Mengarusutamakan Pendidikan Nilai
04.19 | Author: nuruliman1972
16 Juni 2011

MENGARUSUTAMAKAN PENDIDIKAN NILAI


Pendidikan disepakati oleh banyak ahli, memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan daya saing yang tinggi. Hal ini menurut Mardiatmaja (2004) dikarenakan pendidikan adalah proses yang menyeluruh dan berkesinambungan untuk mempersiapkan manusia dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja. Di dalamya terdapat unsur mencerdaskan, meski pendidikan sendiri lebih luas dari sekedar mencerdaskan. Selain itu, di dalam pendidikan terdapat pula unsur pembentukan mental dan perilaku melalui serangkaian nilai yang dijunjung bersama dan dikembangkan.

Nilai dapat diartikan sebagai ”pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar”. Nilai ini hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku. Sumber utama nilai adalah ajaran agama, disamping hati nurani, dan adat kebiasaan.

Keberadaan nilai penting bagi seorang manusia, karena pada dasarnya perilaku dan aktivitasnya akan ditentukan, didorong, dan diarahkan oleh nilai-nilai yang dipegangi. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan. Koentjaraningrat (Syukur, 2008) menyebut bahwa dalam kontek yang mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai yang diyakininya. Sistem nilai tersebut merupakan jawaban yang dianggap benar menganai berbagai masalah dalam hidup.

Dalam Seminar Nasional “Rekontruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Nasional dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” yang diselenggarakan Fakultas Agama Islam Unmuh Ponorogo, kedua narasumber yang hadir saat itu bersepakat tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada internalisasi nilai-nilai dalam diri peserta didik, dan meninggalkan paradigma sesaat berupa transfer keilmuan semata. Krisis multidimensional yang menimpa bangsa Indonesia saat ini diakui atau tidak merupakan buah pendidikan yang mengesampingkan pendidikan nilai. Sebaliknya, pendidikan lebih sering memberikan penekanan pada capaian kognitif dan penguasaan ketrampilan, dibandingkan pembentukan mental dan karakter peserta didik.

Wacana pembentukan kararter (character building) sebenarnya cukup mengemuka akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan. Hanya saja, dalam praktiknya usaha membangun karakter di lembaga pendidikan sering kali berhenti sebagai sebuah teori atau keinginan saja, atau pada tulisan-tulisan dalam bentuk persiapan pembelajaran (RPP) yang dipraktekkan secara parsial di pembelajaran, atau bahkan dipahami secara sepihak sebagai tanggung jawab guru agama semata. Padahal, seharusnya pembentukan karakter dan mental bisa dirancang bersama oleh penyelenggara pendidikan secara komprehensif sehingga seluruh kegiatan dan kehidupan di sekolah mencerminkan bentuk praktis aplikatif terhadap nilai-nilai yang dianut sebuah lembaga pendidikan. Teori-teori tentang nilai dan mendidikannya perlu dikaji secara mendalam, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam tingkah laku dan sikap hidup. Berkenaan dengan pendidikan nilai, lembaga-lembaga pendidikan umum maupun agama layak untuk belajar dari pesantren.

Pesantren mengusung berbagai nilai unggul, diantaranya adalah kehidupan islami, keakraban antara guru (kiai) dan santri, ketaatan kepada pimpinan, kebersamaan, kesederhanaan, kemandirian, disiplin, kejujuran, dan keberanian untuk berjuang menggapai tujuan. Nilai-nilai tersebut secara praktis dan penuh penghayatan dijalani oleh seluruh penghuni pesantren dalam kehidupan sehari-hari. Kesederhanaan misalnya, telah menjadi nilai yang mewarnai pesantren, tercermin dalam cara segenap penghuninya makan, berpakaian, membangun asrama/tempat tinggal, dan bahkan bersikap. Kehidupan pesantren yang berbasis nilai-nilai ini lebih mencerminkan kekuatan diri dan kehidupan sewajarnya, tanpa ada rekayasa maupun polesan berlebih-lebihan. Jika ada pesantren yang mulai meninggalkan nilai-nilai itu, sejatinya ia mulai tercerabut dari akar budayanya sendiri yang khas dan unggul.

Berdasarkan keutamaan pesantren dan pendidikan nilai yang diusungnya tersebut, A. Malik Fajar bahkan menyebut lembaga ini layak disintesakan bahkan dengan pendidikan tinggi (PT). Kelebihan ruhaniyah pesantren diharapkan dapat melengkapi tradisi intelektualitas perguruan tinggi, dan sebaliknya tradisi keilmuan perguruan tinggi diharapkan menyempurnakan religiusitas pesantren.
Senada dengan Fajar, Amin Abdullah (2010) menegaskan pentingnya pengarusutamaan pendidikan pesantren yang berbasis pembentukan mental para santri. Meksi demikian, Amin juga menyatakan perlunya lembaga pesantren melakukan kontekstualisasi pendidikannya dengan mengangkat isu-isu kemanusiaan secara universal misalnya berkenaan dengan gender, trafficking, global warming, ekologi, serta isu-isu kontemporer kebangsaan lainnya. Selain itu perlu digalakkan pengenalan teknologi informasi dan pemakaian bilingual terutama bahasa Inggris dan Arab. Hal ini diperlukan untuk menghapus kesan konservatif yang melekat pada pendididikan pesantren, dan yang terpenting agar melatih anak didik dapat membaca realitas keumatan dan masyarakat.

Pendidikan pesantren memang tidaklah sempurna dan layak untuk terus mendapatkan perbaikan, tetapi tradisi nilai-nilai unggul yang dikembangkan di dalamnya layak untuk diadopsi dalam sistem pendidikan nasional kita saat ini yang nampak mulai kehilangan ruh dan jiwanya. Kasus terjadinya kecurangan secara massif dalam Ujian Nasional di berbagai lembaga pendidikan non pesantren menunjukkan pemahaman dangkal banyak pihak tentang arti keberhasilan pendidikan, yang lebih berorientasi kepada angka-angka prestasi akademik, dibandingkan sikap jujur dan keuletan dalam belajar. Belum lagi problem kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan tawuran masal dan lainnya.

Membangun tradisi nilai-nilai unggul dalam penyelenggaraan pendidikan memang tidak mudah, tetapi itulah sejatinya hakekat pendidikan dan ruhnya yang layak diperjuangkan sekuat tenaga, dan dengan penuh kesugguhan oleh segenap pihak. Jika pendidikan telah kehilangan kejujuran, keuletan, disiplin, kekeluargaan, kemandirian, dan kesederhanaannya, maka hasil apakah yang diharapkan pendidikan tanpa ruh ini? Keruntuhan bangsa secara perlahan lagi pasti akan terwujud lewat generasi-generasi muda tanpa jati diri dan tanpa sikap mental yang baik. Wallahu a’lam.
This entry was posted on 04.19 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: