
10 Mei 2010
LEMAH TELES GURUKU
Gegap gempita penyelenggaraan Ujian Nasional sudah usai. Ujian tingkat sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang merupakan gelombang terakhir Unas baru selesai minggu lalu. Bahkan hasil ujian tingkat SMA/MA dan tingkat SMP/MTs sudah diumumkan dan diketahui hasilnya.
Untuk tingkat SMA/MA, pengumuman hasil Unas dilakukan pada 26 April lalu. Banyak yang lulus, dan tidak sedikit yang belum lulus, yakni sejumlah 154 ribu orang, tersebar di 6.062 sekolah baik negeri maupun swasta. Sebanyak 267 sekolah dari 16.467 sekolah bahkan mencatatkan kelulusan 0 persen atau semua siswanya tidak lulus. Jika seluruh peserta UN tingkat SMA/MA berjumlah 1.522.156 orang, maka prosentasi ketidak lulusan tesrsebut adalah sebanyak 9,88 persen (Jawa Pos, 28-4-2010).
Hasil ujian tingkat SMP/MTs/SMPT juga mengalami penurunan prosentase. Sekitar 9,73 persen dari total peserta Ujian Nasional Utama atau 350.798 peserta dinyatakan tidak lulus, sehingga harus mengikuti ujian ulang. Sedangkan jumlah peserta yang lulus persentasenya mencapai 90,27 persen atau sekitar 3.254.365 peserta. Sebanyak 561 sekolah menengah pertama atau sekitar 1,31 persen dari total SMP di Indonesia dinyatakan lulus 0 persen. Beberapa provinsi yang masuk ke dalam peringkat 5 besar untuk kategori jumlah sekolah SMP nol persen kelulusan, antara lain Jawa Tengah sebanyak 105 sekolah, Jawa Timur ada 54 sekolah, DKI Jakarta sebanyak 51 sekolah, Gorontalo ada 54 sekolah, dan Kalimantan Barat 34 sekolah (tempointeraktif.com. 06-05-2010).
Pengumuman hasil ujian memang selalu menghadirkan kegembiraan dan sukacita bagi mereka yang lulus, tetapi akan menyisakan kesedihan bagi yang belum. Sayangnya, banyak cara yang salah dalam bergembira ketika berhasil, dan banyak pula yang ketika gagal, tidak mau belajar dari kesalahannya. Sebaliknya ia mencari “kambing hitam”, tidak berinstropeksi diri, dan menimpakan sebab kegagalan hanya pada pihak lain, seperti sekolah ataupun guru misalnya. Ketika hasil Unas SMA/MA diumumkan, banyak peserta yang tidak lulus melampiaskan kekesalan dengan merusak sekolah, melemparinya, dan mengejar-ngejar guru mereka.
Jika sebuah kesuksesan dipengaruhi banyak faktor, maka demikian pula sebuah kegagalan. Ia tidak lahir begitu saja, tetapi sebaliknya melewati proses panjang dan ditentukan banyak hal. Karenanya, menganggap sebuah kesuksesan merupakan hasil kerja sendiri tanpa bantuan dan peran orang lain adalah sesuatu yang naif, sebagaimana menimpakan kesalahan dari sebuah kegagalan pada seseorang adalah sebuah kebodohan. Semuanya memiliki perannya masing-masing, tetapi berbeda kadar dan besarnya. Mungkin saja para guru dan sekolah berperan besar dalam kegagalan sebuah ujian, apalagi jika angka ketidak lulusan mencapai 100 persen, tetapi orang tua, pemerintah, dan peserta ujian sendiri, turut juga memberikan andil. Tidak fair membebankan kesalahan pada satu pihak, dan sudah seharusnya masing-masing menyadari sumbangannya untuk kegagalan tersebut, dan seterusnya berbenah diri dan mengadakan perbaikan.
Fenomena memojokkan guru sebagai pihak yang patut disalahkan pada sebuah ujian, semakin meneguhkan sebutan mereka sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ketika para murid sukses ujian dan pada kehidupan selanjutnya menjadi orang ”besar”, jasa para guru sering tidak berbekas, dilupakan. Tetapi, jika terdapat siswa gagal, lalu kesalahan hanya ditimpakan pada guru. sebuah kedzaliman yang nyata.
Meski demikian, para guru perlu merespon tudingan tersebut secara bijak. Tidak perlu membabi buta atau berbuat hal yang dapat merusak citra mereka sendiri. Etos kerja dan profesionalitas sebagai pendidik hendaknya ditingkatkan. Penguasaan substansi bahan ajar dan kemampuan metodologis pembelajaran perlu di-upgrade. Wawasan dan pengetahuan umum serta akses teknologi layak diasah. Dengan demikian, di kemudian hari tudingan bahwa guru penyebab kegagalan Ujian akan sendirinya terbantahkan.
Tuntutan peningkatan diri dan perubahan ke arah positif bagi guru memang merupakan kelaziman yang mau tidak mau harus dilakukan. Bukankah dunia terus berubah, dan demikian pula dunia pendidikan terus berkembang baik dalam metodologi, pendekatan, media maupun teknologi yang digunakan. Tantangan pendidikan juga terus meningkat. Orientasi pendidikan perlu dikembangkan untuk kesuksesan para peserta didik di masa depan, dengan tidak mengorbankan kesuksesan masa sekarang, termasuk sukses ujian nasional di dalamnya. Semuanya dituntut untuk bekerja keras, terutama para guru dan sekolah.
Di sekolah, tugas mulia guru adalah mendidik para siswa dan bukan hanya mengajar. Jika mengajar sering berorientasi pada penyampaian materi (transfering knowledge), maka mendidik memiliki makna membentuk kepribadian dan mental anak (transforming studen’s personality and attitude). Hal ini menuntut pengertian bersama agar produk pendidikan sekolah mentas menjadi pribadi-pribadi berkarakter jujur, ulet, rajin, sabar, pekerja keras, dan yang terpenting bertakwa. Dalam hal ini, layak kita belajar kepada Rasulullah –sang guru paripurna-- yang dalam Al-Qur’an surat al-Jum’ah: 2, disebut melakukan tilawah al-ayat (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (penyucian jiwa), dan taklim al-kitab wa al-hikmah (mengajarkan calistung, materi pelajaran dan kebijaksanaan).
Apabila framework ini benar-benar dijalankan, dapat dipastikan para siswa yang menghadapi ujian memiliki segenap kesiapan diri sebagaimana mereka telah siap untuk hidup. Bagi mereka ujian adalah ajang kerja keras dan pembuktian diri dalam belajar di sekolah, dan hasilnya adalah urusan lain yang sepenuhnya diserahkan kepada Allah secara pasrah. Berhasil dan gagal adalah konsekwensi logis ujian yang harus diterima sepenuh hati. Jika belum berhasil, bukankah tetap ada kesempatan kedua. Yang pasti berusaha sekuat tenaga terlebih dahulu adalah sebuah kewajiban.
Selain itu, para guru dituntut untuk mengajar sepenuh hati dan penuh keikhlasan. Para peserta sangat peka dan mampu membedakan mana diantara guru yang mukhlis dalam mengajar maupun yang pamrih. Keikhlasan merupakan sikap mental batin yang tercermin dalam tindakan, karenanya dapat dibaca. Upaya tajdid al-niyyat atau memperbarui niat dalam mengajar demi beribadah mencerdaskan anak bangsa, hendaknya dilakukan tiap hari. Sungguh sebuah kerugian, jika dalam mendidik, seorang guru hanya berorientasi jangka pendek, berupa pemenuhan materi saja.
Jika para guru telah bekerja sekuat tenaga dan sepenuh hati maka dipastikan mereka akan merasa puas. Para siswa insha Allah akan sukses dalam belajar dan kehidupan mereka. Meski guru kemudian sering dilupakan, bukankan Allah telah menjanjikan banyak balasan untuk mereka yang mengajarkan ilmu dan kebaikan. Lemah teles guruku, ”gusti Allah sing mbales”.
* Dosen FAI Unmuh Ponorogo
0 komentar: