Rule Of Law
16.10 | Author: nuruliman1972
3 Juni 2009

RULE OF LAW
STUDI TENTANG SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA
DI BARAT DAN DI INDONESIA


Abstrak

Rule of law yang diartikan sebagai ‘kekuasaan sebuah hukum’ merupakan tradisi hukum barat yang mengutamakan prinsip equality before law. Ungkapan yang sering mengekspresikannya adalah ‘government by law and not by men’. Diantara ciri-cirinya: adanya supremasi aturan-aturan hukum, kesamaan kedudukan di depan hukum, dan jaminan perlindungan HAM. Doktrin yang muncul pada abad ke-19 ini memberikan kebebasan bagi individu, mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis, dan menjanjikan kepastian hukum tetapi disinyalir sarat dengan kepentingan sosial dan temporal masyarakat industrialis-kapitalis saat kemunculannya, sehingga sering missmatch dengan kondisi riil kekinian. Karenanya muncul ketidakpuasan dan kritik dalam rangka menyempurnakan rule of law. Di Indonesia sendiri rule of law diadopsi secara taken for granted sebagai satu-satunya pemikiran hukum, padahal dalam realitanya hukumnya dinilai sering tidak mencerminkan rasa keadilan sosial dan menjauh dari masyarakat. Tawaran kemudian banyak muncul untuk mempertimbangkan ‘konsep lain’ yang lebih dinamis dalam berhukum seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau rule of Pancasila disamping rule of law, untuk menjadikan hukum lebih adil dan memihak.
Keywords : Rule of law; penegakan hukum; dan keadilan

Pra Wacana

Hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, karena memiliki hubungan timbal balik (Teguh Prasetyo, 2007: 38). Ia akan selalu ada di setiap masyarakat di manapun juga di muka bumi ini dan bagaimanapun keadaannya, modern atau primitip. Dalam kehidupan bernegara, hukum bukan hanya peraturan, melainkan sebuah norma yang oleh negara dipaksakan seperlunya. Dengan demikian, hukum mengikat segenap warga negara dengan mekanisme keberadaan sebuah sangsi sebagai “pemaksa”. Karenanya, ia ditaati tidak saja oleh yang lemah, tetapi juga oleh pihak yang kuat.

Hukum memainkan banyak peran dalam masyarakat. Teguh Prasetyo (2007: 39), menyebut tiga peranan utama hukum dalam masyarakat, yakni pertama, sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu. Dengan ungkapan lain, Zainuddin Ali (2006: 37-39) mengemukakan bahwa peran dan fungsi hukum sebagai sosial kontrol di dalam masyarakat, alat untuk mengubah masyarakat, simbol pengetahuan, instrumen politik, dan sebagai alat integrasi. Anton Freddy (2005: 89) menyebut peranan hukum sebagai sarana pembentukan perilaku dalam masyarakat untuk menghubungkan kepada seperangkat tujuan melalui orang-orang yang memiliki pengaruh di dalamnya. Sedangkan Theo Huijbers (1982: 289) menyebut bahwa fungsi hukum adalah untuk memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan sosial dalam hidup bersama. Ketiga hal ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus dapat diatur dengan baik.

Supremasi hukum (rule of law) dapat dianggap sebagai unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil. Jika hukum tidak ditegakkan betul, selalu ada kecenderungan dari pihak-pihak yang kuat untuk bersikap sewenang-wenang dan yang lemah diperlakukan tidak adil. Yang lemah dapat diambil haknya, bukan karena yang kuat itu berhak, tetapi karena yang lemah itu memang salah. Pemerintahan dapat disebut berdasarkan hukum apabila menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga negara—termasuk para pejabat pemerintah—tunduk pada hukum dan sama-sama berhak atas perlindungannya. “Kesepatakan” bersama untuk menerima ini akan menjanjikan munculnya sebuah keteraturan dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dalam keadaan supremasi hukum yang sudah established, maka kepentingan dari semua orang akan terlindungi, termasuk dari pihak yang kuat. Bagi masyarakat hal ini merupakan sebuah keberuntungan jika semua mengikuti hukum. Adalah Imanuel Kant, seorang filosof yang memikirkan persoalan ini lebih 300 tahun yang lalu, dia mengatakan bahwa dalam negara dengan hukum yang baik, maka rakyat yang terdiri atas setan-setanpun akan menaati hukum. Menurut Frans Magnis Suseno dalam forum kajian hukum Freedom Institute 14 Mei 2007, apa yang hendak dikatakan Kant adalah bahwa meskipun orang-orang berwatak jelek, tapi karena hukum begitu masuk akal dan menguntungkan semuanya, maka mereka dengan sendirinya akan mengikutinya juga. Ini juga berarti bahwa yang kuat pun akan beruntung karena adanya aturan yang jelas. Yang kuat tetap dapat memakai kekuatannya dalam ruang yang bebas, misalnya persaingan ekonomi. Di sini yang kuat bisa menang, tapi bukan dengan tidak adil.
Penelitian ini bersifat library research (kepustakaan) dengan mengkaji berbagai macam data berkenaan rule of law dan penegakan hukum, baik yang berasal dari sumber primer maupun sumber sekunder. Data yang didapat selanjutnya akan dianalisis dengan mengunakan content analysis, yaitu tehnik yang digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam teks-teks tersebut, dan selanjutnya data disajikan dalam bentuk deskriptif-analitis.

Dalam tulisan ini akan dielaborasikan lebih lanjut tentang makna rule of law, latar belakang kemunculannya, prinsip-prinsip yang dianutnya, dan penegakan hukum (rule of law) di Indonesia. Penulis juga merasa perlu untuk menelaah dinamika pemikiran rule of law dalam konteks keindonesiaan sebagai bahan kajian lebih lanjut.

Definisi dan Sejarah Perkembangan Rule of Law

Secara literal rule of law (supremasi hukum) menurut Josep Raz (1979: 212) dapat diartikan sebagai “kekuasaan dari sebuah hukum”. Secara luas, rule of law memiliki makna: “…that people should obey the law and ruled by it”. Ini berarti bahwa masyarakat berkewajiban untuk mentaati hukum dan dikendalikan dengannya. Hanya saja, lanjut Raz dalam politik dan teori hukum pemaknaan ini menjadi sempit, yakni bahwa pemerintah hendaknya dikendalikan oleh hukum dan menjadi subyek terhadapnya. Dalam pengertian ideal seperti ini, supremasi hukum sering diekpresikan dengan ungkapan ‘government by law and not by men’, meskipun pada kenyataannya pemerintahan memang harus terdiri dari hukum dan manusia. Makna rule of law mengharuskan seluruh tindakan pemerintah memiliki landasan dan memiliki pengesahan hukum.

Aspek literal Rule of law memiliki dua aspek, yakni: pertama, bahwa setiap orang harus dikendalikan oleh hukum dan mentaatinya; kedua, bahwa hukum hendaknya menjadikan orang mampu diarahkan dengannya. Ini berarti bahwa hukum harus dapat untuk ditaati. Seseorang dituntut oleh menyesuaikan diri dengan hukum dan bukan untuk melanggarnya. Hanya saja ketaatan seseorang terhadap hukum terjadi jika yang bersangkutan memiliki “kecocokan” dengan pengetahuannya. Oleh karenanya, hukum yang akan ditaati hendaknya bersifat must be capable of guiding the behavior of its subject. Hukum hendaknya dapat diketahui maksudnya dan dapat dijadikan pijakan dalam bertindak. (Raz, 1979: 213)

Moch. Mahfud MD (1999: 127) menyebut bahwa rule of law dianut oleh negara-negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law . Rule of law mengutamakan prinsip equality before law. Adapun ciri-cirinya adalah :
1. Adanya supremasi aturan-aturan hukum,
2. Adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
3. Adanya jaminan perlindungan HAM.

A.V. Dicey (2007: 264-265) mengartikan rule of law dalam tiga definisi yang berbeda. Pertama, rule of law berarti supremasi hukum atau superioritas hukum regular yang mutlak yang bertentangan dengan pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah. Kedua, ia juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh Mahkamah hukum umum. Ketiga, adalah fakta bahwa hukum konstitusi, aturan-aturan yang di luar negeri membentuk sebagian undang-undang konstitusi.

Rule of law sebagaimana dinyatakan Ensiklopedi Wikipedia merupakan prinsip dasar yang menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang berada di atas hukum. Dalam pampletnya Common Sense (1776), Thomas Paine menyatakan bahwa: “dalam pemerintahan absolute, raja adalah hukum, tetapi dalam Negara-negara yang bebas, maka hukum harus menjadi raja dan bukan yang lainnya”. Di Inggris, dideklarasikannya Magna Carta (1215) merupakan contoh riil tegaknya rule of law terutama pada masa klasik.

Sunarjati Hatono (1976:30) menyebut inti pengertian rule of law adalah jaminan apa yang disebut sebagai keadilan sosial. Selanjutnya Sunarjati (1976: 28) mengutip pendapat Friedman, memakai kata rule of law dalam arti formil dan arti materiil. Dalam arti formil, rule of law diartikan sebagai organized public power atau kekuatan umum yang terorganisir. Dalam pengertian ini maka setiap organisasi hukum (termasuk negara) memiliki rule of law-nya sendiri. Sedangkan dalam arti materiil, rule of law adalah hal yang menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang buruk, yakni tentang just dan unjust law.

Doktrin rule of law mulai muncul pada abad ke-19 berbarengan dengan negara konstitusi dan demokrasi. Kehadirannya dapat disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap negara yang absolut sebelum itu. Satjipto (2006: 14) menyebut kemunculannya sebagai necessary evil, sesuatu yang buruk tetapi harus terjadi. Dari dunia yang sebelumnya tidak mengenal negara, tidak dapat diharapkan begitu saja memunculkan ‘negara berkonstitusi’. Paham negara, apapun bentuknya harus dimunculkan terlebih dahulu, dan itulah yang terjadi.

A. Gunaryo menambahkan (2006) bahwa kemunculan rule of law erat sekali dengan gerakan-gerakan sosial dan pola-pola kehidupan sosial yang menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial. Thomson sebagaimana dikutip Gunaryo menegaskan bahwa konsep rule of law lahir di Inggris sebagai akibat dari munculnya gerakan pembebasan diri dari penindasan raja, sebuah kekuasaan yang absolut dan serba meliputi, dan dominasi kelas kelas-kelas sosial yang kuat. Di Amerika, konsep ini diberlakukan untuk menjamin kemerdekaan individu melalui hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rule of law memiliki akar historis dan sosiologis yang kuat dengan dunia barat. Gerakan-gerakan ini membawa banyak perubahan diantaranya munculnya negara modern.

Perlu ditambahkan pula bahwa sementara rule of law memimiliki hubungan dengan kebebasan politik individual, konsep ini juga memiliki hubungan dengan kapitalisme kompetitif. Ekonomi pasar menurut mereka turut mengkondisikan rule of law dan outcome-nya. Dalam pandangan mereka kapitalisme yang kompetitif hanya akan berjalan dengan sangat baik jika ditopang oleh aturan tatanan hukum yang di didasarkan pada rule of law. Dengan rule of law, pertukaran di pasar, perencanaan dan implementasi investasi untuk membuat keuntungan-keuntungan pribadi pribadi, kepemilikan usaha, dan lain-lain diberikan perlindungan yang terukur (A. Gunaryo, 2006).

Konsepsi negara hukum model rule of law yang lebih menitik beratkan individualisme tersebut telah menjadikan pemerintah sebagai “penjaga malam” (nachwachtersstaat) yang lingkup tugasnya sangat sempit dan terbatas (Mahfudz, 1999: 130). Pemerintah dituntut pasif dan hanya menjadi pelaksana berbagai keinginan rakyat yang dituangkan dalam undang-undang oleh parlemen. Agar tidak terjerumus dalam absolutisme, kekuasaan pemerintah dibatasi secara ketat. Konsep negara hukum abad XIX dikenal sebagai konsep negara hukum formal ini yang melahirkan berbagai kesenjangan sosial dan ekonomi. Individualisme liberal telah menyebabkan dominannya pemiliki modal dalam parlemen yang berdampak pada dibuatnya produk hukum yang menguntungkan kaum kapitalis. Pemeritah dalam hal ini tidak dapat berbuat banyak dan tidak boleh campur tangan selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Keadaan diatas menurut Mahfudz (1999: 130) melahirkan ketidakpuasan sehingga memunculkan gagasan tentang welfare state (negara hukum material). Gagasan ini didorong oleh sejumlah faktor yang merupakan ekses industrialisasi dalam sistem kapitalis, paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekayaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Berbeda dengan gagasan negara hukum formal yang melarang pemerintah untuk turut campur dalam kegiatan masyarakat, negara hukum material menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat karenanya tidak boleh pasif. Demokrasi diperluas cakupannya hingga masalah sosial ekonomi sehingga tidak berhenti pada perlindungan hak sipil dan politik semata. Dalam bidang ekonomi harus diterapkan sebuah sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan mampu memperkecil perbedaan sosial dan ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Untuk itu pemerintah diberi kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan masyarakat dengan cara-cara pengaturan, penetapan dan materiale daad. Ciri negara hukum dari konsep rule of law dan rechtstaat karenanya perlu dirumuskan kembali. Perumusan kembali ciri-ciri tersebut akhirnya dihasilnya dari International Comission of Jurist pada konferensinya di Bangkok pada tahun 1965 yang mencirikan konsep negara hukum yang dinamis atau negara hukum material, sebagai berikut:
1. Adanya perlindungan konstitusional. Selain dapat menjamin hak-hak inidividu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya Pemilihan Umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.
5. Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Prinsip-prinsip Rule of Law
Diantara prinsip-prinsip yang dapat diambil dari ide pokok rule of law menurut Josep Raz ( 1979: 214-18) adalah :
1. Seluruh undang-undang hendaklah bersifat prospektif, terbuka dan jelas
Seseorang tidak dapat dikendalikan oleh hukum yang bersifat retroaktif (berlaku surut). Dalam kondisi tertentu, hukum retroaktif memang dapat diundangkan, tetapi hendaklah tetap tidak bertentangan dengan rule of law. Sebuah undang-undang hendaklah terbuka dan dipublikasikan secara memadai. Pada saat yang sama, makna yang dikandungnya harus jelas, tidak samar, atau teliti.
2. Undang-undang hendaknya bersifat stabil
Undang-undang hendaknya tidak sering berubah. Perubahan undang-undang yang terlalu sering akan mempersulit masyarakat untuk dapat “mengenal”nya dan menjadikan masyarakat dalam kekhawatiran yang berkepanjangan. Dalam kenyataannya masyarakat membutuhkan pengetahuan tentang hukum bukan untuk keputusan jangka pendek, tetapi juga untuk perencanaan jangka panjang (long term planning).
3. Pembuatan hukum khusus (particular law) hendaknya dipandu dengan terbuka, stabil, jelas, dan dengan aturan yang general.
Terkadang diasumsikan bahwa kebutuhan akan generalitas sebuah undang-undang merupakan esensi sebuah rule of law. Penegasan atas hal ini merupakan interpretasi literal dari rule of law ketika undang-undang dibaca dalam konotasinya sebagaimana dibatasi untuk generalisasi, stabil, dan hukum yang terbuka. Hal ini juga diperkuat dengan keyakinan bahwa rule of law secara khusus harus relevan untuk melindungi equality (perlakuan sama) yang biasanya berhubungan erat dengan generalitas sebuah hukum. Perbedaan ras, agama, dan kebiasaan bukan sebuah harmoni tetapi sering dilembagakan dalam aturan yang general.
4. Independensi peradilan harus mendapat jaminan.
Hal ini merupakan esensi dari sebuah sistem hukum kota (municipal legal system) bahwa institusi peradilan mendapatkan “kebebasan” untuk menentukan keputusannya. Independensi lembaga peradilan didesain untuk mendapatkan garansi sehingga bebas dari berbagai presseur dan independen dari segala bentuk otoritas lain yang turut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.
5. Prinsip-prinsip keadilan yang natural harus dijalankan
Keterbukaan, praktek hearing yang fair, ketiadaan bias dan semisalnya merupakan hal essensial dalam pelaksanaan sebuah hukum secara benar. Karenanya, berbagai konsideran yang disebut lebih dulu merupakan panduan yang patut dipertimbangkan dalam aksi hukum.
6. Pengadilan hendaknya mendapat kekuatan untuk meninjau kembali implementasi pendirian (hukum) yang lain.
Hal ini termasuk peninjauan kembali terhadap legislasi parlemen dan hukum administratif, meski dalam bentuk terbatas. Hal ini diperlukan untuk menguji kesesuaiannya terhadap rule of law.
7. Pengadilan hendaknya dapat diakses dengan mudah
Posisi sentral pengadilan dalam memastikan rule of law hendaknya menjadikan aksebilitas lembaga ini menjadi sangat penting. Penundaan yang berkepanjangan, ongkos yang berlebihan, dan sebagainya dimungkinkan akan mengubah hukum yang seharusnya mencerahkan menjadi a dead letter (kertas perkara yang tak berarti), dan membuat frustasi banyak pencari keadilan.
8. Praktek diskresi dalam rangka mencegah kejahatan tidak boleh “menyesatkan” pelaksanaan hukum.
Tidak hanya peradilan tetapi juga kepolisian dan mereka yang memiliki otoritas untuk melakukan tuntutan hukum, dapat menumbangkan hukum itu sendiri. Sebuah tuntutan tidak diperkenankan misalnya hanya dilakukan secara maksimal terhadap kriminal tertentu atau jika pelanggarnya dari golongan tertentu. Pencurahan sumber daya dan seluruh tenaga tetap harus dilakukan dalam setiap tuntutan hukum.
Daftar prinsip ini nampak lengkap, namun imbuh Raz (1979: 218), bisa saja ditemukan prinsip lain yang bersesuaian dengan rule of law lewat elaborasi lebih lanjut. Penyusunan daftar prinsip tersebut dimaksudkan untuk mengilustrasikan kekuatan dan manfaat konsep formal rule of law. Yang perlu diingat adalah bahwa analisis final terhadap doktrin ini terletak pada ide pokok bahwa hukum harus mampu menjadi pedoman yang efektif.

Rule of Law dan Penegakan hukum di Indonesia

Konsepsi Negara hukum Indonesia merupakan konsepsi sintetis dari beberapa konsep yang berbeda tradisi hukumnya. Mohamad Mahfud MD (1999: 139) menyatakan bahwa negara Indonesia ini diwarnai oleh campur aduk antara konsep-konsep rechtstaat, the rule of law, negara hukum formal, dan negara hukum material yang kemudian diberi nilai keindonesiaan sebagai nilai spesifik sehingga menjadi negara hukum Pancasila. Konsepsi sintesis seperti ini meskipun lahir dari kebutuhan lingkungan masyarakat Indoenesia yang spesifik tetapi mengandung resiko berupa seringnya muncul perdebatan tentang konsep negara hukum dengan acuan berbeda. Yang satu mengacu pada rechtsstaat sedangkan yang lain mengacu pada the rule of law, atau yang satu mengacu pada negara hukum formal dengan legisme-nya, sedangkan yang lain mengacu pada hukum material dengan just law-nya. Tradisi hukum Anglo Saxon yang bernama Rule of law masuk dalam UUD 1945 dapat dilihat minimal dari pasal 27 yang menentukan bahwa setiap warga Negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan. Sementara itu istilah rechtstaat dan pelembagaan dunia peradilan yang membuka peradilan administrasi (tata usaha) Negara adalah cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang bersumber dari tradisi Eropa Kontinental.

Dalam sejarah perkembangan negara Indonesia sejak berdirinya (17-08-1945) sampai sekarang ini ternyata realisasi negara hukum masih jauh dari yang dicita-citakan. Dari segala kekurangan pemerintahan-pemerintahan masa lalu dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, pemerintahan rezim Orde Baru dapat disebut sebagai yang paling gagal. Bukan saja gagal, tetapi bahkan lebih lanjut rezim tersebut secara langsung atau tidak langsung menginjak-injak hukum, mengabaikan hukum, menyalahgunakan hukum, dan merekayasa hukum demi menjamin kelangsungan kekuasaannya.

Maka menurut MD Kartaprawira (2000) yang berlaku bukan lagi rule of law, yang menuntut agar peraturan hukum berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warganegaranya dari pelanggaran-pelanggaran baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga. Tetapi rule by law, di mana segala peraturan hukum yang berlaku ditujukan untuk mengabdi kepada kepentingan rezim demi kelanggengannya dan pembenaran atas tindakan-tindakannya yang anti demokrasi, anti nasional, anti keadilan dan anti HAM. Di bawah rezim Orde Baru hukum dijadikan alat yang efektif untuk melaksanakan dominasi politik, mengontrol, mengendalikan, dan mengintervensi lembaga-lembaga negara dan parpol-parpol agar tidak membahayakan kekuasaannya. Itulah salah satu identitas rezim diktatur Orde Baru di Indonesia yang berlangsung selama 32 tahun.

Di Orde Reformasi, keadaan ini sedikit membaik. Kebebasan berorganisasi dan berpolitik mulai mendapatkan tempatnya. Lembaga-lembaga hukum tidak lagi sepenuhnya dikendalikan pemerintah. Kasus-kasus yang melibatkan mantan pejabat-pejabat negeri ini telah dapat dimejahijaukan meskipun penyelesaiannya tidak menggembirakan. Kasus KKN Suharto dan kroni-kroninya diselesaikan dengan sangat manipulatif. Misalnya kasus korupsi jamsostek sebesar Rp 7,2 milyar yang diloloskan oleh Suharto sewaktu masih berkuasa tanpa melalui proses pengadilan, lolos pula di era reformasi berdasarkan Surat Putusan Pemberhentian Perkara (SPPP) Jaksa Agung dikarenakan tidak ditemukannya cukup bukti. Hal ini tentu cukup memukul “rasa keadilan” masyarakat.

Diantara fenomena terakhir yang sangat menciderai dunia penegakan hukum kita adalah ketika praktek sogok menyogok hakim dan jaksa dalam penanganan sebuah perkara, banyak terjadi. Kasus jual beli tuntutan hukum yang melibatkan jaksa “brilian” Urip Tri Gunawan adalah contoh kongkritnya. Perihal keterlibatan oknum aparat yang seharusnya berdiri di garis terdepan dalam menegakkan supremasi hukum itu sendiri dalam berbagai kasus suap, korupsi, memang merupakan fakta yang tidak bisa ditutup-tutupi. Hakim disuap. Jaksa menerima upeti dari orang yang sedang diadili perkaranya. Kasus jaksa Urip dimungkinkan hanya salah satu diantara gunung es kebobrokan penegakan hukum kita.

Hanya saja wajah hukum kita dewasa ini sedikit sumringah dengan mulai banyaknya proses hukum terhadap orang-orang “besar” yang dalam beberapa waktu lalu seakan tabu. Proses hukum terhadap mantan Presiden, anggota DPR RI, mentri dan mantan mentri, Jendral TNI, Kabulog, Gubernur, dan Bupati/Kepala Daerah adalah suatu yang lumrah terjadi meskipun penyelesaian hukum dalam persidangan dan hasil keputusannya adalah masalah lain. Setidaknya tidak ada kesan lagi manusia yang “kebal” hukum di negara Indonesia ini. Proses hukum terhadap Muhdi PR, seorang petinggi BIN, terkait pembunuhan aktivis HAM Munir adalah salah satu contoh terbaru dan riil untuk hal ini. Law enforcement mulai mendapatkan tempatnya.

Kedudukan hukum adalah sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Jika hukum diabaikan dan terciderai, maka pembangunan masa depan bangsa akan terbengkalai. Misalnya, korupsi yang belum dituntaskan akan mempengaruhi pembangunan ekonomi bangsa. Demikian juga dengan berbagai problema lainnya. Karena itu, berbagai kasus yang terjadi belakangan ini mengisyaratkan bahwa penegakan supremasi hukum di tanah air masih mengalami ujian yang sangat berat. Peristiwa bebasnya sejumlah bandar narkoba, pelaku illegal loging, penyerobotan tanah orang lain, pelaku korupsi, dan lain-lain dari jeratan hukum semakin membuktikan bahwa supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum masih terkesan pandang bulu. Perlakuan bagi pelanggar hukum masih sering memilah dan memilih.

Tanpa tegaknya supremasi hukum, mustahil akan dirasakan kedamaian dan keadilan dalam masyarakat. Namun, niat baik untuk menjaga kewibawaan hukum dimata publik belumlah kuat dan mengakar, termasuk oleh aparatur penegak hukum itu sendiri. Bahkan yang sering terjadi adalah perselingkungan hukum. Hukum diperjual belikan oleh mafia peradilan. Tidak berlebihan jika Sadjipto Rahardjo (2006: 60-65) menyebut menjalankan hukum sebagai sebuah “permainan” dan bisnis, disamping sebagai sarana mencari keadilan dan kebenaran.

Jika kita ingin membangun republik ini, maka seharusnya upaya menegakkan supremasi hukum adalah sebuah kemutlakan. Penegakan hukum tidak boleh bersifat sesaat atau suam-suam kuku. Asas ini digunakan sebagai langkah awal yang bijak dalam memelihara tegaknya supremasi hukum. Tegaknya supremasi hukum akan melahirkan kepastian. Kepastian tentang mana yang benar dan mana yang salah. Bukan malah menciderai hukum itu sendiri. Dari kehidupan sehari-hari, sering sekali kita menyaksikan bahwa keadilan dan hukum masih lebih berpihak kepada yang bayar, kepada penguasa dan pengusaha. Sementara rakyat kecil sering sekali terpinggirkan. Potret seperti inilah yang sering terjadi selama ini. Akhirnya, supremasi hukum pun menjadi terkoyak. Karena itu, kalau ditemukan ada aparat penegak hukum yang tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, seharusnya ada sangsi dan tindakan yang jelas dari pejabat yang berwewenang.

Dari Rule of Law menuju “keadilan”

Rule of Law adalah suatu sistem hukum yang sangat dominan tidak hanya di Negara-negara industrial kapitalis, tetapi juga di dunia termasuk di dunia. Usianya di Indonesia melebihi usia republik ini, yakni sejak Belanda melaksanakan konkordansi hukum di Indonesia. Menurut Achmad Gunaryo (2006), di Indonesia sistem hukum ini diterima begitu saja (taken for granted), dan sejak dilaksanakannya belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mengkritisinya. Di barat sendiri telah muncul ketidakpuasan terhadap sistem ini karena dianggap hanya mampu menghadirkan keadilan individual, tetapi tidak mampu membawa keadilan yang menyeluruh untuk seluruh lapisan masyarakat. Gerakan Critical Legal studies (CLS) adalah gerakan pemikiran hukum yang kritis terhadap rule of law, dengan Roberto M. Unger sebagi salah satu tokohnya.

Di Indonesia, Ismail Sunny adalah salah satu tokoh yang bersuara kritis terhadap rule of law. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara , Sunny menegaskan (1966) bahwa dalam pola hubungan human relation yang berubah-ubah yang diakibatkan oleh kemajuan sosial yang progresif, prinsip rule of law mengalami proses evaluasi dan revolusi untuk menghadapi situasi-situasi yang baru dan penuh tantangan. Ini adalah aspek dinamis dari rule of law, karena pelaksanaannya tidak terbatas pada suatu sistem hukum, bentuk pemerintahan, tata ekonomi, atau tradisi kultural tertentu.

Adalah Satjipto Raharjo, seorang guru besar hukum dari Universitas Diponegoro, yang menurut pengamatan A. Gunaryo (2006), pada masa kontemporer yang dalam berbagai tempat dan kesempatan secara vocal melakukan kritik terhadap sikap “pasrah” menerima Rule of Law atau bahkan membabi buta dengan menganggapnya sebagai capaian final dalam perkembangan hukum di Indonesia. Pandangan yang menjamur di kalangan praktisi hukum maupun akademisi bahkan menyebut bahwa sistem hukum ini sebagai satu-satunya koridor pemikiran hukum.

Satjipto menegaskan bahwa sistem hukum ini bukanlah sebuah institusi netral, tetapi merupakan suatu legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat, dan negara serta nilai-nilai tertentu. Sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis dan akar budayanya sendiri, rule of law tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa-bangsa di Eropa. Karenanya dapat dikatakan bahwa rule of law berstruktur sosiologis dan berakar pada budaya Eropa. (Satjipto Raharjo, 2006: 8)

Penggunaan rule of law merupakan bentuk “pinjam meminjam” antar bangsa-bangsa yang makin menyatu dan saling berhubungan. Interaksi intensif antar bangsa di dunia meniscayakan diadopsinya berbagai cara dalam penataan masyarakat dan kehidupan sosial. Hal ini lanjut Satjipto (2006: 8) adalah hal yang dapat dimengerti dan lumrah.

Yang perlu diperhatikan kemudian adalah kenyataan bahwa keadaan si peminjam tidak tidak selalu sama dengan yang dipinjam. Budaya masyarakat Indonesia menganut doktrin ‘keserasian, keselarasan, keseimbangan, musyawarah, dan kekeluargaan”. Sementara masyarakat Belanda menurut Sosiolog Belanda, Bart van Steenbergen (Satjipto, 2006: 8) adalah masyarakat barat yang memiliki ciri budaya seperti dualisme, pemecah-pecahan (fragmentarjsering) atomisasi, pembagi-bagian, yang sekaliannya mengandung arti kesatuan atau keutuhan.

Dengan demikian maka legalisme liberal model rule of law yang kita pakai sebagai sistem formal hukum kita menurut Satjipto (2006: 10) akan menimbulkan persoalan sendiri. Ada mismatch antara sistem hukum kita dengan rule of law. Hanya saja, Indonesia tidaklah berdiri sendiri menghadapi masalah kesenjangan ini, karena memang merata di kawasan Asia Timur seperti di Korea, Jepang, dan Thailand.

Rule of law yang menyediakan tatanan stabil untuk individu dan usaha dalam rangka memperoleh keuntungan dan laba, memiliki banyak “keterbatasan”. Menurut A. Gunaryo (2006), dalam pandangan rule of law, hukum bukanlah arena untuk memecahkan persolan seperti kemiskinan, penganggungan, atau asuransi kesehatan. Rule of law memang tidak diorientasikan untuk ‘peka’ terhadap persoalan-persoalan sosial.

Lebih lanjut bahwa persoalan-persoalan yang menurut konsep rule of law diidentifikasi sebagai persoalan hukum, di Indonesia persoalan-persoalan tersebut bukanlah persoalan hukum semata tetapi juga persoalan sosial. Korupsi memang persoalan hukum, tetapi apabila dilakukan secara berjama’ah, maka hal itu bukan lagi persoalan rule of law. Menurut A. Gunaryo (2006), persoalan sosio-legal ini tidak akan mampu dipecahkan oleh rule of law, karena memang tidak didesain untuk itu. Persoalan hukum disini telah berubah menjadi persoalan sosial. Jika kita ingin mengkatagorikan korupsi sebagai kasus hukum, maka pemahaman kita tentang hukum harus dirubah. Dalam kerangka pemikiran seperti ini perlu dibicarakan fungsi rekayasa hukum sosial.

Konsekwensi hukum dalam konsep rule of law yang berfungsi untuk menopang tuntutan industrialisasi kapitalis, selama ini kurang diperhatikan. Kenyataan ini menyeret hukum ke dalam bingkai ekonomi dan tujuan-tujuannya. Keadilan menjadi tujuan sekunder. Mafia peradilan dan jual beli putusan pengadilan adalah gambaran reflektif bahwa hukum sudah menjadi institusi pengadilan (Gunaryo: 2006). Bisnis lawyering dengan lawfirm-nya adalah contoh yang sedikit lebih netral menurut Satjipto Raharjo (Raharjo, 2006: 63). Praktik hukum menjadi tidak murni lagi urusan hukum lagi, tetapi sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis. Indonesia telah mendekati arah negara-negara maju yang menjadikan hukum sebagai big industries (perusahan hukum). Keadilan akhirnya tidak untuk setiap orang. Keadilan hanya miliki mereka yang data membayarnya (equal justice under law-to all who can afford it).

Satjipto (2006: 16) selanjutnya menyarankan untuk dapat mengembangkan “doktrin” pengganti rule of law berupa Rule of Moral, Rule of Justice, dan Rule of Pancasila. Doktrin yang bersumber dari pemikiran Indonesia ini diharapkan memberikan isyarat untuk lebih mengedepankan ‘olah hati-nurani’ dari pada ‘olah otak’, atau lebih mengunggulkan komitmen moral dari pada sekedar perundang-undangan.

A. Gunaryo (2006) menawarkan the rule of social justice sebagai pengganti rule of law. Disamping memiliki kelebihannya tersendiri, rule of law memiliki cacat pada waktu ingin dipakai menyelesaikan kasus-kasus besar. Dalam konteks persoalan Indonesia, cacat terbesarnya adalah sistem hukum ini hanya melayani kepentingan individual sehingga social justice dikorbankan. Keadilan sosial inilah yang sering tidak terjamah dan kurang diperhatikan. Rekontruksi pemikiran hukum yang menempatkan keadilan sosial sejajar dengan keadilan individu mutlak diperlukan saat ini.
Perubahan sistem sosial feodal kearah yang lebih egaliter merupakan agenda besar yang mendesak. Untuk itu diperlukan gerakan budaya. Revolusi amerika pada abad 19 dalam rangka menciptakan kehidupan egaliter merupakan pengalaman berharga yang tidak perlu terjadi di Indonesia. Para pemimpin bangsa harus segera sadar bahwa perilaku koruptif mereka telah menyebabkan tidak dihargainya bangsa ini di mata masyarakat internasional disamping keterpurukan hukum di dalam negeri. Karenanya perbaikannya hendaklah dimulai dari mereka (A. Gunaryo, 2006).

Dengan ungkapan yang berbeda M. Mahfudz MD (1999: 150-152) menyatakan bahwa dalam berperkara di pengadilan, prinsip utama yang harus ditegakkan adalah menegakkan keadilan dan kebenaran. Konsep negara hukum yang diberi arti material sehingga acuan utama bukan hanya hukum yang tertulis seperti yang dianut paham legisme, melainkan hukum yang adil. Karenanya, the rule of law harus diartikan sebagai the rule of just law atau the rule of social justice, atau negara hukum dalam arti maateril yang bermaksud melaksanakan hukum yang adil. Inti dari konsepsi negara hukum memang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, meskipun dalam dunia kita hal tersebut terdengar naif terutama di kalangan para pengacara yang selalu berorientasi pada mencari kemenangan.

Sebagai penutup pembahasan ini, menarik untuk diketengahkan apa yang diceritakan oleh Satjipto Raharjo (2006: 113-115) tentang “budaya hukum” dan praktik hukum antara Amerika dan Jepang. Pada tanggal 2 Agusus 1985, sebuah jet jumbo Delta Airlines telah jatuh di Dallas dan menewaskan 127 orang. Setelah itu orang menyaksikan bergeraknya para lawyer Amerika menyongsong peristiwa tersebut. Maka terjadilah perang tuntut-menuntut dan gugat-menggugat antara pihak penumpang dan perusahaan Delta Airlines. Masing-masing lawyers mengemukakan dalih untuk menuntut atau menolak gugatan.

Sepuluh hari sesudah peristiwa itu, yakni pada 12 Agustus 1985, sebuah jet jumbo Japan Airlines (JAL) Jatuh di Gunung Ogura di Pulau Honsu. Presiden JAL, Yasumoto Takagi, mendatangi para korban dan membungkukkan diri dalam-dalam dan lama kepada mereka. Dia lalu menghadap tembok yang dipenuhi nama-nama para korban yang dipahatkan pada kayu. Sekali lagi ia membungkuk. Kemudian dengan suara bergetar, Yasumoto Takagi, meminta maaf dan merima tanggung jawab.

Upacara ini menandai akhir kerja panjang berbulan-bulan untuk memperingati arwah 520 orang yang tewas dalam kecelakaan tersebut. Takagi dan pegawainya mempertanggung jawabkan semua kesalahan mereka. Pada hari-hari menyusul kecelakaan tersebut, pada saat keluarga korban pergi ke gunung untuk mengenali para korban, para pegawai JAL mendampingi mereka, membayar pengeluaran, menyediakan makan dan minum serta pakaian bersih. Sesudah mayat-mayat dikenali, perusahaan menugasi dua orang pegawai untuk setiap keluarga guna memperhatikan kebutuhan mereka mulai dari pemakaman hingga mengamankan mereka dari wartawan. JAL bahkan menyediakan beasiswa untuk membiayai anak-anak yang orang tuanya tewas dalam kecelakaan tersebut. Perusahaan membelanjakan 1,5 juta dollar AS dalam usaha ‘memorial’ tersebut. Yasumoto Takagi segera minta mengundurkan diri sebagai tanda tanggung jawab.

Menurut Satjipto Raharjo (2006: 114), reaksi Amerika tersebut merupakan wujud dari suatu bangsa yang membanggakan dirinya sebagai bangsa yang mengunggulkan hukum (supremacy of law). Sementara Jepang sebagai bangsa modern yang juga memakai hukum modern, lebih mengunggulkan moralitas (supremacy of moral). Dari sini dapat dilihat, betapa bangsa-bangsa dengan sistem hukum yang sama, bisa menghasilkan kualitas ‘produk’ yang berbeda. Amerika sibuk dengan urusan gugat-menggugat, dan tutut-menuntut, sedangkan Jepang sibuk meminta maaf dan menunjukkan rasa tanggung jawab.

Tidak berlebihan jika kita disebut lebih cenderung kepada Jepang daripada Amerika. Pada banyak daerah, budaya malu pada masyarakat kita masih memegang peranan penting. Meski demikian budaya ini semakin pudar, surut dan melemah. Selain mempertimbangkan rule of law, nilai luhur dan moralitas kita tersebut sebenarnya dapat diberdayakan dan dijadikan acuan dalam kita melaksanakan hukum yang lebih berkeadilan, karena dalam kenyataannya banyak aspek-aspek kebenaran dan keadilan tidak terwadahi dalam pasal-pasal undang-undang dan aturan hukum.

Penutup

Rule of law sering diterjemahkan sebagai supremasi hukum atau “kekuasaan hukum”. Hal ini meniscayakan ketundukan individu, masyarakat, dan negara pada hukum, sejalan dengan term equity befor the law. Pada awalnya, ia merupakan respon terhadap kekuasaan negara yang absolut. Konsep ini memberikan jaminan terlindunginya hak-hak individu dalam bernegara dan bermasyarakat. Rule of law juga ditengarai memiliki hubungan yang erat dengan kapitalisme kompetitif.

Seiring dengan perkembangan zaman ditemukan bahwa rule of law tidak mampu menghadirkan keadilan yang lebih menyeluruh dalam masyarakat. Ia dianggap ‘lebih mewakili’ masyarakat pada masanya dengan latar belakang sosial budaya yang tersendiri. Upaya “tambal sulam” terhadap kosep ini sudah banyak dilakukan.
Tawaran untuk melirik konsep yang lebih komprehensif--yang bersumber dari budaya lokal—seperti rule of justice, rule of social justice, rule of moral, atau bahkan rule of Pancasila disamping rule of law perlu mendapat pertimbangan dan perhatian tersendiri, demi tegaknya keadilan sosial dalam sebuah masyarakat dan bangsa. Problem-problem hukum nasional yang tidak terselesaikan dengan adil lewat rule of law diharapkan menemukan solusi penyelesaian yang lebih baik. Aspek-aspek immaterial yang sering tidak tercover di dalamnya hendaknya dapat dipenuhi dengan mengadopsi konsep-konsep yang ditawarkan tersebut.

Wallahu a’lam bi al-sawab.

* NB : Telah dimuat dalam Jurnal Fakultas Syari'ah STAIN Surakarta 2009
This entry was posted on 16.10 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

4 komentar:

On 3 Juni 2009 pukul 23.27 , David Pangemanan mengatakan...

PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Maka benarlah statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Sudah tibakah saatnya???

David
HP. (0274)9345675

 
On 21 Oktober 2009 pukul 00.57 , Anonim mengatakan...

LALU APAKAH ADA DEFINISI SECARA HARFIAH TENTANG RULE OF LAW DI NEGARA INDONESIA INI?
MUNGKIN ITU PERTANYAAN SAYA.
TRIMS..

 
On 9 November 2009 pukul 18.01 , aslan s mengatakan...

Kita jangan semata-mata menyudutkan para instansi hukum di negara ini, karena belum tentu semua dipikiran kita itu adalah benar.
Suatu hal yang perlu kita telaah, dan renungkan" bahwa seandaninya tidak ada penegak hukum di negara ini maka kira-kira apa yang terjadi"
maka patutlah kita bangga dengan para penegak hukum walaupun yang sebenarnya penegakannya belum optimal dan sesuai harapan tapi setidakny telah mampu menciptakan suasana yang kondusip.
" Marilah kita bersama meringankan tangan menyatukan tekat menjunjung penegakan hukum di negara ini..! TEGAKAN HUKUM WALAU LANGIT AKAN RUNTUH......!

 
On 9 Februari 2010 pukul 23.29 , Anonim mengatakan...

Pembaasan dalam penutup pembahasan terkait dengan cerita Satjipto rahardjo mengenai penyeelsaian kasus pesawat jatuh (supremacy of moral) mengingatkan saya pada pernyataan Prof. bagir Manan, terkait dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. Tidak semua tindak pidana harus diselesaikan dengan penjatuhan pidana penjara. yang penting bagi masyarakat dan yang memebri rasa keadilan bagi masyarakat adalah bahwa uang krupsi tersebut kembali kepada masyarakat dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di bidang lingkungan hidup yang penting adalah pulihnya lingkungan. Jadi pemidanaan untuk suatu perbuatan bukan merupakan penyelesaian terakhir.