2 Desember 2010
BENCHMARKING DAN PEMBERDAYAAN WAKAF
Pendahuluan
Dunia bisnis kini sedang dilanda demam “keterbukaan”. Mereka membuka cakrawala lebar – lebar ke semua industri, untuk membandingkan diri dan kemudian meniru apa yang bisa ditiru. Dan mereka tidak tanggung – tanggung. Biasanya mereka melihat ‘the best practices in the world’, untuk mengukur prestasi sendiri dan kemudian meniru kalau mereka kalah.
Masa depan memang dipenuhi dengan tantangan yang tidak dapat diduga dan diperkirakan. Tantangan ini mengejawantah dalam bentuk perubahan. Tuntutan yang pasti dihadapi oleh mereka yang berperan dalam di masyarakat, seperti negarawan, politisi, tokoh industri, pembentuk opini masyarakat, dan penyebar informasi, adalah meningkatkan kemampuan masing-masing untuk mengelola setiap perubahan yang pasti akan terjadi (Siagian, 2004: 215). Memahami kapan dan bagaimana mengimplementasikan perubahan merupakan bagian vital dari manajemen (Sunarto, 2007: 64).
Benchmarking adalah proses “perubahan terstruktur” dan berkesinambungan yang didasarkan pada pengumpulan dan analisa data dari organisasi dan dibandingkan dengan keadaan di dalam dan atau di luar sebuah organisasi. Hasil dari proses ini akan menjadi patokan (patok duga) untuk memperbaiki organisasi tersebut secara terus menerus.
Tingginya persaingan dalam bisnis saat ini tuntutan pelanggan terhadap produk dan pelayanan terbaik, mengakibatkan kepuasan pelanggan menjadi semakin sulit dipenuhi. Menurut Zulian Yamit (2002: 132) Upaya untuk memuaskan pelanggan dengan memberikan produk dan layanan terbaik merupakan dorongan utama dilakukannya benchmarking.
Lembaga wakaf dan filantropi lain merupakan organisasi non profit (NGO) yang dituntut untuk terus berkembang dengan memberikan layanan terbaik bagi para donator pada satu sisi dan mengembangkan aset pada sisi lain guna mempertahankan eksistensi lembaga dan memperluas jangkauan program layanan. Kenyataan ini meniscayakan tuntutan untuk terus berkembang, dan benchmarking tentunya akan dapat mempermudah usaha tersebut.
Pembahasan makalah diarahkan pada elaborasi makna benchmarking dan sejarahnya, pembedaannya dari persaingan, evolusi konsep dan jenis-jenisnya, hambatan-hambatan, serta diakhiri urgensi penerapan benchmarking dalam rangka pemberdayaan wakaf.
Definisi & Sejarah Benchmarking
Benchmarking dipadankan dengan Patok Duga. Secara singkat ia dapat diartikan sebagai “process that compares your business activities to similar companies” (www.bhpinfosolutions.co.uk). Maksudnya, sebuah perusahaan akan ‘mematok’ perusahaan lain yang mereka anggap sebagai pesaing terberat, lalu bila dibandingkan, ‘menduga’ perusahaan mereka berada pada posisi apa (Tjiptono & Diana, 2003: 232).
Istilah benchmarking selanjutnya dapat didefinisikan dengan berbagai pengertian, seperti halnya:
1. Ensiklopedi Wikipedia mendefinisikannya dengan “the process of comparing the cost, cycle time, productivity, or quality of a specific process or method to another that is widely considered to be an industry standard or best practice” (http://en.wikipedia.org/wiki/ Benchmarking).
2. David Kearns (CEO dari Xerox) menyatakan bahwa benchmarking adalah suatu proses pengukuran terus-menerus atas produk, jasa dan tata cara kita terhadap pesaing kita yang terkuat atau badan usaha lain yang dikenal sebagai yang terbaik.
3. Goetsch dan Davis mendefinisikannya sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri (Tjiptono & Diana, 2003: 232-233; Yamit, 2002: 134).
Berbagai pengertian diatas jika dicermati memiliki banyak persamaan, yakni bahwa tujuan utama patok duga adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan memperbaikinya agar dapat diterapkan pada perusahan yang melaksanakan patok duga tersebut.
Benchmarking merupakan proses belajar yang berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan terbuka. Berbeda dengan penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan patokduga merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum. Dalam dunia bisnis modern meniru dianggap sah asal tidak dilakukan secara langsung dan mentah-mentah. Benchmarking memang dapat diartikan sebagai meniru dari paling hebat untuk membuatnya sebagai referensi (Yamit, 2002: 134). Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua buah institusi (perusahaan) untuk saling menukar informasi dan pengalaman yang sama-sama dibutuhkan.
Praktek benchmarking merupakan pekerjaan berat yang menuntut kesiapan “fisik” dan “mental” pelakunya. Secara “fisik” , karena dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara akurat. Sedangkan secara “mental” adalah bahwa pihak manajemen perusahaan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. Pada titik ini sangat terbuka kemungkinan terjadinya merjer atau akusisi, sehingga memberikan dampak yang positif dan saling menguntungkan.
Ki Hadjar Dewantara beberapa puluh tahun lalu, diinisiasi telah mengemukakan konsep benchmarking dalam bentuk “sederhana”. Konsep yang diajukan dengan bahasa Jawa itu, adalah 3N, yaitu Niteni ‘memperhatikan dengan seksama’, Niru ‘mencontoh/memanfaatkan’, dan Nambahi ‘mengadaptasi/ memperbaiki/menyempurnakan’. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa benchmarking tidak hanya sekadar memindahkan sistem dari satu institusi ke institusi lain, tetapi diperlukan upaya kreatif dan inovatif sesuai dengan kondisi, budaya, dan kemampuan. Sementara itu, institusi yang dijadikan acuan/pembanding akan terdorong untuk melakukan perbaikan pengelolaan dan meningkatkan standar mutu (http:// kjm.ugm.ac.id/web/index.php).
Dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan, suatu institusi perlu menetapkan standar baru yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan benchmarking sebagai inspirasi atau cita-cita. Ada dua jenis benchmarking, yaitu benchmarking internal dan benchmarking eksternal. Benchmarking internal upaya pembandingan standar antar bagian/jurusan/fakultas/atau unit institusi. Benchmarking eksternal adalah upaya pembandingan standar internal institusi terhadap standar eksternal institusi lain.
Selain itu, diperlukan masukan dari hasil monitoring, evaluasi diri, temuan audit mutu akademik internal, permintaan tindakan koreksi (PTK), dan program peningkatan mutu sebagai cermin kemampuan diri. Monitoring dilaksanakan untuk mengamati pelaksanaan standar. Hasil monitoring menginformasikan tentang pelaksanaan standar, yang mencakup waktu, substansi, dan tahap pelaksanaannya. Monitoring bermanfaat untuk meluruskan sesegera mungkin bila terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan terhadap rencana atau standar serta mengingatkan bila ada kelalaian.
Evaluasi diri adalah usaha untuk mengetahui kondisi nyata dari sebuah proses. Evaluasi diri harus memuat informasi yang sahih (valid) dan terpercaya (reliability). Di atas dua prinsip di atas, terdapat nilai-nilai yang melandasi pelaksanaan evaluasi, yakni objektivitas (objectivity) dan kejujuran (honesty). Dengan evaluasi diri akan diketahui kondisi objektif sebuah institusi (perusahan/PT) dan sekaligus dapat ditentukan pengembangan serta peningkatannya pada masa berikutnya.
Selain benchmarking dan masukan internal, diperlukan juga masukan dari stakeholders agar ada relevansi produk dengan stakeholders. Dorongan untuk melakukan benchmarking banyak ditentukan oleh faktor kepuasan stakeholders. Kepuasan stakeholders adalah tingkat perasaan seseorang/pengguna setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dibandingkan dengan harapannya. Semakin banyaknya perguruan tinggi misalnya, membuat stakeholders mengetahui dan meminta standar mutu dan pelayanan yang lebih baik. Kepuasan pelanggan pun semakin lama semakin meningkat. Kegiatan benchmarking pun juga harus dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga akan tercapai continuous quality improvement (CQI).
Dari berbagai definisi diatas menurut Tjiptono (2003: 234) juga dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagaimana dan mengapa suatu perusahaan yang memimpin dalam suatu industri dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya.
2. Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahan lainnya. Ruang lingkupnya makin diperluas yakni dari produk dan jasa menjalar kearah proses, fungsi, kinerja organisasi, logistik, pemasaran, dan lain-lain.
3. Praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan praktik manajemen lainnya, misalnya TQM, corporate reengineering, analisis pesaing, dll.
4. Kegiatan patok duga perlu keterlibatan dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan di- benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri, pemilihan mitra yang cocok dan kemampuan untuk melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktik bisnis.
Dalam melakukan patok duga, terdapat empat cara yang biasa digunakan, yakni:
a) Riset in-house.
Cara ini dilaksanakan dengan melakukan penilaian terhadapat informasi perusahan sendiri maupun informasi yang ada di publik. Perusahaan hanya mencari informasi mengenai hasil kinerja perusahaan lain baik fungsi maupun prosesnya.
b) Riset pihak ketiga.
Cara yang ditempuh adalah dengan membiayai kegiatan patok duga yang akan dilakukan perusahaan surveyor. Biasaya pihak ketiga ini melakukan patok duga untuk informasi yang sulit didapat dari pesaing bisnis.
Selain itu dapat pula diselenggarakan forum diskusi panel untuk memeperoleh masukan yang luas dan banyak misalnya tentang keinginan pelanggan.
c) Pertukaran langsung.
Pertukaran ini dilakukan untuk mengawali kunjungan langsung, dan hal tersebut dilaksanakan melalui kuesioner, survey melalui telepon, dan lainnya.
d) Kunjungan langsung.
Cara keempat berupa kunjungan ke lokasi mitra patok duga. Cara yang dianggap paling efektif ini, dilakukan dengan wawancara dan tukar informasi (Tjiptono & Diana, 2003: 234).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada mulanya konsep benchmarking berkembang di bidang perindustrian. Awal tahun 1950-an banyak pengusaha Jepang mengunjungi beberapa perusahan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa barat. Tujuan kunjungan mereka adalah berusaha mendapatkan dua masukan, yaitu teknologi dan penerapan bisnis atau praktik baik. Masukan itu dikemas dalam bentuk perjanjian kerja. Dari tahun 1952 hingga tahun 1984 tidak kurang dari 42.000 perjanjian kerja telah ditandatangani. Hampir semua perjanjian itu berkisar tentang alih teknologi terbaik dan “segala sesuatu” (know-how) yang dimiliki negara barat. Jepang menggunakan proses “mengambil dan memanfaatkan” untuk kemajuan industrinya. Pada tahun 1960-an industri-industri Jepang telah menyamai industri-industri barat. Keberhasilan Jepang dalam menggunakan teknologi barat untuk melakukan benchmarking terhadap kinerja mereka sendiri, merupakan bukti reputasi mereka di dalam kancah perdagangan.
Namun istilah benchmarking baru muncul pada permulaan tahun 1980-an dan menjadi trend dalam manajemen sebagai alat untuk meningkatkan kinerja perusahaan pada tahun 1990-an. Bahkan pada tahun 1990 separuh dari perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam Fortune 500 menggunakan teknik benchmarking.
Benchmarking dan Persaingan
Analisis persaingan meliputi perbandingan antara produk-produk pesaing dengan produk yang dihasilkan Perusahaan. Sedangkan benchmarking lebih jauh daripada itu, yaitu membandingkan bagaimana suatu produk direkayasa, diproduksi, didistribusikan dan didukung.
Smith sebagaimana diungkap Tjiptono (2003: 235) memaparkan perbedaan itu sebagai berikut:
Benchmarking
• Melihat pada proses
• Memeriksa bagaimana sesuatu
• Dapat membandingkan dengan industri lainnya
• Penelitian membagi hasil untuk manfaat bersama
• Dapat tidak kompetitif
• Membagi informasi
• Kemitraan
• Kerjasama/ Interdependen
• Dipergunakan untuk mencapai tujuan perbaikan
• Tujuan berupa pengetahuan proses
Persaingan
• Fokus pada kebutuhan pelanggan • Melihat pada hasil
• Memeriksa apa yang telah terjadi dan dikerjakan
• Perbandingan di dalam industri
• Penelitian tanpa membagi hasil
• Selalu kompetitif
• Rahasia
• Tersendiri
• Mandiri
• Dipergunakan untuk memeriksa persaingan
• Tujuan berupa pengetahuan tentang industri
• Fokus pada kebutuhan perusahaan
Tabel 1 Perbedaan Patok Duga dan Analisis Persaingan
Benchmarking digunakan untuk menentukan proses yang akan diperbaki secara berkesinambungan (incremental) dan perubahan yang dibutuhkan. Faktor-faktor yang mendorong perusahaan melakukan benchmarking adalah: a). Komitmen terhadap TQM; b). Fokus pada pelanggan; c). Product – to – market time; d). Waktu siklus pemanufakturan; e). Laba.
Antara patok duga dan perbaikan berkesinambungan terdapat hubungan yang sangat erat. Persaingan dewasa ini yang semakin ketat menuntut setiap perusahaan untuk cepat melakukan perbaikan dan penyempurnaan setiap aspek kelemahan. Patok duga memberikan informasi utama kepada suatu perusahan mengenai posisi relatifnya terhadap proses yang terbaik dalam kelasnya, dan proses-proses yang perlu diubah. Benchmarking juga memberikan model yang terbaik dalam suatu kelas (best-in-class) yang dapat diadopsi, atau bahkan disempurnakan (Tjiptono& Diana, 2003: 237).
EVOLUSI KONSEP DAN JENIS-JENIS PATOK DUGA
Dalam keadaan hampir bangkrut pada akhir 1970-an dikarenakan serbuan pada pesaingnya yang menawarkan produk dan kualitas lebih baik dengan harga yang lebih murah, Xerox di bawah pimpinan CEO David Kearns meluncurkan program baru pada tahun 1981 untuk memperbaharui semangat inovasi Xerox dalam menguasai pasar melalui keterlibatan karyawan dan patok duga. Xerox melakukan berbagai usaha perbaikan, seperti penekanan biaya produksi, penyempurnaan tahapan proses produksi hingga manajemen penyimpanan di gudang. Akhirnya Xerox dapat bangkit kembali dan sejajar dengan para pesaingnya dari Jepang.
Keberhasilan Xerox dalam meraih Malcolm National Quality Award pada tahun 1989, menurut Tjiptana (2003: 238) menyebabkan strategi patok duga muncul ke permukaan dan semakin banyak diterapakan di perusahaan-perusahaan lain. Diantaranya adalah IBM, Motorola, AT & T, Westinghouse, dan Zytec.
Menurut Watson, konsep benchmarking sebenarnya telah mengalami setidaknya lima generasi, yaitu :
1. Reverse Engineering
Dalam tahap ini dilakukan perbandingan karakteristik produk, fungsi produk dan kinerja terhadap produk sejenis dari pesaing. Tahap ini tidak melibatkan proses patok duga untuk bisnis, dan cenderung berorientasi teknis, dengan pendekatan rekayasa produk termasuk membedah karakteristik produk pesaing.
2. Competitive Benchmarking
Selain melakukan benchmarking terhadap karakteristik produk, juga melakukan patok duga terhadap proses yang memungkinkan produk yang dihasilkan adalah produk unggul. Generasi kedua ini berlangsung sekitar tahun 1976-1986.
3. Process Benchmarking
Konsep ini tidak hanya membatasi lingkupnya pada proses bisnis pesaing, tetapi memiliki cakupan yang lebih luas dengan anggapan dasar bahwa beberap proses bisnis perusahaan terkemuka yang sukses memiliki kemiripan dengan perusahaan yang akan melakukan benchmarking.
4. Strategic Benchmarking
Merupakan suatu proses yang sistematis untuk mengevaluasi alternatif, implementasi strategi bisnis dan memperbaiki kinerja dengan memahami dan mengadaptasi strategi yang telah berhasil dilakukan oleh mitra eksternal yang telah berpartisipasi dalam aliansi bisnis. Dalam konsep ini dibahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan arah strategis jangka panjang.
5. Global Benchmarking
Generasi ini mencakup semua generasi yang sebelumnya dengan tambahan bahwa cakupan geografisnya sudah mengglobal dengan membandingkan terhadap mitra global maupun pesaing global.
Pengklasifikasian menjadi lima generasi tersebut menurut Tjiptono (2003: 237) tidak berarti bahwa generasi-generasi terdahulu sudah tidak berlaku lagi. Pada praktiknya, kelima konsep tersebut masih berlaku hingga saat ini.
Diantara jenis-jenis Patok Duga yang dikenal adalah:
a) Benchmarking Internal
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan operasi suatu bagian dengan bagian internal lainnya dalam suatu organisasi, seperti kinerja setiap departemen, divisi, dan cabang.
b) Benchmarking kompetitif
Patok duga kompetitif dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan berbagai pesaing. Faktor yang dibandigkan dapat berupa karakteristik produk, kinerja, dan fungsi dari produk yang sama yang dihasilkan pesaing dalam pasar yang sama.
c) Benchmarking Fungsional
Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan perbandingan fungsi atau proses dari perusahaan-perusahaan yang berada di berbagai industri.
d) Benchmarking Generik
Patok duga generik merupakan perbandingan pada proses bisnis fundamental yang cenderung sama di setiap industri atau perusahaan, seperti penerimaan pesanan, dan pengembangan strategi. Dalam hal-hal tersebut dapat diadakan patok duga meskipun perusahaan itu berada di bidang industri yang berbeda.
Keempat jenis patok duga tersebut tidak meniadakan jenis khusus lain, seperti patok duga strategik, patok duga operasional, dan patok duga global.
PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH BENCHMARKING
Sebelum melakukan benchmarking, perusahaan hendaknya dapat menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan berikut berikut, yaitu: 1) Apa masalahnya; 2) Dimana posisi kita sekarang; 3) Apa yang akan di-benchmark; 4) Apa yang menjadi dasar benchmark; 5) Apa yang akan terjadi sebagai akibat benchmark; 6) Bagaimana kita mempertahankan benchmark; 7) Apa masalah berikutnya yang perlu di-benchmark (Yamit, 2002: 135).
Agar didapat jawaban yang akurat, sebaiknya perusahaan memberikan tanggung jawab kepada tim khusus atau individu untuk menanganinya. Langkah merupakan metode yang tepat dalam rangka proses evaluasi dan perbaikan sebagai bagian dari program continuous quality improvement secara keseluruhan.
Karlof dan Ostblom sebagaimana dikutip Zulian Yamit (2002: 135), mengemukakan lima langkah yang arus dilakukan untuk merapkan benchmarking, yaitu:
1. Menentukan apa yang akan di-benchmark, yaitu berkaitan dengan proses yang apa yang akan dipatok duga dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan.
2. Menentukan perusahaan yang akan di-benchmark, yaitu perusahaan yang terbaik.
3. Mengumpulkan informasi, yaitu data yang berkaitan dengan apa yang akan dipatok duga.
4. Analisis data dan menentukan kesenjangan proses perusahaan dengan perusahaan yang akan dipatok duga.
5. Implementasi perubahan yang harus dilakukan dan sekaligus melakukan pemantauan untuk memperbaiki benchmark.
Langkah-langkah penerapan benchmarking ini dapat diterapkan secara produktif dengan variasi yang dapat disesuaikan dengan tujuan masing-masing perusahan. Yang terpenting adalah menjaga kelangsungan proses benchmarking dengan pelibatan seluruh komponen perusahan dan dukungan komitmen yang baik.
HAMBATAN BENCHMARKING
Anggapan keliru yang sering dipegangi suatu perusahaan adalah bahwa patok duga merupakan solusi instan. Pandangan seperti ini menurut Tjiptono (2003: 258) tidaklah tepat, karena untuk meningkat kinerja dibutuhkan insfratruktur manajemen yang tepat, selain juga dibutuhkan budaya kualitas dan komponen-komponen yang lain.
Secara faktor-faktor penghambat yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan patok duga adalah:
1. Fokus Internal
Untuk memberikan hasil yang diharapkan, maka sebuah organisasi harus memahami bahwa ada organisasi lain yang memiliki proses yang lebih baik. Apabila organisasi terlalu berfokus internal dan mengabaikan kenyatan bahwa proses yang terbaik dalam kelasnya dapat menghasilkan efisiensi yang jauh lebih tinggi, maka visi organisasi menjadi sempit. Kepuasan terhadap diri sendiri ini dapat mengakibatkan kehancuran organisasi tersebut.
2. Tujuan Benchmarking Terlalu Luas
Tujuan benchmarking yang terlalu luas seperti “meningkatkan laba” dapat mengakibatkan kegagalan. Patok duga membutuhkan tujuan yang lebih spesifik dan berorientasi pada bagaimana (proses), bukan pada apa (hasil).
3. Skedul Yang Tidak Realistis
Benchmarking membutuhkan kesabaran, karena merupakan proses keterlibatan yang membutuhkan waktu. Sedangkan skedul yang terlampau lama juga tidak baik, karena mungkin ada yang salah dalam pelaksanaannnya.
4. Komposisi Tim Yang Kurang Tepat
Dalam proses ditetapkannya patok duga, orang-orang yang berhubungan sehari-hari dan akan menjalannya harus dilibatkan. Merekalah yang dianggap paling memahami proses operasi yang dilaksanakan dan paling siap untuk mendeteksi setiap perbedaan yang ada antara proses organisasi dan mitra patok duga. Meninggalkan pelibatan mereka bisa mengakibatkan hasil yang diharapkan tidak dapat tercapai.
5. Bersedia Menerima “OK-in-Class”
Seringkali organisasi bersedia memilih mitra yang bukan terbaik dalam kelasnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan diantaranya adalah: a) yang terbaik di kelasnya tidak berminat untuk berpartisipasi; b) riset mengidentifikasi mitra yang keliru; c) perusahaan benchmarking malas berusaha dan hanya memilih mitra yang lokasinya dekat.
6. Penekanan Yang Tidak Tepat
Jika tim terlalu memaksakan aspek pengumpulan dan jumlah data, maka hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan. Padahal aspek yang paling penting adalah poses itu sendiri. Data dan angka-angka hanyalah faktor pendukung.
7. Kekurangpekaan Terhadap Mitra
Kepekaan terhadap mitra merupakan faktor penting dalam hubungan kemitraan. Mitra benchmarking memberikan akses untuk mengamati prosesnya dan juga menyediakan waktu dan personil kuncinya untuk membantu proses benchmaking kepada organisasi sehingga mereka harus dihormati dan dihargai.
8. Dukungan Manajemen Puncak Yang Terbatas
Setiap tahapan patok duga membutuhkan dukungan manajemen puncak. Dukungan total tersebut dibutuhkan untuk memulai benchmarking, membantu tahap persiapan dan menjamin tercapainya manfaat yang dijanjikan (http://www. pdambandarmasih.com/).
Benchmarking dan Pemberdayaan Wakaf
Dari berbagai definisi bencmarking dapat dipahami bahwa kegiatan tersebut merupakan usaha sebuah institusi (perusahaan) untuk “mematok” perusahaan lain yang dianggap sebagai pesaing terberat, lalu “menduga” posisi institusinya berada pada posisi setinggi apa.
Benchmarking dapat pula disimpulkan sebagai proses belajar yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus dengan melakukan kegiatan mengukur dan membandingkan setiap bagian yang dinyatakan penting oleh institusi (perusahaan) dengan institusi lain yang terbaik atau pesaing yang dianggap paling unggul di bidangnya.
Wakaf dengan karakteristiknya yang khas, memerlukan manajemen tersendiri. Institusi wakaf mutlak dibutuhkan dalam rangka menjaga eksistensi harta wakaf dan keselarasannya dengan niat wakaf dari wakif. Dalam konteks kontemporer yang tidak menjadikan Baitul Mal sebagai institusi negara, diperlukan modifikasi institusi ini terutama berkenaan dengan pengelolaan wakaf tunai (Depag RI, 2007: 33). Asas paradigma yang selayaknya dianut dalam pengelolaan wakaf adalah keabadian manfaat, pertanggung jawaban, profesionalitas manajemen, dan keadilan sosial (Depag RI, 2007: 65-96).
Dari penelitian Center fo Languages and Culture (CLC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat dilihat bahwa berbagai lembaga telah dapat dianggap berhasil mengembangkan wakaf dan merespon tantangan modernitas berupa pengelolaan yang profesional, diantaranya adalah Badan Wakaf UII di tingkat perguruan tinggi, Pondok Modern Gontor di tingkat pesantren, dan Tabung Wakaf Dompet Dhuafa. Sedangkan mayoritas lembaga yang ada dianggap belum mampu membangun kepercayaan publik secara optimal (Bamualim et.al, 2005: xi). Kenyataan ini menegaskan perlunya lembaga-lembaga wakaf untuk saling belajar dan mengambil pengalaman lembaga lain melalu mekanisme bencmarking.
Sesuai dengan jenisnya, maka kegiatan Patok duga dalam wakaf dapat berupa perbandingan sebuah organisasi dengan organisasi wakaf lainnya. Faktor yang dibandingkan dapat berupa karakteristik produk wakaf yang ditawarkan, kinerja, dan fungsi dari produk wakaf yang dihasilkan lembaga lain dalam bidang wakaf yang sama. Selain itu secara fungsional dapat dibandingkan pula fungsi organisasi wakaf dan bagiannya atau proses manajemen yang berada di dalamnya. Melalui upaya-upaya perbandingan ini akan diperoleh “posisi diri” sebuah organisasi wakaf, gambaran efektifitas penyelenggraan organisasinya, dan kadar efisiensi kegiatan dan produk yang dihasilkan, maupun pendayagunaan dana dan aset wakaf yang dimiliki.
Diharapkan dengan kegiatan benchmarking akan terjadi, peningkatan performa diri sebuah organisasi wakaf disamping pertumbuhan mutu layanan baik bagi para donator (wakif) maupun para penerima manfaat.
Kesimpulan dan Saran
Benchmarking atau patok duga merupakan usaha yang dilakukan sebuah organisasi dengan penuh kesadaran untuk melakukan pengukuran diri dengan membandingkan dengan organisasi lain. Kegiatan ini tentunya tidaklah mudah karena menuntut kesiapan mental dan kemauan kuat untuk berubah, tetapi ia menjanjikan perbaikan lewat penetapan standar lebih tinggi.
Jika dalam dunia bisnis praktek patok duga mutlak diperlukan agar tetap kegiatan usaha tetap berkembang dan eksis, maka demikian pula dalam bidang wakaf. Bencmarking dibutuhkan dalam rangka meningkatkan performa organisasi, meningkatkan pelayanan terhadap para wakif, serta memperbaiki kualitas dan penyampaian manfaat harta wakaf yang merupakan amanat. Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, S. Chaider et.al, 2005, Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta: CLC.
Depag RI, 2008, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.
Siagian, Sondang P. 2004. Manajemen Abad 21. Jakarta: Bumi Aksara.
Sunarto. 2007. Manajemen 2. Yogyakarta: Amus.
Tjitono, Fandi & Diana, Anastasia. 2003. Total Quality Manajemen (edisi revisi). Yokyakarta: Andi Ofsett.
Yamit, Zulian. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Penerbit Ekonsia.
http://kjm.ugm.ac.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=84
http://www.bhpinfosolutions.co.uk..
http://www.pdambandarmasih.com/forumpdam/index.php?topic=23.
http://www.rurder.usda.gov/ocd
http://www.surveyquest.org/files/images/iStock_000004863898XSmall.gif
Wakaf
|
This entry was posted on 19.18 and is filed under
Wakaf
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: