Menikmati Puasa
23.23 | Author: nuruliman1972
21 Agustus 2010

MENIKMATI PUASA

Oleh: Amalia Sulfana

Ibadah puasa Ramadhan diwajibkan dengan selaksa hikmah, diantaranya adalah untuk menundukkan dominasi nafsu dan syahwat yang biasanya banyak ditumbuh suburkan oleh makan dan minum. Dengan berlatih mengendalikan makan minum, diharapkan seorang yang berpuasa dapat terbiasa mengendalikan nafsu dirinya. Nabi menyebut bahwa syetan dan godaannya merasuk dalam diri anak Adam --dengan mengompori nafsu tersebut-- melalui jalan darahnya (HR. Bukhari Muslim). Mempersempit godaan syetan adalah usaha mempersempit jalan darah yang dilakukan dengan berpuasa.

Selain itu, puasa juga menumbuhkan kepekaan dan empati terhadap penderitaan sesama. Dengan berpuasa, seorang muslim akan dipaksa sharing rasa lapar dan haus yang akrab dengan kaum fakir miskin. Tidak berlebihan jika nabi Yusuf yang memegang jabatan Kepala Badan Logistik (Bulog) saat itu, menolak hidup mewah dan glamour, namun tetap memilih kehidupan sederhana dengan jalan membiasakan diri berpuasa agar tetap dapat merasakan derita kaum papa (inni akhafu an asyba’ fa ansa al-jaai’).

Hanya saja dalam realita di masyakarat muslim dewasa ini ditemukan fenomena yang kontradiktif dalam menjalani puasa. Bulan Ramadhan lebih sering identik dengan boros dan israf (berlebih-lebihan) dalam konsumsi bahan makanan, dengan budget belanja dobel atu lebih. Bertambahnya anggaran pengeluaran belanja tersebut tidaklah bermasalah jika dengan berpuasa rasa empati semakin tumbuh dan banyak orang yang disantuni dan diberi makan. Tetapi, jika semuanya hanya habis dikonsumsi sendiri, maka sesungguhnya hal itu termasuk bentuk berlebih-lebihan dan ketidaksederhanaan.

Betul, bahwa kaum muslimin telah menahan makan dan minum sepanjang hari, tetapi mereka lalu berlebih-lebih dalam berbuka puasa. Saat adzan maghrib dikumandangkan, seakan menjadi lepas kendali, maka acara ”balas dendam” pun dimulai. Segala aneka ragam hidangan yang disajikan, dalam sesaat saja telah berpindah ke dalam perut. Sebuah perilaku yang menggambarkan laku ketidak sabaran.

Dalam berbuka, seorang yang berpuasa selayaknya tetap dapat mengendalikan diri. Tidak boros, serakah, berlebih-lebihan, dan tidak tergesa-gesa dalam mengkonsumsi makanan. Untuk dapat merengkuh kesuksesan berpuasa, al-Ghazali menyarankan agar seorang yang berpuasa tidak memenuhi perutnya dengan makanan (alla yastakstis al-ta’am al-halal waqt al-iftar) dalam satu waktu. Berbuka dilakukan setahap demi setahap.

Ungkapan al-Ghazali tersebut jika dicerna secara mendalam dimaksudkan agar kita dapat menangkap hikmah puasa secara utuh. Jika kita boros dalam mempersiapkan berbuka bisa saja puasa justru tidak menjadikan kita peka terhadap penderitaan orang lain. Dan bila kita berbuka secara serakah, bisa saja nafsu syahwat kita menjadi tambah ganas dan menguat.

Puasa dan ibadah-ibadah lain dalam Islam menurut hemat penulis hanya akan dapat menghantarkan pelakunya kepada puncak taqwallah jika ia mengatahui cara menikmatinya. Setiap Ibadah tentunya memiliki essensi sendiri, sehingga berbeda cara. Menikmati shalat misalnya, dapat dilakukan dengan khusyu’ di dalamnya. Khusyu’ diawali dengan thuma’ninah berupa ketenangan dalam menunaikan setiap gerakan shalat dengan sempurna dan merampungkan setiap bacaan shalat. Tidak ngebut atau tergesa-gesa. Dilanjutkan dengan perasaan rendah diri dihadapan keagungan Allah (fahm ’adzamat Allah), menghadirkan hati (hudhur al-qalb), dan memahami bacaan shalat (tafahhum al-maqru’). Khusyu’ adalah proses panjang yang memerlukan konsentrasi dan banyak latihan. Tetapi hanya shalat yang khusyu’ yang dapat mencegah perilaku keji dan mungkar, disamping menghadirkan ketentraman hati.

Menikmati puasa dapat dilakukan dengan menjalaninya penuh pengendalian diri dan kesederhanaan, baik ketika siang hari maupun malamnya. Karenanya, saat berbuka hendaknya seorang shaim tetap menjaga etika dan pengendalian diri. Tidak mengumbar nafsu makan minumnya secara berlebih-lebihan dan tidak serakah. Tidak juga menjadikan acara berbuka menjadi ”satu ronde” dengan sekaligus menyantap semua makan yang tersajikan di atas meja.

Dengan berusaha menikmati puasa diharapkan kaum muslimin dapat mentas setelah bulan Ramadhan ini menjadi muttaqin, sebuah golongan manusia-manusi pilihan yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan diri. Semoga Allah memberikan taufiq dan hidayahNya agar kita dapat merampungkan puasa tahun ini dengan sebaik-baiknya. Amin.
This entry was posted on 23.23 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: