17 Juli 2010

BADAI PORNOGRAFI, PRAHARA POSPENAS, DAN PENDIDIKAN KITA

Oleh: Amalia Sulfana*

“Payah, yang tua korup, yang muda ngeres”, demikian komentar Mr. Pecut Jawa Pos edisi 15 Juni 2010 terhadap realita sebuah penelitian yang menyebutkan sebanyak 67 persen siswa SD pernah mengakses informasi pornografi. Sebuah kenyataan yang memprihatinkan, sekaligus memilukan.

Lengkap sudah keprihatinan kita, jika kita memang peduli nasib pendidikan anak bangsa ini. Saat ”badai” kasus pornografi yang melibatkan artis Ariel, Cut Tari, Luna Maya, dan nama-nama lain masih bergulir dalam penyelidikan polisi dan telah menetapkan tiga orang tersangka, kembali kita dibuat prihatin dengan berbagai tindak kecurangan dalam Pospenas (Pekan Olah Raga Seni Antar Pesantren) V 2010. Tidak berlebihan jika salah satu berita Jawa Pos edisi 10 Juli 2010, menyebut “Menpora Sedih lihat Pospenas”.

Berbagai tayangan pornografi telah menjelma menjadi ibarat badai yang meluluh lantakkan moral dan mental para generasi muda yang susah payah ditanamkan oleh orang tua dan bapak ibu guru pendidik. Celakanya, mereka yang masih duduk di bangku SMP dan SD pun terliba dan menjadi korban.

Okezone.com akhir mei lalu memuat berita tentang budaya seks bebas dikalangan anak-anak “biru putih”, sebutan bagi bagi anak SMP. Sedangkan dalam sebuah penelitian yang dirilis Jawa Pos (15-6-2010), 67 persen anak SD telah menikmati pornografi. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat 40 orang anak menjadi korban kekerasan seksual pasca beredarnya video mesum Ariel cs tersebut. Data ini menurut ketua KPAI, Hadi Supeno, masih akan terus berjalan. Sekali lagi, kenyataan-kenyataan tersebut dapat merupakan awal kebobrokan mental dan moral generasi masa depan bangsa ini.

Sementara itu, ketidakjujuran dan kecurangan dalam Pospenas tercermin pada ditemukannya atlet-atlet bon-bonan dari kalangan non santri. Konspirasi tersebut dilakukan secara terstruktur, melibatkan panitia dan pesantren yang nota bene adalah bengkel moral dan agama. Kenyataan ini seakan menegaskan, bahwa segala cara akan dilakukan banyak kontingen --meski mengorbankan sportivitas-- agar dapat menang. Sebuah kekonyolan yang nyata dalam meraih sebuah prestasi.

Jika kompetisi dalam bidang olah raga dan kesenian, yang sebenarnya merupakan game dan permainan saja sudah terciderai dengan kecurangan dan hal tersebut terjadi secara masif, lalu bagaimana dengan bidang-bidang lain? Rasanya berat untuk meyakini bahwa proses ujian di sekolah/madrasah atau pesantren selama ini telah murni dan berjalan penuh kejujuran. Ungkapan ini mungkin dianggap terlalu mengada-ngada, namun demikianlah kenyataannya.

Pendidikan adalah sebuah proses menghantarkan para peserta /anak didik pada pencapaian kompentensi mereka sekaligus pembudidayaan sikap hidup positif (life skill). Karenanya, para pakar sering mengartikan pendidikan sebagai “usaha sadar yang dilakukan masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik untuk dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat pada masa yang akan datang’. Jika dikaitkan dengan agama Islam yang kita anut, maka tujuan pendidikan adalah membentuk pribadi muslim, yang cakap, berakhlak mulia, berguna bagi masyarakat, dan percaya pada diri sendiri.

Dari definisi pendidikan dan tujuannya tersebut nampak beban berat para pendidik, dikarenakan pendidikan berkonotasi usaha mempersiapkan generasi muda untuk sukses dalam kehidupan, sekarang atau nanti, di dunia maupun di akherat. Padahal, untuk sukses, seseorang diharuskan memiliki sikap mental dan moral yang kokoh. Karenanya, sikap jujur, sportif, ulet, teguh pendirian, sabar, berpikiran positif (positive thinking), dan menjaga harga diri, mutlak keberadaannya dalam menuntut keberhasilan.

Di lain pihak, kecurangan hanya akan menyisakan penyesalan dan kehilangan kepercayaan. Sebuah kecurangan biasanya jika tidak segera diatasi, akan melahirkan kecurangan/kebohongan lain, dan seterusnya. Kiranya apa yang akan didapat, jika perilaku curang telah membudaya dalam kehidupan sosial, kecuali ketidak tenangan hidup, saling curiga, dan permusuhan. Bagaimanapun, kecurangan dan kebohongan akan merugikan orang lain, dan juga diri sendiri.

Sementara itu, pornografi hanya akan membudayakan prilaku menyimpang dalam seks, dan merugikan para pelaku sendiri. Kebiasaannya akses terhadap pornografi menghilangkan batas-batas norma kepatutan dan menghilangkan rasa malu. Selain itu, ia menghancurkan nilai sakralitas pernikahan dan nilai kepengasuhan anak-anak di rumah tangga. Simak saja di akuan para penikmat pornografi yang menyatakan kehancuran dan ketidakharmonisan rumah tangga mereka. Orientasi perkawinan menjadi sangat sempit, dan melulu urusan ”bawah perut” atau seks.

Tidak berlebihan jika Islam memerintahkan kaum mukmin berlaku jujur dan melarang khianat (QS. 8: 58). Kejujuran juga akan membimbing pelakunya menuju kebaikan, dan selanjutnya ke surga. Sebaliknya, kebohongan akan mengarahkan pelakunya kepada kejahatan, dan selanjutnya ke neraka (HR. Al-Bukhari: 5629).

Berkenaan dengan pornografi, Islam --sebagaimana diuraikan ilmu fiqh-- memerintahkan untuk menjaga aurat diri dari orang lain, dan sebaliknya menundukkan pandangan dari aurat orang lain. Kaum mukminin dan mukminat diperintah Allah untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka (QS. 24: 30-31). Meninggalkan pornografi, dapat dikategorikan dalam hal tersebut.

Mendidikkan kejujuran dan menjaga pandangan (dari pornografi) menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan guru, pada saat kebohongan merajalela dan ketidakjujuran merupakan sesuatu yang lumrah. Salah kaprah. Akses pornografi yang merupakah ”sampah” teknologi juga sangat mudah dilakukan dengan berbagai fasilitasnya, bahkan dengan HP di tangan.

Yang terpenting disadari bagi pendidik adalah bahwa pendidikan kejujuran dan anti pornografi hendaknya dimulai dari diri sendiri. Ibda’ binafsik (mulailah dari dirimu), demikian kata Nabi. Ketika memerintahkan anak untuk jujur, kita perlu bertanya apakah kita sendiri sudah jujur? Ketika melarang anak didik untuk melihat pornografi, kita perlu instropeksi, jangan-jangan kita justru menjadi ”penikmat berat” tayangan ngeres tersebut sehinnga sensitifitas kita menjadi lemah. Na’udzu billah min dzalik.

Semoga Allah memberikanlah kekuatan dan ma’unah-Nya pada kita didalam menyelenggarakan amanah pendidikan bagi anak-anak bangsa ini, sungguh tiada daya dan kemampuan kecuali dari-Nya. Amin.

* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
This entry was posted on 01.08 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: