Born To Teach
21.34 | Author: nuruliman1972
13 Maret 2012




BORN TO TEACH


Seorang teman berolah raga badminton yang telah menjadi orang tua bagi satu orang anak, mengeluh tentang perkembangan putranya di sekolah terutama berkenaan dengan perilaku dan akhlaknya terhadap kedua orang tua. Ada kesan bahwa yang bersangkutan “menyalahkan” sekolah atas ketidak berhasilan menanamkan akhlak tersebut. Sambil terus mendengarkan curhat teman tersebut, saya terus membatin, bukankan pendidikan akhlak dan mental anak, bahkan pendidikan secara umum, seharusnya tetap menjadi tanggung jawab orang tua, sedangkan sekolah hanyalah membantu.

Membebankan seluruh tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah tidaklah benar. Bukankan kemampuan sekolah dan guru sangat terbatas, demikian pula alokasi waktu yang dimilikinya. Seorang anak menghabiskan seperempat atau sepertiga waktunya di sekolah, sementara tiga perempat lainnya habis di luar sekolah, termasuk juga rumah. Bahwa sekolah efektif harus mampu membelajarkan anak, turut membentuk budaya kebaikan dan menanamkan nilai-nilai unggul dalam diri anak, hal itu tidaklah dipungkiri, tetapi semuanya itu tidak akan berhasil jika keluarga dan orang tua tidak mengambil perannya yang sangat strategis dan khas. Peran orang tua tetap tidak tergantikan oleh pihak lain.

Ungkapan para orang tua yang sering menyebut bahwa perkataan guru di sekolah lebih digugu dan ditiru tidaklah sepenuhnya benar. Seorang guru di sekolah memang lebih mengetahui metode dan strategi yang tepat untuk menanamkan pengaruhnya kepada anak. Tetapi ikatan emosional antara orang tua dan anak sebenarnya merupakan modal yang lebih efektif dalam menanamkan pengaruh dan mendidikkan sebuah nilai . Apalagi jika orang tua melengkapi ikatan emosi tersebut dengan kemampuan komunikasi yang baik, strategi pendidikan yang jitu. Pendidikan di dalam rumah akan menjelma menjadi “sekolah” yang dahsyat melengkapi pendidikan formal sekolah.

Setiap orang sejatinya adalah guru kebaikan maupun keburukan. Para orang tua adalah “guru” bagi para putranya. Tidak berlebihan jika dalam pepatah Arab disebut bahwa ibu adalah guru utama (al-umm ustadz al-asatidzah ula) dan sekolah pertama bagi anak-anaknyan (Al-ummu madrasah). Mempersiapkan diri menjadi ibu yang baik dan benar, sama dengan membangun sekolah pertama yang bermutu yang pada gilirannya memberikan dasar yang mapan bagi pendidikan formal pada masa berikutnya dan perkembangan fisik dan jiwanya.

Seseorang yang menyadari perannya sebagai guru –disamping peran-peran lain-- akan berusaha mengajarkan kebaikan dan memainkan peran tersebut demi menularkan virus-virus unggul dalam dirinya kepada setiap orang yang berada dalam jangkauan pengaruhnya. Ia akan merasa bahagia jika ada orang lain bisa belajar sesuatu dan mengambil pelajaran darinya. Sementara itu seorang yang tidak menyadari perannya sebagai guru, justru akan menjelma menjadi guru keburukan dengan bertindak seenaknya dengan menebar virus-virus buruk dirinya. Pilihan untuk menjadi guru kebaikan dan keburukan membawa konsekwensi logis bagi seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Guru kebaikan selalu akan terus belajar dan menempa diri demi meningkatkan manfaat dirinya bagi orang lain. Sedangkan guru keburukan disebabkan ketidaksadarannya, akan terus terjerat oleh keburukannya sendiri karena hanya memperturutkan kesenangan hidup dan kepuasan nafsunya. Padahal di akhirat, nabi menyebut bahwa orang yang mengajarkan kebaikan akan menuai pahala yang sama dengan kebaikan orang yang mendapatkan pengajaran dan turunan pahala lain selama pelajaran tersebut terus diamalkan (man sanna sunnatan hasanatan fa lahu ajruha wa ajr man ‘amila biha). Sedangkan orang yang mengajarkan keburukan akan mendapatkan dosa seperti orang yang melakukan keburukan karena belajar darinya serta turunan dosa dari orang-orang yang diajarkan (man sanna sunnatan sayyiatan fa ‘alaiha wizruha wa wizru man ‘amila bihi ba’daha).

Dalam rangka memaksimalkan diri untuk menjadi guru kebaikan, seseorang perlu terus belajar dan mengembangkan diri. Secara formal proses ini dapat ditempuh dengan menempuh pendidikan di jurusan kependidikan sehingga bakat untuk mengajar akan tersebut terus tumbuh. Sedangkan secara non formal dan informal dapat ditempuh dengan belajar dari berbagai sumber seperti seminar, pelatihan, dan berbagai media cetak atau elektronik. Pengalaman orang lain merupakan masukan yang sangat berharga pula. Yang terpenting adalah terus belajar dan mengasah diri.

Menjadi guru kebaikan atau guru keburukan, adalah pilihan bebas kita tetapi yang pasti kita dilahirkan untuk menjadi guru atau born to teach. Mari persiapkan diri kita dengan berbagai ketrampilan mengasuh anak dan keluasan wawasan pendidikan yang baik. Wallahu a’lam
This entry was posted on 21.34 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 3 Juni 2012 pukul 08.25 , Anonim mengatakan...

Mantap pak postingannya, tapi sayang masih kurang luas postingannya...