Renungan Halal Bihalal 1431
08.28 | Author: nuruliman1972
29 September 2010

KETIKA MAAFMU HARUS DIMINTA

Ramadhan telah berlalu digantikan oleh Syawwal yang kental dengan silaturrahim dan persaudaraan, tetapi gaung dan dampak bulan puasa tersebut masih “hangat” terasa hingga kini. Suasana agamis yang melingkupi Ramadhan rasanya memang sulit dilupakan, dan memang demikianlah seharusnya sikap setiap muslim saat berpisah dengan Ramadhan. Sedih dan selalu merindukan hadirnya. Bulan penuh berkah itu dipersiapkan Allah SWT secara khusus dan berulang setiap tahunnya bagi kaum mukmin agar mereka menjadi kaum bertaqwa.

Diantara karakteristik orang yang bertaqwa dalam QS. Al-Baqarah: 177 adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang melakukan perjalanan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Dalam Ali Imron 134, Allah menyebut kesegeraan menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, kemampuan menahan amarah, mema’afkan (kesalahan) orang, dan segera bertaubat ketika berbuat dosa (fahisyah) atau aniaya.

Dengan mencermati dua ayat nampak bahwa taqwa merupakan sebuah kepribadian utuh, gabungan dari kesalehan ritual individual yang lebih bersifat vertikal ilahiyah maupun kesalehan sosial yang bersifat horizontal insaniyah. Kesalehan ritual berupa ketaatan total kepada Allah, keimanan yang mantap, serta kekhusyukan dalam beribadah. Sementara kesalehan sosial adalah kelembutan hati, kepedulian terhadap sesama, kedermawanan, dan akhlak yang terpuji.
Dalam berbagai redaksi hadith, nabi juga menegaskan hal ini. Tidak disebut bertaqwa atau bahkan beriman, seseorang hanya mengantongi satu aspek taqwa saja dan meninggalkan aspek lain. Lihat saja misalnya hadith nabi yang menyatakan bahwa tidak disebut beriman seseorang yang tidak memberikan keamanan bagi tetangganya dari kejahatan dirinya (bawaiquh). Dalam al-kutub al-tis’ah, hadith ini diriwayatkan dalam sebelas jalur berbeda, dengan menyebut tidak masuk surga orang yang berperilaku buruk kepada tetangganya.

Berkenaan dengan kesalehan sosial, sikap memaafkan orang lain (al-‘afw) dan kesalahannya dapat disebut sebagai jalan dan pintu menuju hubungan antar individu yang harmonis dan baik. Mindset diri untuk memaafkan orang lain, akan membimbing seseorang berperilaku santun, lembut, penuh penghargaan, bahkan terhadap orang yang pernah berbuat kesalahan atau aniaya terhadap dirinya. Ia sadar bahwa setiap manusia adalah makhluk lemah penuh salah dan khilaf (khatta’) dan tidak sempurna, karena ia perlu memberikan maafnya sebagaimana Tuhan telah berlaku sebagai Ghafur Rahim (Maha Pengampun dan Penyayang) terhadap kesalahan hamba-hambaNya. Tidak berlebihan jika Al-Qur’an menyebut pemberiaan maaf sebagai ciri orang bertaqwa (QS. 3: 134), serta memerintahkan setiap muslim agar menjadi pemaaf dan memaafkan kesalahan orang lain (QS. 4: 149; 64: 14).

Memaafkan juga diperlukan untuk kebaikan diri seseorang dan kesehatan jiwanya. Dengan memaafkan, berarti seseorang berusaha untuk mengakhiri permusuhan, dan memulai hubungan baik yang baru. Islam melarang kaum muslimin untuk menyimpan permusuhan dan kebencian terhadap orang lain melebihi 3 hari. Yang terbaik diantara dua orang yang berselisih adalah yang mengajak berbaikan dengan mulai mengucapkan salam (HR. Al-Bukhari: 5613). Menyimpan kebencian identik dengan menyimpan bara api yang suatu saat justru dapat menghanguskan atau mencelakakan si empunya. Tidak berlebihan bila Rasul menyebut hasad (kedengkian) seperti api. Ia akan menghapus kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar (HR. Abu Dawud: 4257).

Dalam memahami makna memaafkan, perlu direnungkan suasana hidup tanpa permaafan. Menurut Hendardi, Ketua Pengurus Setara Institut, hidup tanpa permaafan hanya melanggengkan derita psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan` mengalahkan. Biasanya sikap dan keinginan ini (tanpa disadari) berlatar belakang amarah, suatu emosi yang menghabiskan energi mental dan melanggengkan stres. Tanpa memaafkan, seseorang akan terpenjara dalam keinginan berbalas dendam. Yang menginginkan si bersalah menderita atas nama keadilan instinktual. Akibatnya, ia terikat rantai derita, berbalut kekerasan yang tiada putus. Rantai derita mesti diputus oleh sikap memaafkan.

Perlu pula digarisbawahi bahwa dalam memaafkan tidaklah harus mengesampingkan hak-hak kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai unit sosial. Memaafkan bukan mengabaikan rasa keadilan begitu saja. Dalam memaafkan, kita tetap dapat menuntut hak yang menjadi bagian kita dan tidak membebaskan si bersalah dari tanggung jawabnya.

Diantara langkah-langkah memaafkan adalah: mengenali luka batin kita, memutuskan untuk memaafkan, menyadari kesulitan dalam memberi maaf, dan menyadari dampak negatif dari ketiadaan permaafan (Donneley: 1982). Sementara David Norris (1984) mengusulkan lima langkah berupa: memperteguh niat memaafkan, secara akurat memeriksa kembali pelanggaran (kesalahan) orang yang akan dimaafkan, memaknakan kembali luka batin akibat kesalahan, membina kembali relasi yang terputus, dan mengintegrasikan kembali berbagai retak psikis yang dialami akibat luka batin.

Upaya untuk memaafkan adalah satu langkah dalam bersilaturrahmi, tetapi perlu dilanjutkan dengan upaya-upaya aktif. Upaya menjalin hubungan kekerabatan dan persaudaraan (silaturrahim) harus dilakukan untuk menjemput rahmat Allah dan berkah kehiudpan, dan menghindarkan murkaNya. Janganlah kita sampati disebut qati’ tetapi mudah-mudahan menjadi wasil (penyambung).

Akhirnya, dari uraian terdahulu dapat dipahami bahwa memaafkan adalah proses yang panjang dan tidak mudah. Tetapi ia harus tetap dilakukan demi terjaganya hubungan silaturrahim. Selain itu sikap ini juga bermanfaat bagi diri agar terlepas dari derita psikis dendam dan permusuhan berkepanjangan yang dapat memicu stress. Memaafkan adalah sarana ”pembebasan” diri. Maukah? Wallahu a’lam.
|
This entry was posted on 08.28 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: