Memanusiakan Idola
22.50 | Author: nuruliman1972
22 Februari 2011


MEMANUSIAKAN IDOLA

Oleh: Amalia Sulfana, S.Ag.

Ketika bulan Rabiul Awwal datang, kaum muslimin Indonesia memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Momen berharga peringatan rutin tahunan tersebut seakan mengingatkan setiap diri muslim untuk meneguhkan kembali keimanan kepada Rasulullah (tauhidurrasul) sebagai bentuk konsekwensi logis keimanan kepada Allah SWT (tauhidullah).

Dalam maulid nabi kita diingatkan kembali bahwa kita memiliki idola paripurna (qudwah hasanah) yang harus dijadikan rujukan dalam menjalani hidup (al-Ahzab: 21). Saatnya setiap muslim mematut diri di depan cermin sejarah Muhammad SAW, untuk melihat sejauh mana kesamaan penampilan dan kemiripan perilaku dirinya dibandingkan nabi. Bukankah kesamaan keadaan setiap muslim terhadap rasul merupakan jaminan yang menyelamatkan seorang di hari Akhir kelak dan membimbingnya untuk hidup penuh kesadaran sesuai dengan penggalan ayat tersebut, yakni ”liman kana yarju Allah, wa al-yaum al-akhir” (bagi siapa saja yang berharap ridho Allah dan keselamatan di hari Akhir dan mau berdzikir kepadaNya dengan sebanyak-banyaknya).

Mengambil hikmah (pelajaran) dari setiap peristiwa kehidupan merupakan keharusan bagi setiap muslim, termasuk dalam konteks maulid. Al-hikmah dhallat al-mu’min, anna wajadaha akhadzaha yang berarti ”hikmah merupakan sesuatu yang hilang dari seorang muslim, jika menemukannya di manapun juga, ia harus memungutnya”. Mengambil hikmah dalam memperingati maulid ini haruslah dikedepankan, sehingga ia tidak terjebak rutinitas tahunan atau formalitas.

Maulid (kelahiran) nabi menegaskan sisi kemanusiaan Rasulullah. Bukankan empat puluh tahun umur Muhammad dilalui bukan sebagai rasul dan merupakan dua pertiga hidupnya. Masa-masa sebelum kenabian, jika ditelaah secara mendalam merupakan masa-masa Muhammad sebagai manusia biasa, yang dilalui dengan mempraktikkan akhlak terpuji, penuh perjuangan hidup, dan pencarian jati diri yang berakhir sukses. Kesuksesan hidup Muhammad sebelum diterimanya risalah tersebut berperan besar dalam kesuksesan dakwah Islam. Hal ini berarti, bahwa mengambil inspirasi hidup dan tauladan dari kehidupan Muhammad SAW, dengan demikian dapat dilakukan secara utuh, bahkan dari kehidupan beliau sebelum menjadi rasul.

Setelah diangkat menjadi Rasul, Muhammad tetaplah seorang manusia yang diberikan kepadanya wahyu. Predikat utusan Allah tidak menghilangkan sisi kemanusiaan beliau. Ibarat sebuah koin, yang kedua sisinya tidak terpisahkan, maka sosok Muhammad Rasulullah satu bagiannya adalah sebagai Rasul dan pada bagian lain tetaplah manusia biasa. Dalam Al-Quran (Fussilat: 6) Allah SWT memerintahkan Muhammad untuk mengatakan ”qul Innama ana basyar mistlukum” atau sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian.Yang membedakan adalah bahwa Muhammad SAW diberikan wahyu ilahi yang mengajak manusia mengesakah Allah sebagai ditegaskan ”yuha ila annama ilahukum ilah wahid”.

Kenyataan bahwa Muhammad SAW tetaplah sebagai manusia biasa disamping kenabiannya dan bukan makhluk langit (malaikat) memberikan pengertian bahwa untuk meneladani kehidupan Muhammad dan sunnahnya bukanlah sesuatu yang mustahil karena nabi dan kita adalah manusia yang sama. Karena itu cara beliau makan-minum, berjalan, bergaul, berkeluarga, berbisnis, atau bahkan tidur sekalipun, adalah qudwah yang bisa diteladani dalam kehidupan manusia, disamping aspek-aspek ibadah dan keyakinan yang telah dimaklum kewajiban ittiba’ di dalamnya.

Selain itu, sisi kemanusiaan Rasulullah juga menegaskan kewajiban kita untuk menghormati dan mencintainya secara benar tanpa berlebihan sehingga terjebak dalam kultus yang dilarang (al-ithra’). Dalam sebuah hadith yang diriwayatkan al-Bukhari, Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berlebihan memujinya. La tathruni kama athrat al-nashara ’Isa ibn Maryam (janganlah kalian memujiku berlebihan seperti halnya kaum nasrani melakukan hal itu kepada Maryam). Selanjutnya, beliau memerintahkan pada sahabat untuk memanggilnya hanya sebagai hamba Allah (’abdullah) dan rasulNya (rasuluh). Dalam hadith lain yang diriwatkan Ibn Majah dan Nasa’i, Rasul juga melarang perilaku al-ghuluw fi al-din (berlebihan dalam beragama). Meski hal ini berkonotasi umum, tetapi cara bersikap terhadap rasul dapat dimasukkan di dalamnya.

Untuk menghindari kultus, mengutip Syafiq A. Mughni (dalam MATAN Edisi 55 Februari 2011), kita perlu mencermati keyakinan kita terhadap Muhammad SAW, apakah telah bersumber kepada al-Qur’an dan hadith. Di luar hal tersebut, hanyalah spekulasi atau imajinasi yang disebut sebagai mitos atau takhayul (hayalan) yang menarik untuk dikaji dan tidak perlu dipercaya.

Jika Rasulullah memerintahkan para sahabat dan umatnya untuk tidak berlebihan memuja dirinya, meski beliau adalah manusia ma’shum (dijaga Allah), maka demikian pula seharusnya sikap kita terhadap idola-idola baru berupa politisi, ilmuwan, tokoh agama, artis, maupun yang lainnya. Cara kita memperlakukan dan menghormati mereka hendaknya harus tetap rasional dan tidak terjebak kultus. Hal ini penting agar kemurnian tauhid kita tetap terjaga. Wallahu a’lam.

* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
|
This entry was posted on 22.50 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: