30 Januari 2010
BONEK, BELAJAR DAN KESUKSESAN HIDUP
Oleh : Amalia Sulfana*
Dunia olah raga semisal sepak bola memiliki penggemar dan pendukung tersendiri. Bonek, Aremania, dan Bobotoh merupakan sebutan bagi suporter fanatik bagi club Persebaya Surabaya, Arema Malang, dan Persib Bandung. Bigmacth yang mempertemukan Persib Bandung dan Persebaya (22/01/10) mengundang kehadiran penonton setia masing-masing sebanyak hampir 40 ribu orang.
Bonek yang merupakan suporter setia Persebaya adalah sebuah fenomena. Keberadaan Bonek sebagaimana makna akronimnya, bondo nekat, selalu diidentikkan dengan kenekatan, rusuh, ketidak tertiban, meresahkan, dan bahkan merugikan. Dengan modal seadanya para Bonek memang berjuang sekuat tenaga untuk dapat hadir pada setiap pertandingan Persebaya dimanapun dan kapanpun berada. Numpang truk, nggandol kereta, nunut mobil orang, berpanas-panasan, bermalam dimana saja, menahan lapar, mengecat tubuh, dan bahkan menggunduli kepala akan dilakukan asal dapat mendukung klub kebanggaan dan berhasil menyaksikan laganya.
Keberadaan Bonek, Aremania, dan Bobotoh adalah simbol “perjuangan” dan pengorbanan para generasi muda dalam memberikan dukungan pada klub-klub mereka. Apa saja akan dilakukan, meski sering kali kelewat batas, membahayakan diri sendiri, maupun merugikan orang lain. Andai kenekatan dan kerja keras para generasi muda tersebut --dalam konotasi positif-- dibawa dalam ranah kehidupan riil, seperti belajar, kuliah, dan meniti karir. Entah kesuksesan macam apa serta capaian keberhasilan yang bagaimana, yang mereka dapatkan.
Belajar baik secara formal maupun non formal membutuhkan modal keuletan, kesungguhan, dan kenekatan. Sukses dalam belajar menuntut pengorbanan, kerja keras, usaha tiada henti, kesabaran, serta fokus. Modal materi meski penting tetapi ia bukanlah segalanya. Realita kehidupan membuktikan bahwa banyak orang telah sukses belajar meski berasal dari keluarga miskin dan tidak berada. Imam al-Syafii menyebut bahwa seseorang tidak akan sukses belajar tanpa memiliki modal yang enam perkara berupa: kecerdasan (dzaka’), biaya (dirham), antusiasme (hirsh), kesungguhan (ijtihad), perlakuan baik kepada guru (suhbah ustadz), dan waktu yang lama (thul zaman). Dari pernyataan Syafi’i tersebut dapat dipahami bahwa kelima hal dari enam perkara yang menunjang sukses belajar merupakan aspek-aspek psikis yang bersumber pada diri seseorang.
Kehidupan yang sukses juga selalu dipersembahkan oleh kerja keras dan semangat pantang menyerah disamping tentunya takdir Ilahi. Sunnatullah selalu membuktikan bahwa ada hasil di balik setiap usaha, baik secara cash maupun tidak. Karenanya, sangat jarang terjadi seseorang menjadi kaya tanpa bekerja, pintar tanpa belajar, makmur tanpa tandur, ataupun mulia tanpa mengukir citra diri. Semuanya ada harganya, perjuangan dan pengorbanan. Man jadda wajada atau siapa yang bersungguh sungguh niscaya akan menemukan (keberhasilan).
Rintangan dan halangan dalam setiap perjalanan menuju sukses merupakan batu ujian untuk meneguhkan kehendak hati serta menguji mental setiap “pemburu” keberhasilan. Rintangan adalah wahana “seleksi alam” untuk menemukan para pemenang diantara para pecundang. Rasa capek akibat kerja keras dan perjuangan dalam menghadapi tantangan akan semakin menambah nikmat dan kesyukuran seseorang ketika ia sampai pada tujuannya, kesuksesan.
Tidak ada keberhasilan hidup yang turun dari langit, sebagai hadih. Ia harus diraih, dengan usaha dan upaya, dan tentu saja juga dengan mencurahkan kemampuan otak dan hati. Keringat harus dicucurkan, air mata harus ditumpahkan, serta keputusasaan hendaklah bisa dikalahkan.
Dalam perjuangan meraih kesuksesan, sebenarnya tidak kata bonek atau bondo nekat dalam pengertian berbuat tanpa modal sama sekali. Bukankan Allah telah memodali kita dengan banyak hal. Kesehatan, kelonggaran waktu, tubuh yang sehat, otak yang cerdas, merupakan modal-modal yang diberikan Sang Pencipta tanpa dapat ditaksir harganya. Setiap keberhasilan orang lain hendaknya menginspirasi kita untuk dapat berhasil sepertinya tanpa ada kecemasan sedikitpun karena Allah memang telah memberikan modal yang sama.
Marilah kita gunakan kenekatan kita secara positif untuk mewujudkan tujuan-tujuan kita yang mulia berupa kesuksesan dalam berbagai bidang yang kita geluti. Jangan biarkan diri kita tunduk pada tantangan dan rintangan yang menghadang. Dengan penuh tawakal marilah kita yakini bahwa selama ada kemauan maka Allah akan membukakan jalan menuju tujuan mulia kita. Where there is will, there is way.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
.jpg)
24 Januari 2010
Saya cukup terhenyak ketika Mas Jinan menyodorkan buku barunya yang ditulis bersama ustadz Choirus Syafruddin, “Alhamdulillah... Anakku Nakal”, seraya berkata “beri tanggapan ya”. Judul buku tersebut menyisakan banyak pertanyaan di benak saya tentang apakah yang dimaksud anak nakal, dan mengapa kehadirannya meski disyukuri.
Dalam buku yang diterbitkan Filla Press ini, Miftahul Jinan dan Choirus Syafruddin mengajak para orang tua untuk kembali belajar banyak tentang kenakalan anak dan apakah perilaku-perilaku anak yang sering dianggap orang tua ”kelewatan” memang merupakan sebuah kenakalan. Karenanya, buku ini diawali dengan pembahasan tentang paradigma nakal yang salah dimengerti oleh orang tua. Ketika anak-anak terlalu banyak bermain dan sulit belajar misalnya, maka anak sering dijustifikasi dengan sebutan nakal. Padahal bisa saja hal tersebut disebabkan kebosanannya, atau pendekatan belajar yang digunakan tidak menarik, atau karena dunia anak memang dunia permainan. Menurut Jinan, bermain adalah hadiah alam yang berharga bagi putra-putri kita. Ia merupakan ’alat canggih’ yang memungkinkan seorang anak untuk masuk dalam kegiatan yang paling serius, penting, dan paling mengundang minat.
Praktek labelling atau pemanggilan anak dengan label nakal perlu dihindari oleh orang tua maupun guru. Meski pada awalnya label nakal tersebut masih sangat imajiner (tidak dikenal) oleh anak dan sebenarnya tidak ada hubungan dengan dirinya, tetapi seiring dengan seringnya kata tersebut diarahkan kepada dirinya maka ia menjadi semakin realistik dan dekat. Karenanya, labelling perlu digantikan dengan afirmasi yang lebih positif dan baik bagi perkembangan anak. Jinan mengingatkan tentang teori siklus 21 dari Thomas L Madden yang menjelaskan tentang terjadinya pelekatan label buruk atau afirmasi yang terjadi pada hari ke 21, meski pada awalnya terjadi penolakan. Sungguh luar biasa dan sahih apa yang diperjuangkan Al-Qur’an dalam penolakan tanabuz bi al-alqab (saling memanggil dengan julukan buruk) pada surat al-Hujurat ayat 11. Praktek ini sebenarnya menistakan diri sendiri meski kelihatannya merendahkan orang lain.
Mengenali kenakalan anak secara benar perlu dilakukan agar tidak terjadi salah asuh ataupun salah urus anak yang dapat berakibat buruk pada perkembangannya secara fisik dan psikis. Jinan membagi kenakalah anak menjadi empat hal: kenakalan eksploratif, kenakalan semu, kenakalan habitual, dan kenakalan sejati, sekaligus menyampaikan kiat-kiat dan solusi dalam menanganinya. Jam terbang yang dimiliki dalam training-training motivasi, pendidikan, dan parenting menyumbangkan banyak hal yang lebih bersifat praktis dan tidak sekedar teoritis.
Kenakalan eksploratif merupakan cara anak untuk menuangkan dan mengeksplor potensinya dalam motorik halus-kasar, serta dalam mempelajari sesuatu. Ia dapat berupa corat coret tembok, menyobek buku dan kertas, merusak mainan, naik turun kursi, dan menyiksa binatang. Sedangkan kenakalan semu memiliki wujud minta gendong, tidak mau berbagi, suka menggigit dan memukul, serta sikap egois. Sementara itu, kenakalan habitual berbentuk perkataan jorok, sikap suka membantah, kecanduan televisi, kesukaan merengek, dan kesukaan untuk jajan. Adapun kenakalan sejati berupa berbohong, kebanggaan menyontek, mencuri, dan merokok.
Dari pembagian diatas nampak bahwa tidak semua perilaku anak yang menjengkelkan hati dapat digolongkan sebagai kenakalan sehingga perlu ”dihentikan”. Perlu pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk memilah dan membedakan kenakalan agar solusi yang diadakan tepat dan justru tidak mematikan potensi anak. Bisa jadi apa yang disebut kenakalan hanyalah salah satu cara anak untuk belajar tentang suatu hal atau merupakan bentuk mengasah kecerdasan yang dimiliki. Kenakalan dapat pula menjadi ungkapan ”protes” mereka terhadap para guru dan orang tua. Karenanya dalam melihat ”kenakalan” anak, perlu pemikiran jernih apakah anak yang semakin nakal ataukah orang tua yang semakin tidak sabar.
Keberadaan seorang anak baik yang nakal maupun yang penurut, jika dikaitkan dengan agama sebenarnya merupakan bentuk ujian bagi para orang tua/guru. Al-Qur’an dalam al-Anfal: 28 menyebutnya sebagai fitnah (cobaan). Kenakalan anak dan kebandelan mereka jika disikapi dengan sabar dan kemauan untuk belajar untuk menghadapinya akan meningkatkan kualitas para orang tua dan skill parenting mereka. Ini berarti kenakalan anak berubah dari fitnah menjadi barokah. Sebaliknya jika gagal atau lepas tanggung jawab, maka bagi para orang tua, cobaan ini akan tetap berupa fitnah dan dapat berkembang menjadi fitnah-fitnah yang lain. Naudzubillah min dzalik. Jika keadaan yang pertama perlu disyukuri, maka yang kedua perlu dihindari.
Anak nakal pada prinsipnya bukan dilahirkan tetapi ia diciptakan. Ada proses panjang yang dilalui dalam penciptaan kenakalan ini. Yang terpenting adalah memastikan bahwa keluarga kita bukanlah sebagai lembaga yang memproduksi anak-anak nakal karena perhatian kita yang kurang terhadap anak-anak tersebut.
Menarik untuk diungkap secara sekilas tentang cerita yang melatari penulis buku ini memilih judul bukunya. Seorang ibu yang juga guru di sebuah sekolah favorit memilih berhenti dari pekerjaannya dikarenakan ingin fokus dalam mendidik anak yang terindikasi gejala autis dan ADHD. Untuk memberikan terapi yang maksimal, selama satu tahun, sang ibu rela meninggalkan keluarga demi mendampingi anaknya belajar di sekolah di luar kota. Setiap hari ia mengantar dan mengikuti seluruh kegiatan sekolah khusus tersebut. Pada malam hari ia menghabiskan waktu utuk membaca buku-buku berkaitan perilaku putranya. Akhirnya sang anak dapat berkembang baik dan kembali belajar di sekolah terdahulu dengan sikap dan presatasi belajar yang lebih baik. Dengan proses yang telah dijalani, sang ibu juga mentas dengan memiliki ketrampilan baru dalam menangani anak-anak bermasalah. Ia saat ini bahkan diberi amanat untuk memimpin sekolah TK dengan kepercayaan penuh dari yayasan.
Cerita tersebut menegaskan bahwa setiap pengorbanan besar akan dibalas berlipat oleh Allah jika seorang hamba dapat bersikap secara bijak terhadap ujian-Nya. Dibalik cobaan menghadapi anaknya yang bermasalah, rupanya Sang Khalik berkehendak untuk meningkatkan derajat sang ibu dan mengajarkan sesuatu. Karenanya, tidak berlebihan jika ia kemudian berucap ”alhamdulillah... Anakku Nakal”, sebuah ungkapan yang akhirnya ”diminta” Jinan untuk judul bukunya. Semoga setiap orang tua dapat diberikan kekuatan dan ketabahan untuk mendidik putra putri mereka dengan segala permasalahannya. Jadi, mari bersyukur dengan ”kenakalan” anak kita!
10 Januari 2010
BELAJAR “HIDUP” DARI USTADZ GUSDUR
Oleh: Amalia Sulfana*
Hari Rabu petang, 30 Desember 2009 lalu, masyarakat Indonesia berduka. Abdurrahman al-Dhakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, wafat dalam usianya yang 69 tahun. Rasa kehilangan mendalam muncul disebabkan karena Gus Dur merupakan bapak bangsa yang pernah menjabat presiden keempat RI, Ketua Umum PBNU dan Ketua Dewan Syuro PKB. Ribuan orang menghadiri pemakamannya di Jombang, sedangkan jutaan lain memanjatkan doa lewat shalat ghaib dan bacaan tahlil untuk almarhum.
Almarhum Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kaum golongan minoritas di tanah air, kebebasan pers, dan kebhinekaan. Selain itu ia juga disebut sebagai kiai, demokrat, tokoh pluralis, tokoh moderat, dan politisi. Taufik Kiemas, Ketua MPR RI menyebut beliau sebagai sosok yang paling berani dan berkomitmen dalam memperjuangkan kebhinekaan tersebut. Sedangkan Mahfud MD, mantan Ketua MK menganggapnya sebagai pribadi yang berani melawan arus dalam mengusung ide-idenya (okezone.com, 31-12-09).
Gus Dur dikenal pula sebagai orang yang humoris yang menentang formalisme dalam banyak hal. Berbagai lelucon selalu ia sampaikan pada berbagai forum. Dalam segala kondisi, susah dan senang, serius maupun santai, joke-joke khas hampir dipastikan hadir hari beliau. Sebuah ungkapan untuk memecah kebekuan komunikasi dan mencairkan suasana. Ketika menjabat sebagai Presiden, ”keangkeran” Istana Kepresiden direduksi dengan berbagai gayanya yang sering menentang protokoler yang dianggap terlalu formal.
Keberaniannya untuk keluar dari hal-hal lazim yang berkembang pada masyarakat dan bahkan para alim ulama yang lain telah menghantarkannya pada sosok yang dianggap kontroversial penuh kreativitas. Demi menggugah kebekuan dan kejumudan pemikiran umat, Kyai asal Jombang sering melontarkan gagasan-gagasan yang memancing diskusi dan dialog masyarakat. Karenanya beliau sering dipuji meskipun tidak jarag pula dihujat.
Terlepas dari kontroversialnya, kiprah Gus Dur dalam kehidupan ini telah mendapatkan tempatnya dan diapresiasi oleh dunia nasional maupun internasional. Gus Dur mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Hc.) dari 10 buah perguruan tinggi luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu seperti hukum, filsafat, dan kemanusiaan. Almarhum telah ”menamatkan” hidup dengan segala karya dan kreasi yang dipersembahkannya. Dan, menuliskan riwayat hidup dan kesuksesan yang ditorehkan tidaklah cukup dalam satu dua atau bahkan berpuluh lembar kertas, tetapi yang terpenting dilakukan adalah mengambil hikmah sejarah hidup mantan Ketua PBNU yang penuh amal tersebut. Bukankah seorang muslim cermin bagi yang lainnya. Al-mu’min mir’at akhih al-mu’min. Selain itu pengalaman diri dan orang lain adalah guru yang terbaik. Sementara untuk benar salah, semuanya biarlah Allah SAW yang kemudian menilai, dan selanjutnya memberikan balasan.
Wafatnya Gus Dur yang menyebabkan ditetapkannya masa berkabung selama satu minggu oleh pemerintah, mengingatkan kita akan jasa-jasa beliau. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Rasa kehilangan yang mendalam terhadap tokoh nasional ini seakan mengingatkan kita bahwa harga manusia sesungguhnya dapat dibaca saat seseorang wafat. Jika banyak ditangisi, berarti yang bersangkutan telah memiliki persembahan berharga bagi kehidupan. Tetapi jika dalam meninggalnya seseorang disambut gembira dan kesyukuran banyak orang lain, hal tersebut disebabkan kehidupannya dipenuhi dengan madharat bagi kehidupan. Kematian seseorang yang penuh penghormatakan dan tangisan banyak orang juga memperteguh kembali anggapan bahwa kualitas dan ketokohan seseorang diakibatkan oleh karya-karyanya selama menjalani hidup. Dalam pepatah Arab disebutkan wa al-nas alfun minhum ka wahid, wa wahid ka al-alfi in amrun ‘ana (nilai seribu manusia bisa sama dengan satu orang. Satu orang bisa menyamai nilia seribu orang jika ia menekuni sesuatu).
Hidup adalah proses menuliskan sejarah diri yang akan dibaca oleh anak cucu dan kebanyakan orang. Setiap individu berhak untuk mengarang sejarahnya sendiri secara mandiri, bebas, dan tanpa intervensi pihak lain, tetapi pada gilirannya ia akan dipuji atau sebaliknya dicela. Baik dan buruknya kehidupan ada di genggaman masing-masing manusia. Bermanfaat atau tidak hidupnya tergantung pada kemauan setiap pribadi.
Dalam menjalani hidup, Guru Gus Dur, telah memberikan contoh pada bangsa ini agar hidup semestinya dijalani secara dinamis, aktif dan penuh gerak. Tidak boleh banyak menganggur, dan berpanjang-panjang dalam istirahat. Sebaliknya, setiap individu hendaknya berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain untuk mengisi waktu dan kehidupan. Seseorang yang ingin sukses di dunia dan bahkan di akherat hendaknya selalu berpikir agar dapat beramal meski apapun bentuknya. Persembahkan karya dan wujudkan prestasi, selanjutnya berkonsestensilah. Konsistensi ini yang kemudian akan menghantarkan kesuksesan dan keterkenalan seseorang dalam dalam karya yang diusung.
Kemauan belajar dan kehausan akan ilmu pengetahuan juga harus terus dibangun agar seseorang berwawasan luas ke depan. Kesempatan untuk belajar formal hendaknya tetap diusahakan, dan sebaliknya secara non formalkan harus ditempuh. Almarhum Gus Dur, ketika masih muda malang melintang di berbagai negara agar terus dapat menuntut ilmu. Dan ketika memiliki keterbatasan dalam penghilatan di masa tuanya, konon masih menuntut untuk dibacakan buku, koran, atau majalah agar tidak ketinggalan segala informasi. Sesuatu yang mulai jarang dilakukan banyak generasi muda saat ini.
Hidup juga perlu dilakoni secara serius tapi santai, ”sersan”. Ibarat air, hidup dijalani secara “mengalir” saja, tapi jika sedang mampet, hidup perlu dialirkan dengan terobosan dan rekayasa dalam konotasi positif. Kegagalan dalam karir, jabatan, atau tugas misalnya, bukan akhir dari segalanya. Masih ada kesempatan lain yang dapat dipergunakan untuk dapat sukses agar cermat melihat kesalahan terdahulu dan mau memperbaiki. Sikap santai lewat humor, guyon, dan canda, mutlak diwujudkan agar tidak tidak spaneng dan stress, dan selanjutnya hidup harus dilanjutkan serius lagi. Dalam hal ini, Gus Dur sukses menjalaninya. Perhatikan saja jargon yang sering diusungnya, ”Gitu aja kok repot”.
Setiap manusia dituntut selalu belajar dalam ”madrasah kehidupan” ini. Anak, istri, keluarga, tetangga, teman, atasan, bawahan dan orang lainnya adalah guru di kelas-kelas kehidupan tersebut. Belajar dari pengalaman orang lain meski tokoh besar seperti Gus Dur harus dijalankan dengan ”cerdas” dan tidak membabi buta sehingga tidak menyebabkan perilaku pengkultusan berlebihan. Hal mana dapat menggiring pada kemusyrikan yang dimurkai Allah. Pengalaman diri sendiri demikian juga. Kata kuncinya adalah ketulusan dan kemauan. Lakon kehidupan yang telah diperankan almarhum Gus Dur semoga menyadarkan setiap individu tentang pilihan cara dalam menjalani hidupnya di dunia. Bermanfaatkah ia bagi kehidupan ataukan sebaliknya? Ayo belajar agar kita dapat ”hidup” dengan sebenarnya.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
BELAJAR “HIDUP” DARI USTADZ GUSDUR
Oleh: Amalia Sulfana*
Hari Rabu petang, 30 Desember 2009 lalu, masyarakat Indonesia berduka. Abdurrahman al-Dhakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, wafat dalam usianya yang 69 tahun. Rasa kehilangan mendalam muncul disebabkan karena Gus Dur merupakan bapak bangsa yang pernah menjabat presiden keempat RI, Ketua Umum PBNU dan Ketua Dewan Syuro PKB. Ribuan orang menghadiri pemakamannya di Jombang, sedangkan jutaan lain memanjatkan doa lewat shalat ghaib dan bacaan tahlil untuk almarhum.
Almarhum Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kaum golongan minoritas di tanah air, kebebasan pers, dan kebhinekaan. Selain itu ia juga disebut sebagai kiai, demokrat, tokoh pluralis, tokoh moderat, dan politisi. Taufik Kiemas, Ketua MPR RI menyebut beliau sebagai sosok yang paling berani dan berkomitmen dalam memperjuangkan kebhinekaan tersebut. Sedangkan Mahfud MD, mantan Ketua MK menganggapnya sebagai pribadi yang berani melawan arus dalam mengusung ide-idenya (okezone.com, 31-12-09).
Gus Dur dikenal pula sebagai orang yang humoris yang menentang formalisme dalam banyak hal. Berbagai lelucon selalu ia sampaikan pada berbagai forum. Dalam segala kondisi, susah dan senang, serius maupun santai, joke-joke khas hampir dipastikan hadir hari beliau. Sebuah ungkapan untuk memecah kebekuan komunikasi dan mencairkan suasana. Ketika menjabat sebagai Presiden, ”keangkeran” Istana Kepresiden direduksi dengan berbagai gayanya yang sering menentang protokoler yang dianggap terlalu formal.
Keberaniannya untuk keluar dari hal-hal lazim yang berkembang pada masyarakat dan bahkan para alim ulama yang lain telah menghantarkannya pada sosok yang dianggap kontroversial penuh kreativitas. Demi menggugah kebekuan dan kejumudan pemikiran umat, Kyai asal Jombang sering melontarkan gagasan-gagasan yang memancing diskusi dan dialog masyarakat. Karenanya beliau sering dipuji meskipun tidak jarag pula dihujat.
Terlepas dari kontroversialnya, kiprah Gus Dur dalam kehidupan ini telah mendapatkan tempatnya dan diapresiasi oleh dunia nasional maupun internasional. Gus Dur mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Hc.) dari 10 buah perguruan tinggi luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu seperti hukum, filsafat, dan kemanusiaan. Almarhum telah ”menamatkan” hidup dengan segala karya dan kreasi yang dipersembahkannya. Dan, menuliskan riwayat hidup dan kesuksesan yang ditorehkan tidaklah cukup dalam satu dua atau bahkan berpuluh lembar kertas, tetapi yang terpenting dilakukan adalah mengambil hikmah sejarah hidup mantan Ketua PBNU yang penuh amal tersebut. Bukankah seorang muslim cermin bagi yang lainnya. Al-mu’min mir’at akhih al-mu’min. Selain itu pengalaman diri dan orang lain adalah guru yang terbaik. Sementara untuk benar salah, semuanya biarlah Allah SAW yang kemudian menilai, dan selanjutnya memberikan balasan.
Wafatnya Gus Dur yang menyebabkan ditetapkannya masa berkabung selama satu minggu oleh pemerintah, mengingatkan kita akan jasa-jasa beliau. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Rasa kehilangan yang mendalam terhadap tokoh nasional ini seakan mengingatkan kita bahwa harga manusia sesungguhnya dapat dibaca saat seseorang wafat. Jika banyak ditangisi, berarti yang bersangkutan telah memiliki persembahan berharga bagi kehidupan. Tetapi jika dalam meninggalnya seseorang disambut gembira dan kesyukuran banyak orang lain, hal tersebut disebabkan kehidupannya dipenuhi dengan madharat bagi kehidupan. Kematian seseorang yang penuh penghormatakan dan tangisan banyak orang juga memperteguh kembali anggapan bahwa kualitas dan ketokohan seseorang diakibatkan oleh karya-karyanya selama menjalani hidup. Dalam pepatah Arab disebutkan wa al-nas alfun minhum ka wahid, wa wahid ka al-alfi in amrun ‘ana (nilai seribu manusia bisa sama dengan satu orang. Satu orang bisa menyamai nilia seribu orang jika ia menekuni sesuatu).
Hidup adalah proses menuliskan sejarah diri yang akan dibaca oleh anak cucu dan kebanyakan orang. Setiap individu berhak untuk mengarang sejarahnya sendiri secara mandiri, bebas, dan tanpa intervensi pihak lain, tetapi pada gilirannya ia akan dipuji atau sebaliknya dicela. Baik dan buruknya kehidupan ada di genggaman masing-masing manusia. Bermanfaat atau tidak hidupnya tergantung pada kemauan setiap pribadi.
Dalam menjalani hidup, Guru Gus Dur, telah memberikan contoh pada bangsa ini agar hidup semestinya dijalani secara dinamis, aktif dan penuh gerak. Tidak boleh banyak menganggur, dan berpanjang-panjang dalam istirahat. Sebaliknya, setiap individu hendaknya berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain untuk mengisi waktu dan kehidupan. Seseorang yang ingin sukses di dunia dan bahkan di akherat hendaknya selalu berpikir agar dapat beramal meski apapun bentuknya. Persembahkan karya dan wujudkan prestasi, selanjutnya berkonsestensilah. Konsistensi ini yang kemudian akan menghantarkan kesuksesan dan keterkenalan seseorang dalam dalam karya yang diusung.
Kemauan belajar dan kehausan akan ilmu pengetahuan juga harus terus dibangun agar seseorang berwawasan luas ke depan. Kesempatan untuk belajar formal hendaknya tetap diusahakan, dan sebaliknya secara non formalkan harus ditempuh. Almarhum Gus Dur, ketika masih muda malang melintang di berbagai negara agar terus dapat menuntut ilmu. Dan ketika memiliki keterbatasan dalam penghilatan di masa tuanya, konon masih menuntut untuk dibacakan buku, koran, atau majalah agar tidak ketinggalan segala informasi. Sesuatu yang mulai jarang dilakukan banyak generasi muda saat ini.
Hidup juga perlu dilakoni secara serius tapi santai, ”sersan”. Ibarat air, hidup dijalani secara “mengalir” saja, tapi jika sedang mampet, hidup perlu dialirkan dengan terobosan dan rekayasa dalam konotasi positif. Kegagalan dalam karir, jabatan, atau tugas misalnya, bukan akhir dari segalanya. Masih ada kesempatan lain yang dapat dipergunakan untuk dapat sukses agar cermat melihat kesalahan terdahulu dan mau memperbaiki. Sikap santai lewat humor, guyon, dan canda, mutlak diwujudkan agar tidak tidak spaneng dan stress, dan selanjutnya hidup harus dilanjutkan serius lagi. Dalam hal ini, Gus Dur sukses menjalaninya. Perhatikan saja jargon yang sering diusungnya, ”Gitu aja kok repot”.
Setiap manusia dituntut selalu belajar dalam ”madrasah kehidupan” ini. Anak, istri, keluarga, tetangga, teman, atasan, bawahan dan orang lainnya adalah guru di kelas-kelas kehidupan tersebut. Belajar dari pengalaman orang lain meski tokoh besar seperti Gus Dur harus dijalankan dengan ”cerdas” dan tidak membabi buta sehingga tidak menyebabkan perilaku pengkultusan berlebihan. Hal mana dapat menggiring pada kemusyrikan yang dimurkai Allah. Pengalaman diri sendiri demikian juga. Kata kuncinya adalah ketulusan dan kemauan. Lakon kehidupan yang telah diperankan almarhum Gus Dur semoga menyadarkan setiap individu tentang pilihan cara dalam menjalani hidupnya di dunia. Bermanfaatkah ia bagi kehidupan ataukan sebaliknya? Ayo belajar agar kita dapat ”hidup” dengan sebenarnya.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
3 Januari 2010
KETIKA CARI JODOH DIKONTESKAN
Oleh: Nurul Iman*
Jagad tontonan telivisi Indonesia, akhir-akhir ini diramaikan dengan acara bernama Take Me Out Indonesia, sebuah reality show perjodohan yang menyedot banyak perhatian pemirsa dan berdurasi cukup lama. Acara ini tentang 30 perempuan berusia 20-40 tahun berstatus single. Mereka mencari pasangan. Bisa untuk suami, pacar, atau sekedar coba-coba. Di setiap episodenya, ada 7 pria single yang keluar satu demi satu untuk dipilih dan memilih para perempuan itu. Kesuksesan acara Take Me Out, memunculkan acara serupa dengan judul Take Him Out yang berisi kebalikannya. Take Him Out berisi 30 pria single dan 7 perempuan single di setiap episodenya. Selain itu, muncul pula acara bergenre sejenis seperti Cari Jodoh dan Pilihan Mama.
Acara perjodohan Take Me Out merupakan sebuah program televisi yang lisensinya dipegang Fremantle Media. Kesuksesan penayangan program reality show tersebut di Spanyol, Netherland, Denmark, dan UK, telah menginspirasi untuk menghadirkannya di Indonesia. Hasilnya jika dicermati memang luar biasa. Rating tinggi, iklan berdatangan, dan itu artinya banyak rupiah berdatangan. Bagi para pesertanya juga , selain “berburu” jodoh mereka juga bisa nampang di layar kaca, dan ditonton oleh banyak orang. Selain itu tersedia berbagai fasilitas maupun hadiah bagi pasangan yang dianggap paling cocok menurut penilaian juri dan “dewan cinta”.
Fenomena Take Me Out dan semisalnya sering diidentikkan dengan perjodohan modern. Dengan sangat terbuka seseorang dapat memilah dan memilih sekian banyak calon pasangan, menguji, memikat dan menjatuhkan pilihannya, bahkan dengan dukungan dan sorakan orang lain. Sebuah pertunjukan menghibur dan yang asyik ditonton. Hanya saja, sebagai sebuah acara yang berasal dari barat, Take Me Out tidak bisa dilepaskan dari tata nilai tersendiri khas barat.
Acara Take Me Out dan semisalnya banyak bertentangan dengan nilai budaya Indonesia yang nota bene dipengaruhi agama Islam. Ia mempertontonkan permissifisme dalam pergaulan. Pegangan tangan, cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri), dan mengumbar kemesraan dengan calon pasangan merupakan sesuatu yang lumrah. Orientasi pada fisik dan kepemilikan materi juga lebih ditonjolkan. Kritik pada calon pasangan juga dilakukan secara terbuka dengan mengurai kekurangannya, hal mana perilaku tersebut tabu dan tidak etis dalam budaya dan etika agama mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam kehidupan kita kontemporer mencari jodoh memang mulai menjadi masalah sosial. Banyak lelaki ganteng nan mapan ataupun wanita cantik berduit yang sudah cukup umur namun tidak juga menemukan pasangannya. Dibutuhkan upaya aktif dalam mencari pasangan lewat berbagai cara, dan mengakses biro jodoh baik yang resmi maupun tidak, dapat dijadikan salah satu pilihan.
Sayangnya, kontes cari jodoh semisal Take Me Out hanya akan meninggalkan kekecewaan. Rasanya sulit untuk menemukan cinta sejati dan pasangan ideal lewat acara ini. Kontes cari jodoh apalagi jika dipertontonkan secara terbuka akan mengurangi ketulusan para pesertanya. Ketika para peserta diperhatikan oleh pemirsa dan ”disorot” tajam oleh kamera, konsentrasi dalam menilai calon pasangan dan keobyektifanya rasanya sulit dilakukan. Ada juga gengsi yang dipelihara serta harga diri yang harus dijaga di depan umum. Walhasil jodoh yang ideal dan cinta sejatipun susah ditemukan lewat acara tersebut. Padahal pernikahan harus dibangun berdasarkan ”cinta sejati” yang mau menerima pasangan apa adanya. Calon yang akan dinikahi juga merupakan pasangan paling ideal saat keputusan menikah diambil.
Mengenal pasangan secara mendalam dan baik hanya dapat dilakukan secara diam-diam, karena lebih obyektif. Jika seseorang ingin mengenal seseorang yang ”dibidik”, maka berbagai cara dapat ditempuh. Secara pribadi ia dapat mengobrol panjang dengannya untuk mengetahui visi-misi hidupnya serta kepribadiannya. Disamping bisa juga dengan menggunakan orang ketiga untuk dapat merekam hal-hal yang terlewatkan. Berkenaan dengan penjajagan calon pasangan tersebut, Islam mentolerir praktek ghibah atau menggosip dengan memaparkan kebaikan dan keburukan. Penyelidikan dapat dilanjutkan dengan menelusuri keluarga, kehidupan sosial, dan bahkan kehidupan pribadinya.
Proses tersebut identik dengan ta’aruf. Berbeda dengan pacaran yang berkembang di masyarakat, ta’aruf harus tetap menjaga adab dan aturan-aturan agama. Tidak ada khalwat (berduaan), tidak pula pergaulan bebas, juga chat n date. Melihat calon pasangan untuk menemukan sisi menarik dari tampilan fisiknya mutlak dilakukan demi menjamin keberlasungan pernikahan nantinya seperti yang ditegaskan Nabi SAW, undzur fainnahu ahra an yu’dama bainakuma. Ini berarti bahwa tampilan fisik juga perlu dipertimbangkan dalam menjatuhkan pilihan. Dengan ta’aruf, insha Allah kesalahan memilih calon pasangan akan dapat dihindari.
Memilih pasangan memang harus mempertimbangkan banyak hal. Al- Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menyebut delapan perkara, diantaranya adalah: a) Kesalehan dalam beragama (an takun shalihah dzat al-din). Ini merupakan sesuatu yang pokok; b) berakhlaq mulia (husn al-khuluq); c) keelokan wajah/fisik (husnul wajh); d) Tidak menuntut mahar yang berlebihan (khafifat al-mahr); e) Berpotensi untuk memiliki banyak anak (an takun wadud); f)masih lajang (an takun bikran); g) berasal dari keluarga terhormat (an takun nasibah); h) tidak berasal dari keluarga terdekat.
Kriteria al-Ghazali yang didasarkan pada banyak hadith nabi tersebut nampak tidak terlalu berorientasi pada tampilan fisik melulu, meski tidak juga meninggalkannya. Kriteria tersebut juga sangat ideal ideal. Dalam kondisi yang terpaksa dan juga kehidupan saat ini yang serba ”terbuka”, maka kriteria agama tentu merupakan sesuatu yang mutlak, yang mau tidak mau harus dipertimbangkan. Bukankan Nabi SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari ”fadzfar bi dzat al-din, taribat yadak”, yang berarti ”pertimbangkan aspek agama, maka tanganmu menjadi ringan”.
Akhirnya, mencari jodoh bagi mereka yang mau menikah harus dilakukan dengan seksama agar tidak salah pilih. Sebuah khabar dari Nabi SAW berbunyi ”takhayyaru li nutafikum al-akiffa’, fa inna al-’irqa dassas”, yang bermakna ”pilihlah untuk meletakkan nutfahmu pasangan-pasangan yang potensial. Sesungguhnya gen itu sensitif”. Perlu usaha lahir-batin dengan banyak melihat, mendengar, dan memperhatikan.
* Dosen FAI Unmuh Ponorogo
KETIKA CARI JODOH DIKONTESKAN
Oleh: Nurul Iman*
Jagad tontonan telivisi Indonesia, akhir-akhir ini diramaikan dengan acara bernama Take Me Out Indonesia, sebuah reality show perjodohan yang menyedot banyak perhatian pemirsa dan berdurasi cukup lama. Acara ini tentang 30 perempuan berusia 20-40 tahun berstatus single. Mereka mencari pasangan. Bisa untuk suami, pacar, atau sekedar coba-coba. Di setiap episodenya, ada 7 pria single yang keluar satu demi satu untuk dipilih dan memilih para perempuan itu. Kesuksesan acara Take Me Out, memunculkan acara serupa dengan judul Take Him Out yang berisi kebalikannya. Take Him Out berisi 30 pria single dan 7 perempuan single di setiap episodenya. Selain itu, muncul pula acara bergenre sejenis seperti Cari Jodoh dan Pilihan Mama.
Acara perjodohan Take Me Out merupakan sebuah program televisi yang lisensinya dipegang Fremantle Media. Kesuksesan penayangan program reality show tersebut di Spanyol, Netherland, Denmark, dan UK, telah menginspirasi untuk menghadirkannya di Indonesia. Hasilnya jika dicermati memang luar biasa. Rating tinggi, iklan berdatangan, dan itu artinya banyak rupiah berdatangan. Bagi para pesertanya juga , selain “berburu” jodoh mereka juga bisa nampang di layar kaca, dan ditonton oleh banyak orang. Selain itu tersedia berbagai fasilitas maupun hadiah bagi pasangan yang dianggap paling cocok menurut penilaian juri dan “dewan cinta”.
Fenomena Take Me Out dan semisalnya sering diidentikkan dengan perjodohan modern. Dengan sangat terbuka seseorang dapat memilah dan memilih sekian banyak calon pasangan, menguji, memikat dan menjatuhkan pilihannya, bahkan dengan dukungan dan sorakan orang lain. Sebuah pertunjukan menghibur dan yang asyik ditonton. Hanya saja, sebagai sebuah acara yang berasal dari barat, Take Me Out tidak bisa dilepaskan dari tata nilai tersendiri khas barat.
Acara Take Me Out dan semisalnya banyak bertentangan dengan nilai budaya Indonesia yang nota bene dipengaruhi agama Islam. Ia mempertontonkan permissifisme dalam pergaulan. Pegangan tangan, cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri), dan mengumbar kemesraan dengan calon pasangan merupakan sesuatu yang lumrah. Orientasi pada fisik dan kepemilikan materi juga lebih ditonjolkan. Kritik pada calon pasangan juga dilakukan secara terbuka dengan mengurai kekurangannya, hal mana perilaku tersebut tabu dan tidak etis dalam budaya dan etika agama mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam kehidupan kita kontemporer mencari jodoh memang mulai menjadi masalah sosial. Banyak lelaki ganteng nan mapan ataupun wanita cantik berduit yang sudah cukup umur namun tidak juga menemukan pasangannya. Dibutuhkan upaya aktif dalam mencari pasangan lewat berbagai cara, dan mengakses biro jodoh baik yang resmi maupun tidak, dapat dijadikan salah satu pilihan.
Sayangnya, kontes cari jodoh semisal Take Me Out hanya akan meninggalkan kekecewaan. Rasanya sulit untuk menemukan cinta sejati dan pasangan ideal lewat acara ini. Kontes cari jodoh apalagi jika dipertontonkan secara terbuka akan mengurangi ketulusan para pesertanya. Ketika para peserta diperhatikan oleh pemirsa dan ”disorot” tajam oleh kamera, konsentrasi dalam menilai calon pasangan dan keobyektifanya rasanya sulit dilakukan. Ada juga gengsi yang dipelihara serta harga diri yang harus dijaga di depan umum. Walhasil jodoh yang ideal dan cinta sejatipun susah ditemukan lewat acara tersebut. Padahal pernikahan harus dibangun berdasarkan ”cinta sejati” yang mau menerima pasangan apa adanya. Calon yang akan dinikahi juga merupakan pasangan paling ideal saat keputusan menikah diambil.
Mengenal pasangan secara mendalam dan baik hanya dapat dilakukan secara diam-diam, karena lebih obyektif. Jika seseorang ingin mengenal seseorang yang ”dibidik”, maka berbagai cara dapat ditempuh. Secara pribadi ia dapat mengobrol panjang dengannya untuk mengetahui visi-misi hidupnya serta kepribadiannya. Disamping bisa juga dengan menggunakan orang ketiga untuk dapat merekam hal-hal yang terlewatkan. Berkenaan dengan penjajagan calon pasangan tersebut, Islam mentolerir praktek ghibah atau menggosip dengan memaparkan kebaikan dan keburukan. Penyelidikan dapat dilanjutkan dengan menelusuri keluarga, kehidupan sosial, dan bahkan kehidupan pribadinya.
Proses tersebut identik dengan ta’aruf. Berbeda dengan pacaran yang berkembang di masyarakat, ta’aruf harus tetap menjaga adab dan aturan-aturan agama. Tidak ada khalwat (berduaan), tidak pula pergaulan bebas, juga chat n date. Melihat calon pasangan untuk menemukan sisi menarik dari tampilan fisiknya mutlak dilakukan demi menjamin keberlasungan pernikahan nantinya seperti yang ditegaskan Nabi SAW, undzur fainnahu ahra an yu’dama bainakuma. Ini berarti bahwa tampilan fisik juga perlu dipertimbangkan dalam menjatuhkan pilihan. Dengan ta’aruf, insha Allah kesalahan memilih calon pasangan akan dapat dihindari.
Memilih pasangan memang harus mempertimbangkan banyak hal. Al- Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menyebut delapan perkara, diantaranya adalah: a) Kesalehan dalam beragama (an takun shalihah dzat al-din). Ini merupakan sesuatu yang pokok; b) berakhlaq mulia (husn al-khuluq); c) keelokan wajah/fisik (husnul wajh); d) Tidak menuntut mahar yang berlebihan (khafifat al-mahr); e) Berpotensi untuk memiliki banyak anak (an takun wadud); f)masih lajang (an takun bikran); g) berasal dari keluarga terhormat (an takun nasibah); h) tidak berasal dari keluarga terdekat.
Kriteria al-Ghazali yang didasarkan pada banyak hadith nabi tersebut nampak tidak terlalu berorientasi pada tampilan fisik melulu, meski tidak juga meninggalkannya. Kriteria tersebut juga sangat ideal ideal. Dalam kondisi yang terpaksa dan juga kehidupan saat ini yang serba ”terbuka”, maka kriteria agama tentu merupakan sesuatu yang mutlak, yang mau tidak mau harus dipertimbangkan. Bukankan Nabi SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari ”fadzfar bi dzat al-din, taribat yadak”, yang berarti ”pertimbangkan aspek agama, maka tanganmu menjadi ringan”.
Akhirnya, mencari jodoh bagi mereka yang mau menikah harus dilakukan dengan seksama agar tidak salah pilih. Sebuah khabar dari Nabi SAW berbunyi ”takhayyaru li nutafikum al-akiffa’, fa inna al-’irqa dassas”, yang bermakna ”pilihlah untuk meletakkan nutfahmu pasangan-pasangan yang potensial. Sesungguhnya gen itu sensitif”. Perlu usaha lahir-batin dengan banyak melihat, mendengar, dan memperhatikan.
* Dosen FAI Unmuh Ponorogo