
06 April 2010
MENGGAGAS PENDIDIKAN SEKS ISLAMI
Oleh: Amalia Sulfana*
Membaca judul tersebut, tentu akan memicu munculnya beragam tanda tanya di benak setiap pembaca. Diantaranya adalah apakah ada seks yang Islami, manfaat apa yang diperoleh ketika mendidikannya, serta apakah hal itu sudah menjadi keharusan saat ini dan di masyarakat Indonesia yang masih dapat disebut religius?.
Diakui atau tidak, dalam budaya pergaulan remaja atau muda-mudi masa sekarang ditemukan fakta bahwa model mereka berpacaran telah banyak “kebablasan”, terlibat pergaulan bebas, dan sering berakhir pada aktivitas-aktivitas seksual. Temuan-temuan fakta di masyarakat dan dunia pendidikan tentang remaja hamil di luar nikah pada usia sekolah, agaknya tidak dapat dipungkiri. Kenyataan ini cukup memprihatinkan sekaligus mendorong setiap pendidik untuk memikirkan jenis pencerahan dan pembekalan apa yang layak diberikan pada peserta didik agar mereka dapat “selamat” menjalani masa muda. Diantara hal yang dapat dilakukan adalah memberikan pendidikan seks Islami, meski kemudian perlu disepakati tentang definisi dan konten yang layak diberikan untuk usia mereka.
Menolak diselenggarakannya pendidikan seks berbasis agama hanya akan membiarkan para remaja terlibat banyak masalah, dimungkinkan karena ketidak tahuan mereka. Ketika dibiarkan, sesuai dengan kodrat remaja yang berada pada masa puber yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, mereka akan belajar secara salah kepada pakar dan pelaku pornografi semisal “ustadzah” Miyabi lewat internet maupun media lainnya. Pemahaman mereka tentang seks juga menjadi dangkal, dibatasi oleh urusan (maaf) kemaluan dan fokus pada coitus saja. Sementara aspek-aspek tanggung jawab sosial, agama, dan etika moral di balik aktivitas seks justru akan terlewatkan. Karenanya, pendidikan seks Islami menurut penulis mutlak diperlukan agar para remaja mendapatkan informasi yang benar tentang seks dan hal-hal yang berkenaan dengannya, sekaligus dalam rangka memulihkan kesakralan pernikahan dan aktivitas seks di dalamnya, yang saat ini mulai terkoyak.
Urusan seks memang bukan hanya urusan ”ranjang” dan keintiman. Banyak hal berkenaan dengan hubungan laki-perempuan dapat dijadikan materi. Dalam mendidikkan seks berbasis agama perlu diangkat berbagai persoalan seperti thaharah atau hal bersuci, najis (terutama tentang darah, mani, dan madzi), etika berpakaian, etika pergaulan laki-perempuan, etika pergaulan dengan sesama jenis, khalwat (berduaan dengan lawan jenis) dan madharatnya, untung rugi pacaran, urusan ”darah” wanita (menstruasi), serta berakhir pada fiqih munakahat dan sistem reproduksi manusia. Fiqh Islam telah mengadopsi sebagian materi tersebut, dan sebagian lagi terangkum dalam kajian akhlak.
Zulia Ilmawati, Psikolog yang menggeluti masalah Anak dan Remaja dan Anak-anak, dalam http://ratuhati.com menawarkan pokok-pokok pendidikan seks perspektif Islam, yang meliputi : 1). penanaman rasa malu pada anak; 2). penguatan maskulinitas (jiwa kelelakian) pada anak lelaki dan feminitas (jiwa keperempuan) pada anak perempuan; 3) pemisahan tempat tidur mereka; 4) pengenalan waktu dan etika berkunjung (pada pasangan menikah); 5) pendidikan kebersihan alat kelamin; 6) pengenalan mahram; 7) pendidikan menjaga pandangan mata; 8) pendidikan agar tidak melakukan ikhtilat dan khalwat; 9) etika berhias; serta 10) ihtilam (mimpi basah) dan haid.
Yang perlu dicermati adalah kapankah materi-materi tersebut harus diberikan, apakah di pendidikan dasar, menengah pertama, ataupun menengah atas. Kedalaman materi serta kesesuaiannya dengan kekinian perlu juga dipertimbangkan. Selain itu, pemisahan pembekalan antara remaja putra dan putri sangat diperlukan, agar tidak ada rasa ”risih” dan malu dalam menyampaikan sebuah kebenaran. Bukankah Allah sebagaimana ditegaskan oleh nabi bersifat la yastahyi min al-haqq syai’an (Tidak malu dalam menyampaikan kebenaran).
Sebagian materi dimaksud dalam pendidikan seks Islami jika dicermati sebenarnya sudah terangkum kurikulum PAI khususnya Fikih dan Akhlak di sekolah. Tetapi jika ditelaah kembali, ia masih belum praktis, masih teoritis, dan terasa ”melangit” sehingga sulit dipahami atau diterapkan, dan karenanya perlu digagas kembali. Selain itu, keterbatasan jam pembelajaran sering menjadikan proses pendidikannya tidak maksimal.
Pendidikan seks Islami juga tidak berorientasi save sex (karena memang belum masanya) sebagaimana diusung dalam penyuluhan lembaga-lembaga peduli HIV/Aids atau penyakit menular seksual (PMS). Orientasi ini meski bermuara pada pencegahan virus penyakit kelamin lewat alat-alat kontrasepsi seperti kondom dan seks secara aman, tetapi terkesan tidak membatasi pada perilaku gonta ganti pasangan maupun seks bebas. Dalam pendidikan seks Islami, orientasi yang ditanamkan adalah penjagaan kesucian diri dan kehormatan, termasuk penyaluran hasrat seksual secara benar dan sah lewat lembaga pernikahan.
Keinginan mengusung pendidikan seks Islami sebagaimana penulis kehendaki lebih didorong oleh keinginan menyiapkan anak didik untuk mampu menjalani peran dan tanggung jawabnya sebagai laki-laki dan perempuan tanpa merasa superior dan inferior oleh jenis kelaminnya. Pendidikan seks Islam juga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan anak seutuhnya dalam membentuk kepribadian muslim yang tangguh. Wallahu a’lam.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
0 komentar: