseorang. Beda antara hadiah dan sogokpun menjadi samar. Banyak urusan hanya bisa lancar dengan uang. Bangsa ini juga lebih menyukai jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dibandingkan harus bersusah payah berusaha mendapatkannya dengan cara normal, wajar, dan lebih beradab.
Kasus-kasus korupsi yang diekspos berbagai media belakangan ini menunjukan bahwa banyak pejabat dan wakil rakyat negeri ini kehilangan kepekaannya terhadap nasib rakyat dan kepeduliannya kerugian negara. Demi menimbun kekayaan pribadi, maka proyek-proyek negara pun diperdagangkan, sehingga kualitas proyek dan bangunan tidak lagi diprioritaskan. Sementara itu, liputan investigatif berbagai stasiun televisi tentang produksi bahan makanan, jajanan olahan dan minuman baik yang dilakukan dalam skala kecil maupun besar, menunjukkan laku keculasan yang telah membudaya di kalangan produsen. Penggunaan zat-zat berbahaya seperti pemutih, boraks, pewarna sintetis, dan bahan pengawet telah merambah beras, daging, ayam, ikan asin, tahu, tempe, kerupuk, bakso, siomay, buah-buahan, dan bahkan sayur-sayuran. Semuanya dilakukan atas nama mendapat keuntungan dan keumuman. Kebohongan dan keculasan menjadi sesuatu yang umum, sementara kejujuran, kepolosan, dan kewajaran menjadi sesuatu yang aneh.
Kita menjadi tidak nyaman dengan pelayanan birokrasi yang tidak memiliki standar yang jelas dan baku, menjadi khawatir dengan penegakan hukum yang diperjualbelikan sehingga tidak adil, atau bahkan menjadi takut dengan apa yang kita konsumsi dan makan dalam keseharian tentang kehalalan maupun hieginitas kandungannya. Kenyataan ini seakan menempatkan kita dalam “neraka” dunia di kehidupan bangsa ini. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis sahih bahwa kejujuran akan menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan akan menuntuk menuju surga. Sedangkan kebohongan akan menuntun kepada kekejikan, dan kekejian akan menuntun kepada neraka (HR. Bukhari dan Muslim). Neraka adalah tempat kembali di akhirat, yang di dalamnya disediakan berbagai siksaan bagi para durjana, termasuk pembohong di dalamnya. Dalam konteks kehidupan dunia, neraka itu dapat dimaknai sebagai ketidakpastian, kecemasan, ketidakadilan, maupun ketakutan yang menghantui masyarakat. Sebaliknya, surga dunia dapat berupa kenyamanan, keadilan, dan keamanan.
Ajaran kejujuran merupakan salah satu nilai agama yang mulai memudar dalam kehidupan bangsa ini. Mencari birokrat yang jujur tidaklah mudah, sebagaimana sulit mencari hakim dan penegak hukum yang setia kepada keadilan, atau menemukan wakil rakyat yang setia pada para pemilihnya. Meskipun, negara ini dikenal dengan negara dengan produk undang-undang terbanyak, tetapi keteraturan sosial, ketaatan pada hukum dan kesetiaan pada nilai-nilai peraturan masih merupakan hal yang langka. Laku jujur supaya makmur, kalah populer dengan laku lacur agar tidak hancur serta segera makmur.
Mayoritas penduduk negeri ini yang turut menjalankan puasa Ramadhan belum menjamin bahwa ajaran kejujuran menjadi salah satu nilai yang dipedomani bersama. Padahal makna puasa sesungguhnya sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam berbagai hadis tidak hanya meninggalkan makan, minum, dan penyaluran hasrat biologis di siang hari, tetapi juga harus mengejawantah dalam bentuk ketaatan kepada Rabb, kesabaran, pengendalian diri dan emosi, menebar kebajikan, kesederhanaan, dan laku kejujuran. Sebaliknya, segala bentuk keburukan, perbuatan keji, dan kebohongan harus dapat dihindari.
Pemahaman yang utuh terhadap konsep puasa akan melahirkan shaimin dan shaimat yang sejati yang berkesempatan mentas pada akhir Ramadhan menjadi pribadi-pribadi bertaqwa. Karenanya menjadi tugas bersama untuk mendidikkan konsep tersebut dimulai dari diri sendiri dan keluarga, lalu menuju masyarakat luas dan bangsa ini. Nilai-nilai luhur puasa utamanya kejujuran hendaknya dapat ditanamkan secara kokoh dan dipedomani dalam pendidikan, perdagangan, penyelenggaraan pemerintahan dan seluruh aspek kehidupan. Ibda’ binafsik, mulailah dari diri sendiri. Ibarat membuat medan magnit, maka medan magnit kejujuran harus diusahakan mulai dari yang terkecil, lalu dapat membesar, dan membesar sehingga perlahan tapi pasti dapat menggantikan medan magnit kebohongan yang telah mengakar dan terlanjur membesar.
Membentuk budaya jujur tidaklah mudah, sesulit menjadi shaim sejati di tengah masyarakat bangsa ini. Tetapi jika gerakan laku jujur ini berjalan dan sukses, tidak ada yang diuntungkan kecuali diri kita sendiri. Ketentraman, kedamaikan, keamanan, dan keteraturan sosial akan menjadi atmosfir yang melingkupi kehidupan bermasyakat dan berbangsa. Sungguh benar yang apa yang disabdakan Rasulullah dalam hadis al-Tirmidzi bahwa al-sidqa tuma’ninah wa al-kadzib raibah (kejujuran adalah ketentraman dan kebohongan adalah kegalauan). Mari belajar untuk dapat berpuasa dengan sebaik-baiknya, agar dapat merengkuh ketaqwaan sebagaimana dijanjikan Allah, laallakum tattaqun. Wallahu a’lam.
This entry was posted on 20.46 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: