“BAKARLAH” DOSAMU
Oleh: Nurul Iman
Seorang guru kenalan saya di Trenggalek yang berbatasan dengan Ponorogo, bercerita tentang keadaan murid-murid SMP tempat ia mengajar. Menurutnya, secara guyonan anak-anak di daerah itu jika ditanya bagaimana dengan penguasaan pelajaran mereka selalu saja menjawab “thithik-thithik pak”. Kata “thithik” yang disampaikan tersebut bukan berarti “sedikit-sedikit”(dalam bahasa jawa) tetapi kegiatan membantu orang tua berupa memukul-mukul batu dengan palu agar dapat dijadikan koral, sebuah bahan material bangunan. Mereka menjadikan kesibukan thithik batu sebagai alasan ketidakmampuan mereka untuk menguasai pelajaran dan menjawab pertanyaan guru.
Tidak ada yang salah dengan kegiatan “thithik” yang nota bene yang dianggap sebagai kegiatan kasar tersebut, karena dalam Islam semua pekerjaan halal untuk mengais rezeki adalah sesuatu yang mulia. Rasulullah SAW pernah menciumi tangan sahabat yang kasar dan menyebutnya sebagai tangan yang akan membawa pemiliknya menuju sorga. Yang belum pas adalah, jika anak-anak di usia sekolah menelantarkan belajar dan mengulangi pelajarannya disebabkan kegiatan yang dianggap dapat menghasilkan uang. Andai, kegiatan tersebut dilakukan secara berimbang, antara belajar dan bekerja, tentu merupakan point plus bagi para siswa tersebut.
Kegiatan “thithik” yang dilakukan dengan memukul batu perbatu, merupakan aktifitas yang perlahan dan pasti yang akan menghabiskan tumpukan bahkan gunungan batu, meski dilakukan secara manual. Tidak heran jika akhirnya banyak bukit ludes, dan sungaipun akan kehabisan batu-batunya, disebabkan aktifitas thitik-thithik tersebut yang setiap harinya membutuhkan material.
Setiap manusia akan selalu memproduksi krikil-krikil dosa lewat kesalahan-kesalahan yang dilakukan, yang dimungkinkan akan menjadi gunung kesalahan (jibal al-sayyiat) jika dibiarkan tanpa adanya “penebusan” melalui taubat. Rasulullah SAW dalam riwayat al-Tirmidzi (hadith 2423) dan Ibn Majah (hadith 4241) menyebut setiap manusia sebagai khatta’ atau sering melakukan kesalahan. Sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat. Gunung-gunung kesalahan harus segera dihancurkan lewat thithik-thithik semisal istighfar. Melakukan istighfar harus dilakukan berkali-kali dan berkelanjutan, agar proses penghancuran dan penebusan dosa dapat mengimbangi laju produksi tumpukan dosa. Sesuai dengan kaidah la kabirata ma’a al-istighfar wala saghirata ma’a al-istimrar, maka tumpukan dosa kecil tidak akan menjadi besar jika terus menerus dikikis dengan istighfar. Sebalikknya dosa kecil akan membesar dan menggunung jika diabaikan dan dilakukan secara terus menerus. Rasulllah SAW sebagai panutan kita telah mencontohkan dengan ber-istighfar sebanyak 70 kali sehari atau 100 kali dalam riwayat lain (Tirmidzi: 3182).
Bulan Ramadhan adalah momen berharga bagi pertaubatan setiap muslim. Allah telah menyediakan bulan ini sebagai yang dipenuhi rahmat (kasih sayang) dan maghfirah (ampunan)-Nya. Tidak berlebihan bahwa kesalahan dan dosa setiap muslim antara dua ramadhan akan dihapuskan Allah, jika saja dosa-dosa besar dapat dihindari. Setiap kebaikan seorang yang shoim akan dilipatkan pahalanya sekehendakNya sebagai balasan atas ketaatan yang dilakukan dengan meninggalkan makan dan minum. Allah menegaskan dalam hadits qudsi, wa ana ajzi bihi atau dan "Akulah yang akan membalasnya sendiri".
Momen ramadhan merupakan saat paling efektif bagi kita untuk melakukan tithik-tithik terhadap dosa-dosa kita dikarenakan disebabkan fasilitas Allah di dalam bulan ini dengan melipatkan pahala setiap kebaikan orang yang berpuasa termasuk jika ia melakukan taubat. Jika taubat itu dipadu dengan do’a sayyid al-istighfar (penghulu istighfar) atau do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah (ma’tsurat) maka dampaknya akan semakin dahsyat dan hebat. Ibarat menghancurkan gunung dosa dan kesalahan, maka kita mempergunakan palu godam yang besar atau bahkan sebuah dinamit. Mudah-mudahkan, kita secara produktif dapat menghilangkan banyak dosa.
Dengan demikian tidak tidak salah jika bulan ini disebut ramadhan, merujuk kepada maknanya secara bahasa yang berarti panas membakar. Bukankah syetan “kepanasan” terhadap banyaknya amal ibadah dan amal sholeh kita sehingga dosa-dosa kita juga akan hilang “terbakar”. Karenanya, saatnya kita terus memperbanyak amalan-amalan kita dan melanggengkan taubat agar kita akhirnya dapat diampuni. Bakarlah dosa-dosamu.
This entry was posted on 00.07 and is filed under
Renungan Ramadhan
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: