Belajar Hidup dari Ustadz Gus Dur
14.21 | Author: nuruliman1972
10 Januari 2010

BELAJAR “HIDUP” DARI USTADZ GUSDUR

Oleh: Amalia Sulfana*

Hari Rabu petang, 30 Desember 2009 lalu, masyarakat Indonesia berduka. Abdurrahman al-Dhakhil atau yang lebih dikenal dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, wafat dalam usianya yang 69 tahun. Rasa kehilangan mendalam muncul disebabkan karena Gus Dur merupakan bapak bangsa yang pernah menjabat presiden keempat RI, Ketua Umum PBNU dan Ketua Dewan Syuro PKB. Ribuan orang menghadiri pemakamannya di Jombang, sedangkan jutaan lain memanjatkan doa lewat shalat ghaib dan bacaan tahlil untuk almarhum.

Almarhum Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan kaum golongan minoritas di tanah air, kebebasan pers, dan kebhinekaan. Selain itu ia juga disebut sebagai kiai, demokrat, tokoh pluralis, tokoh moderat, dan politisi. Taufik Kiemas, Ketua MPR RI menyebut beliau sebagai sosok yang paling berani dan berkomitmen dalam memperjuangkan kebhinekaan tersebut. Sedangkan Mahfud MD, mantan Ketua MK menganggapnya sebagai pribadi yang berani melawan arus dalam mengusung ide-idenya (okezone.com, 31-12-09).

Gus Dur dikenal pula sebagai orang yang humoris yang menentang formalisme dalam banyak hal. Berbagai lelucon selalu ia sampaikan pada berbagai forum. Dalam segala kondisi, susah dan senang, serius maupun santai, joke-joke khas hampir dipastikan hadir hari beliau. Sebuah ungkapan untuk memecah kebekuan komunikasi dan mencairkan suasana. Ketika menjabat sebagai Presiden, ”keangkeran” Istana Kepresiden direduksi dengan berbagai gayanya yang sering menentang protokoler yang dianggap terlalu formal.

Keberaniannya untuk keluar dari hal-hal lazim yang berkembang pada masyarakat dan bahkan para alim ulama yang lain telah menghantarkannya pada sosok yang dianggap kontroversial penuh kreativitas. Demi menggugah kebekuan dan kejumudan pemikiran umat, Kyai asal Jombang sering melontarkan gagasan-gagasan yang memancing diskusi dan dialog masyarakat. Karenanya beliau sering dipuji meskipun tidak jarag pula dihujat.

Terlepas dari kontroversialnya, kiprah Gus Dur dalam kehidupan ini telah mendapatkan tempatnya dan diapresiasi oleh dunia nasional maupun internasional. Gus Dur mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Hc.) dari 10 buah perguruan tinggi luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu seperti hukum, filsafat, dan kemanusiaan. Almarhum telah ”menamatkan” hidup dengan segala karya dan kreasi yang dipersembahkannya. Dan, menuliskan riwayat hidup dan kesuksesan yang ditorehkan tidaklah cukup dalam satu dua atau bahkan berpuluh lembar kertas, tetapi yang terpenting dilakukan adalah mengambil hikmah sejarah hidup mantan Ketua PBNU yang penuh amal tersebut. Bukankah seorang muslim cermin bagi yang lainnya. Al-mu’min mir’at akhih al-mu’min. Selain itu pengalaman diri dan orang lain adalah guru yang terbaik. Sementara untuk benar salah, semuanya biarlah Allah SAW yang kemudian menilai, dan selanjutnya memberikan balasan.

Wafatnya Gus Dur yang menyebabkan ditetapkannya masa berkabung selama satu minggu oleh pemerintah, mengingatkan kita akan jasa-jasa beliau. Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Rasa kehilangan yang mendalam terhadap tokoh nasional ini seakan mengingatkan kita bahwa harga manusia sesungguhnya dapat dibaca saat seseorang wafat. Jika banyak ditangisi, berarti yang bersangkutan telah memiliki persembahan berharga bagi kehidupan. Tetapi jika dalam meninggalnya seseorang disambut gembira dan kesyukuran banyak orang lain, hal tersebut disebabkan kehidupannya dipenuhi dengan madharat bagi kehidupan. Kematian seseorang yang penuh penghormatakan dan tangisan banyak orang juga memperteguh kembali anggapan bahwa kualitas dan ketokohan seseorang diakibatkan oleh karya-karyanya selama menjalani hidup. Dalam pepatah Arab disebutkan wa al-nas alfun minhum ka wahid, wa wahid ka al-alfi in amrun ‘ana (nilai seribu manusia bisa sama dengan satu orang. Satu orang bisa menyamai nilia seribu orang jika ia menekuni sesuatu).

Hidup adalah proses menuliskan sejarah diri yang akan dibaca oleh anak cucu dan kebanyakan orang. Setiap individu berhak untuk mengarang sejarahnya sendiri secara mandiri, bebas, dan tanpa intervensi pihak lain, tetapi pada gilirannya ia akan dipuji atau sebaliknya dicela. Baik dan buruknya kehidupan ada di genggaman masing-masing manusia. Bermanfaat atau tidak hidupnya tergantung pada kemauan setiap pribadi.

Dalam menjalani hidup, Guru Gus Dur, telah memberikan contoh pada bangsa ini agar hidup semestinya dijalani secara dinamis, aktif dan penuh gerak. Tidak boleh banyak menganggur, dan berpanjang-panjang dalam istirahat. Sebaliknya, setiap individu hendaknya berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain untuk mengisi waktu dan kehidupan. Seseorang yang ingin sukses di dunia dan bahkan di akherat hendaknya selalu berpikir agar dapat beramal meski apapun bentuknya. Persembahkan karya dan wujudkan prestasi, selanjutnya berkonsestensilah. Konsistensi ini yang kemudian akan menghantarkan kesuksesan dan keterkenalan seseorang dalam dalam karya yang diusung.

Kemauan belajar dan kehausan akan ilmu pengetahuan juga harus terus dibangun agar seseorang berwawasan luas ke depan. Kesempatan untuk belajar formal hendaknya tetap diusahakan, dan sebaliknya secara non formalkan harus ditempuh. Almarhum Gus Dur, ketika masih muda malang melintang di berbagai negara agar terus dapat menuntut ilmu. Dan ketika memiliki keterbatasan dalam penghilatan di masa tuanya, konon masih menuntut untuk dibacakan buku, koran, atau majalah agar tidak ketinggalan segala informasi. Sesuatu yang mulai jarang dilakukan banyak generasi muda saat ini.

Hidup juga perlu dilakoni secara serius tapi santai, ”sersan”. Ibarat air, hidup dijalani secara “mengalir” saja, tapi jika sedang mampet, hidup perlu dialirkan dengan terobosan dan rekayasa dalam konotasi positif. Kegagalan dalam karir, jabatan, atau tugas misalnya, bukan akhir dari segalanya. Masih ada kesempatan lain yang dapat dipergunakan untuk dapat sukses agar cermat melihat kesalahan terdahulu dan mau memperbaiki. Sikap santai lewat humor, guyon, dan canda, mutlak diwujudkan agar tidak tidak spaneng dan stress, dan selanjutnya hidup harus dilanjutkan serius lagi. Dalam hal ini, Gus Dur sukses menjalaninya. Perhatikan saja jargon yang sering diusungnya, ”Gitu aja kok repot”.

Setiap manusia dituntut selalu belajar dalam ”madrasah kehidupan” ini. Anak, istri, keluarga, tetangga, teman, atasan, bawahan dan orang lainnya adalah guru di kelas-kelas kehidupan tersebut. Belajar dari pengalaman orang lain meski tokoh besar seperti Gus Dur harus dijalankan dengan ”cerdas” dan tidak membabi buta sehingga tidak menyebabkan perilaku pengkultusan berlebihan. Hal mana dapat menggiring pada kemusyrikan yang dimurkai Allah. Pengalaman diri sendiri demikian juga. Kata kuncinya adalah ketulusan dan kemauan. Lakon kehidupan yang telah diperankan almarhum Gus Dur semoga menyadarkan setiap individu tentang pilihan cara dalam menjalani hidupnya di dunia. Bermanfaatkah ia bagi kehidupan ataukan sebaliknya? Ayo belajar agar kita dapat ”hidup” dengan sebenarnya.

* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
|
This entry was posted on 14.21 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: