Ketika Cari Jodoh Dikonteskan
18.26 | Author: nuruliman1972
3 Januari 2010

KETIKA CARI JODOH DIKONTESKAN

Oleh: Nurul Iman*

Jagad tontonan telivisi Indonesia, akhir-akhir ini diramaikan dengan acara bernama Take Me Out Indonesia, sebuah reality show perjodohan yang menyedot banyak perhatian pemirsa dan berdurasi cukup lama. Acara ini tentang 30 perempuan berusia 20-40 tahun berstatus single. Mereka mencari pasangan. Bisa untuk suami, pacar, atau sekedar coba-coba. Di setiap episodenya, ada 7 pria single yang keluar satu demi satu untuk dipilih dan memilih para perempuan itu. Kesuksesan acara Take Me Out, memunculkan acara serupa dengan judul Take Him Out yang berisi kebalikannya. Take Him Out berisi 30 pria single dan 7 perempuan single di setiap episodenya. Selain itu, muncul pula acara bergenre sejenis seperti Cari Jodoh dan Pilihan Mama.

Acara perjodohan Take Me Out merupakan sebuah program televisi yang lisensinya dipegang Fremantle Media. Kesuksesan penayangan program reality show tersebut di Spanyol, Netherland, Denmark, dan UK, telah menginspirasi untuk menghadirkannya di Indonesia. Hasilnya jika dicermati memang luar biasa. Rating tinggi, iklan berdatangan, dan itu artinya banyak rupiah berdatangan. Bagi para pesertanya juga , selain “berburu” jodoh mereka juga bisa nampang di layar kaca, dan ditonton oleh banyak orang. Selain itu tersedia berbagai fasilitas maupun hadiah bagi pasangan yang dianggap paling cocok menurut penilaian juri dan “dewan cinta”.

Fenomena Take Me Out dan semisalnya sering diidentikkan dengan perjodohan modern. Dengan sangat terbuka seseorang dapat memilah dan memilih sekian banyak calon pasangan, menguji, memikat dan menjatuhkan pilihannya, bahkan dengan dukungan dan sorakan orang lain. Sebuah pertunjukan menghibur dan yang asyik ditonton. Hanya saja, sebagai sebuah acara yang berasal dari barat, Take Me Out tidak bisa dilepaskan dari tata nilai tersendiri khas barat.

Acara Take Me Out dan semisalnya banyak bertentangan dengan nilai budaya Indonesia yang nota bene dipengaruhi agama Islam. Ia mempertontonkan permissifisme dalam pergaulan. Pegangan tangan, cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri), dan mengumbar kemesraan dengan calon pasangan merupakan sesuatu yang lumrah. Orientasi pada fisik dan kepemilikan materi juga lebih ditonjolkan. Kritik pada calon pasangan juga dilakukan secara terbuka dengan mengurai kekurangannya, hal mana perilaku tersebut tabu dan tidak etis dalam budaya dan etika agama mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam kehidupan kita kontemporer mencari jodoh memang mulai menjadi masalah sosial. Banyak lelaki ganteng nan mapan ataupun wanita cantik berduit yang sudah cukup umur namun tidak juga menemukan pasangannya. Dibutuhkan upaya aktif dalam mencari pasangan lewat berbagai cara, dan mengakses biro jodoh baik yang resmi maupun tidak, dapat dijadikan salah satu pilihan.

Sayangnya, kontes cari jodoh semisal Take Me Out hanya akan meninggalkan kekecewaan. Rasanya sulit untuk menemukan cinta sejati dan pasangan ideal lewat acara ini. Kontes cari jodoh apalagi jika dipertontonkan secara terbuka akan mengurangi ketulusan para pesertanya. Ketika para peserta diperhatikan oleh pemirsa dan ”disorot” tajam oleh kamera, konsentrasi dalam menilai calon pasangan dan keobyektifanya rasanya sulit dilakukan. Ada juga gengsi yang dipelihara serta harga diri yang harus dijaga di depan umum. Walhasil jodoh yang ideal dan cinta sejatipun susah ditemukan lewat acara tersebut. Padahal pernikahan harus dibangun berdasarkan ”cinta sejati” yang mau menerima pasangan apa adanya. Calon yang akan dinikahi juga merupakan pasangan paling ideal saat keputusan menikah diambil.

Mengenal pasangan secara mendalam dan baik hanya dapat dilakukan secara diam-diam, karena lebih obyektif. Jika seseorang ingin mengenal seseorang yang ”dibidik”, maka berbagai cara dapat ditempuh. Secara pribadi ia dapat mengobrol panjang dengannya untuk mengetahui visi-misi hidupnya serta kepribadiannya. Disamping bisa juga dengan menggunakan orang ketiga untuk dapat merekam hal-hal yang terlewatkan. Berkenaan dengan penjajagan calon pasangan tersebut, Islam mentolerir praktek ghibah atau menggosip dengan memaparkan kebaikan dan keburukan. Penyelidikan dapat dilanjutkan dengan menelusuri keluarga, kehidupan sosial, dan bahkan kehidupan pribadinya.

Proses tersebut identik dengan ta’aruf. Berbeda dengan pacaran yang berkembang di masyarakat, ta’aruf harus tetap menjaga adab dan aturan-aturan agama. Tidak ada khalwat (berduaan), tidak pula pergaulan bebas, juga chat n date. Melihat calon pasangan untuk menemukan sisi menarik dari tampilan fisiknya mutlak dilakukan demi menjamin keberlasungan pernikahan nantinya seperti yang ditegaskan Nabi SAW, undzur fainnahu ahra an yu’dama bainakuma. Ini berarti bahwa tampilan fisik juga perlu dipertimbangkan dalam menjatuhkan pilihan. Dengan ta’aruf, insha Allah kesalahan memilih calon pasangan akan dapat dihindari.

Memilih pasangan memang harus mempertimbangkan banyak hal. Al- Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menyebut delapan perkara, diantaranya adalah: a) Kesalehan dalam beragama (an takun shalihah dzat al-din). Ini merupakan sesuatu yang pokok; b) berakhlaq mulia (husn al-khuluq); c) keelokan wajah/fisik (husnul wajh); d) Tidak menuntut mahar yang berlebihan (khafifat al-mahr); e) Berpotensi untuk memiliki banyak anak (an takun wadud); f)masih lajang (an takun bikran); g) berasal dari keluarga terhormat (an takun nasibah); h) tidak berasal dari keluarga terdekat.

Kriteria al-Ghazali yang didasarkan pada banyak hadith nabi tersebut nampak tidak terlalu berorientasi pada tampilan fisik melulu, meski tidak juga meninggalkannya. Kriteria tersebut juga sangat ideal ideal. Dalam kondisi yang terpaksa dan juga kehidupan saat ini yang serba ”terbuka”, maka kriteria agama tentu merupakan sesuatu yang mutlak, yang mau tidak mau harus dipertimbangkan. Bukankan Nabi SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan al-Bukhari ”fadzfar bi dzat al-din, taribat yadak”, yang berarti ”pertimbangkan aspek agama, maka tanganmu menjadi ringan”.

Akhirnya, mencari jodoh bagi mereka yang mau menikah harus dilakukan dengan seksama agar tidak salah pilih. Sebuah khabar dari Nabi SAW berbunyi ”takhayyaru li nutafikum al-akiffa’, fa inna al-’irqa dassas”, yang bermakna ”pilihlah untuk meletakkan nutfahmu pasangan-pasangan yang potensial. Sesungguhnya gen itu sensitif”. Perlu usaha lahir-batin dengan banyak melihat, mendengar, dan memperhatikan.


* Dosen FAI Unmuh Ponorogo
This entry was posted on 18.26 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: