Hidup Tanpa "Kambing Hitam"
07.41 | Author: nuruliman1972
12 April 2010

HIDUP TANPA “KAMBING HITAM”

Hidup adalah anugrah dan nikmat kesempataan (baca: waktu) yang diberikan Allah bagi manusia. Sebagai bentuk kemahaadilan-Nya, manusia lalu diberi kemampuan dan kekuasaan sepenuhnya untuk menentukan pilihan warna hidup dan menuliskan jalannya sendiri. Garis takdir Allah jika dicermati selalu mengikuti kecenderungan perilaku manusia. Tidak ada paksaan. Fa man sya’a falyu’min, wa man sya’a falyakfur. Untuk menjadi muslim atau kafir, menjadi manusia baik atau jahat, manusia tetap memiliki perannya meski hasil akhirnya ditentukan oleh kehendak dan masyiat Allah.

Tidak salah jika manusia kemudian dituntut untuk mempertanggung amal perbuatannya di dunia di hadapan persidangan akherat. Ganjaran diberikan sesuai jenis amal perbuatan. Kebaikan dibalas dengan kebaikan (jannah), sedang keburukan akan berbalas keburukan (naar).
Dalam banyak tempat di dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa sekelompok manusia tidak akan ”ditanyai” tentang amal orang lain. Lihat saja QS. Al-Naba’: 25 dan Al-Nahl: 56. Bahkan, dalam Al-Isra’: 36, Allah akan meminta tanggung jawab dari pendengaran, penglihatan, dan hati setiap manusia. Ketiganya dianggap sebagai organ pemicu timbulnya perbuatan, lorong informasi didapat, diolah, dan selanjutnya diambil tindakan. Karenanya, hendaknya seseorang tidak mudah-mudah mengikuti sesuatu yang tidak jelas dan belum dimengerti, sebab hal tersebut rawan kesalahan.

Setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan. Demikianlah salah satu bentuk keadilan dalam kehidupan ini. Pertanggungan jawab akan diminta terhadap segala sesuatu yang berada dalam “wilayah kekuasaan” dan jangkauan diri baik sebagai pribadi maupun dalam perannya yang lain. Seorang muslim kelak akan ditanya tentang amal dirinya, dan pada saat yang sama ia juga akan dimintai tanggung jawab tentang perannya sebagai anak, suami, bapak atau kepala rumah tangga, dan juga jabatannya sebagai pemimpin, misalnya. Seorang muslimah, selain ditanya tentang keislamannya, bisa jadi akan diminta tanggung jawabnya sebagai ibu, istri, anak, dan juga peran yang lain. Hal ini sesuai penegasaan nabi dalam hadith yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa kullukum ra’in wa kullukum mas’ul ‘an ra’iyyatih. Setiap orang adalah pemimpin sesuai dengan kapasitasnya sendiri-sendiri. Dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya itu.

Kenyataan tersebut memberikan makna bahwa andil dan kemampuan seseorang dalam mewujudkan sebuah amal atau meniadakannya merupakan tolok ukur dikenakannya tanggung jawab. Sebaliknya jika sesuatu berada di luar jangkau diri baik sebagai pribadi maupun peran yang lain, maka ia dibebaskan dari segala tanggung jawab. Orang tua, dalam Islam dikenai segala tanggung jawab tentang anak-anaknya selama mereka masih dalam kepengasuhannya dan belum dewasa, tetapi setelah itu maka tanggung jawab bahkan penasaban kesalahan (atau dosa) akan melekat dan ditanggung mereka sendiri. Sedang orang tua dibebaskan. Karenanya, istilah yang digunakan adalah la taziru waziratun wizra ukhra, atau seorang yang bersalah tidak bisa dibebani kesalahan orang lain. Tidak ada dosa warisan dan turunan dalam Islam.
Dalam ranah hukum, tuntutan hukum misalnya hanya akan dikenakan atas kesalahan yang dilakukan seseorang, atau dikarenakan ia adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Pemimpin misalnya, tetap ditanya tentang tindakan anak buahnya, jika ia memiliki wewenang untuk mengontrolnya. Ia juga tetap dimintai tanggung jawab terhadap produk-produk keputusan yang ditekennya, meski ia sendiri tidak membuat konsepnya. Tidak bisa menghindar dari tanggung jawab.

Kenyataan tersebut mengharuskan setiap orang berhati-hati dalam bertindak atau membuat keputusan. Ada pertanggung jawaban duniawi dan akhirat. Terhadap tanggung jawab dunia, disebabkan kelicinan dan kepintarannya, mungkin seseorang masih bisa mengelak. Tetapi untuk tanggung jawab ukhrawi, siapa yang mampu?

Keberanian untuk memikul tanggung jawab adalah cerminan pribadi luhur dan akhlak mulia. Keberanian mengaku salah yang dilanjutkan perbaikan diri melahirkan respek dan penghormatan orang lain. Ini adalah perilaku produktif, dan jiwa para pemenang sejati (winners). Sementara menghindar dari tanggung jawab, menyalahkan orang lain, dan selanjutnya menunjuk ”kambing hitam”, hanyalah perilaku para pecundang (loosers). Bukankah negeri kita ini masyhur dengan perilaku-perilaku tidak bertanggung jawab dengan kepintaran para pelakunya melemparkan kesalahan? Tidakkah budaya korupsi dengan kerugian trilyunan rupiah telah terjadi, dengan tanpa adanya para koruptor yang dipenjara. Kasus skandal bank yang ramai dibicarakan tidak juga dapat menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab, dan semuanya menghindar. Sebaliknya terjadi upaya mengkambing hitamkan perekonomian global sebagai pemicu kesalahan keputusan.

Kebiasaan menghindari tanggung jawab dan mencari ”kambing hitam” selain disebabkan oleh mental yang buruk, juga diakibatkan oleh budaya pola asuh yang salah dalam membesarkan anak. Psikolog Muhammad Fauzil Adzim dalam Salahnya Kodok, menyebut kebisaan buruk para orang tua dengan menyalahkan kodok, kursi, atau benda-benda lain ketika anak jatuh, sebagai salah satu contoh pembelajaran awal para anak-anak untuk melempar kesalahan. Seharusnya, anak-anak tidak ”dihibur” begitu, tetapi dengan menyatakan bahwa mereka harus berhati-hati dalam berjalan dan menunjukkan kesalahan mereka.

Sikap bertanggung jawab perlu dibangun dalam kehidupan pribadi, organisasi, dan masyarakat. Dengan membudayanya sikap ini, setiap hubungan kekeluargaan, hubungan kerja profesional maupun sosial menjadi nyaman. Semuanya on the right job dan bekerja pada posnya masing-masing secara bertanggung jawab. Tidak ada saling menyalahkan. Alangkah indahnya. Wallahu a’lam.
|
This entry was posted on 07.41 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: