Ma Syi'ta: Terserah Kamu
18.51 | Author: nuruliman1972
25 Oktober 2010

MA SYI’TA: TERSERAH KAMU?

Suatu saat, di sebuah tempat parkir umum di PT tempat mengajar, saya sempat nggrundel dalam hati. Ada sebuah motor Tiger yang diparkir melintang seenaknya dan dikunci stank sehingga menghalangi lalu lalang kendaraan lain yang keluar masuk parkir. Untuk dapat keluar dari parkiran, terpaksa saya harus menggeser motor besar nan berat tersebut sedemikian rupa. Pak satpam, sempat menyapa saya, dan menyampaikan bahwa gangguan motor Tiger tersebut sudah berlangsung sejak pagi. Bagi saya pribadi, “gangguan” kecil ini merusak suasana hati setelah seharian beraktifitas. Pemiliki motor sendiri mungkin tidak sadar bahwa ia menimbulkan kerugian orang lain, dan bahkan mengundang umpatan mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendapati banyak perilaku manusia yang terkesan seenaknya. Sak esise. Tanpa mempertimbangkan keberadaan orang lain, kerugian mereka, atau bahkan keselamatan mereka. Jika parkir sembarangan saja telah mengganggu aktivitas orang lain, maka ngebut dalam mengemudi motor/mobil, atau membuang sampah bukan pada tempatnya merupakan sebagian contoh perilaku tidak bertanggung jawab yang lebih membahayakan. Tindakan membuang sampah tidak pada tempatnya sering menyebabkan mampetnya saluran irigasi atau mengundang terjadinya banyak penyakit.

Alasan yang sering dipakai dalam tindakan tidak bertanggung jawab adalah kebebasan dan dorongan keinginan menyelesaikan masalah diri saat itu, sesegera mungkin atau secepatnya. Ada nuansa egoisitas. Yang penting kebutuhan saya cepat tercapai, rumah saya segera bersih, dan sementara orang lain dan urusannya adalah di luar tanggung jawab saya dan urusanya sendiri. Alasan tersebut sekilas nampak logis, tetapi jika dinalar lebih lanjut, akan menyisakan berbagai pertanyaan. Benarkah seseorang dalam bertindak memiliki kebebasan mutlak tanpa ada batasan-batasan lain. Bukankah kebebebasannya dalam berbuat tetap harus tidak mengganggu kebebasan orang lain atau bahkan keselamatannya? Hurriyatu al-insan mahdudat bi hurriyat ghairih (kebebasan seseorang terbatasi oleh kebebasan orang lain).
Pada tingkat hubungan yang lebih kompleks seperti organisasi publik (umum) kebebasan seseorang untuk bertindak semakin dibatasi oleh kebebasan orang lain. Ada aturan tertulis dalam bentuk anggaran dasar dan rumah tangga yang harus ditaati, selain kesepakatan-kesepakatan yang telah diputuskan dalam rapat bersama. Selain itu, keinginan dan ambisi pribadi harus “dikorbankan” atau dinomor duakan demi tercapainya kesuksesan bersama dan terpeliharanya kebersamaan. Hal ini sangat berbeda, jika sebuah lembaga adalah milik pribadi atau keluarga, sehingga keputusan dan keinginan pemiliklah yang dapat mutlak mendominasi.

Dalam sebuah hadith, Rasulullah mengingatkan tentang kebebasan memilih jalan hidup dan bertindak ini dengan ungkapan: “hiduplah sesukamu (ma syi’ta), tetapi ingatlah bahwa kamu akan mati, perbuatlah sesukamu (ma syi’ta) tetapi ingatlah bahwa kamu akan dibalas sesuai dengan perbuatanmu, dan cintailah orang sesukamu (man syi’ta) tetapi ingatlah bahwa engkau akan kehilangannya”. Hadith ini memberikan pengertian bahwa setiap kehidupan akan berakhir dengan kematian, dan di balik kematian ada perhitungan (hisab). Setiap perbuatan akan dibalas, baik secara cash di dunia maupun secara kredit di akhirat. Setiap ada pertemuan yang berbuntut cinta dan kasih sayang, pasti ada perpisahan. Kenyataan ini memberikan pelajaran kepada kita untuk melakukan perhitungan dalam setiap pilihan hidup dan perbuatan, menimbang konsekwensi logis dari dampaknya, disamping melakukan persiapan untuk keadaan berbeda dari setiap “kenikmatan” yang dialami saat ini.

Berbeda dengan kebebasan manusia yang terbatas dan harus dikendalikan, maka kebebasan Allah sebagai Pencipta Alam ini tidaklah terbatas. Ungkapan ma sya’a Allah yang berarti seperti apa yang dikehendaki Allah menunjukkan hal itu. Apa saja yang dikehendakiNya pasti terjadi dan berlaku. Karenanya, dalam kajian ilmu Tauhid, tidak diperkenankan menyandingan ungkapan ma sya’a Allah wa syi’ta, atau “tergantung kehendak Allah dan kehendakmu”. Hal tersebut dianggap mengandung unsur syirik karena menyandingkan kehendakNya dengan kehendak manusia.

Selain itu ada kendali rasa malu (al-haya’) yang patut dipertimbangkan dalam setiap perbuatan. Perasaan malu karena menyalahi kebenaran, bertentangan batasan kewajaran, atau berlawanan dengan aturan kesopanan hendaknya menghalangi seseorang untuk meneruskan perbuatannya. Tidak berlebihan jika Rasulullah menegaskan dalam hadith al-Bukhari, “jika engkau tidak merasa malu, maka perbuatlah sekehendakmu” (idza lam tastahyi fashna’ ma syi’ta).

Hidup dan cara menjalaninya adalah sebuah anugrah kebebasan, bahkan dalam menentukan agama. Faman sya’a fal yu’min wa sya’a fal yakfur. Siapa yang mau dapat beriman, dan siapa yang mau boleh kafir. Meski demikian Allah tetap menuntut tanggung jawab di akhirat terhadap pilihan tersebut. Keberadaan surga dan neraka, serta adanya proses hisab dan al-mizan (timbangan baik buruk di akhirat) menunjukkan hal tersebut.

Bebas bertanggung jawab, demikianlah kira-kira ungkapan yang tepat untuk setiap perbuatan yang akan dilakukan. Perhitungan baik- buruk dan pertimbangan untung-rugi hendaknya tidak diperuntukkan bagi diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain, organisasi, atau masyarakat luas. Batasan kebebasan ini, hendaknya tidak menjadikan kebekuan dan keengganan berkarya, tetapi hendaknya memacu kreativitas dan inovasi diri. Mari hidup bebas dengan tetap bertanggung jawab. Wallahu a’lam.
This entry was posted on 18.51 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: