21 Maret 2010
PERMISIFISME, DAN PENDIDIKAN “TIDAK”
Oleh: Amalia Sulfana*
“Sambut Valentine, Kondom Laris”, demikian bunyi sebuah judul salah satu berita koran Jawa Pos edisi Senin, 15 Februari 2010. Berita ini mengisahkan tentang tingkat penjualan kondom di apotek-apotek kota Jogja yang mengalami kenaikan 30-50 %. Yang mencengangkan, pembelian terbesar terhadap alat KB tersebut dilakukan oleh para remaja. Selama ini memang belum ada regulasi yang tegas dari dinas kesehatan tentang perdagangan alat kontrasepsi khususnya kondom ini.
Selain itu, apa yang diungkap majalah Hidayatullah (Maret 2010/ R. Awal 1431) tentang kejahatan internet khususnya Facebook turut mengusik nurani kita sebagai orang tua dan pendidik. Betapa banyak remaja wanita yang “hilang” dibawa kekasih baru yang dikenalnya di jejaring sosial tersebut. Mereka larut dalam rayuan gombal para penikmat kebebasan pergaulan yang biasanya berakibat pada penistaan seksual para wanita.
Fenomena tersebut memprihatinkan, sehingga memunculkan pertanyaan besar dalam benak kita sebagai orang tua dan pendidik, apakah memang sudah sedemikian parahkah kebebasan pergaulan remaja kita. Hubungan cinta remaja pada masa pra nikah yang seharusnya masih sebatas perkenalan dan penjajagan seharusnya tidak harus berakhir di ranjang sehingga memerlukan kondom untuk menghindari kehamilan atau penularan penyakit kelamin. Pembuktian cinta sejati untuk mereka seharusnya tidak dalam bentuk hubungan intim, sebuah tingkat hubungan yang hanya layak didominasi pasangan sah pernikahan.
Kenyataan sebagaimana diuraikan diatas menggambarkan budaya permisifisme khas barat yang mulai menjangkiti remaja di negeri ini. Globalisasi dunia lewat penemuan teknologi informasi memang menjanjikan banyak manfaat, keterbukaan dan kemudahan untuk berkembang, tentunya jika dapat direspon dengan benar. Disamping itu turut terbawa pula banyak madharat berupa transformasi budaya kebebasan barat dalam segala bentuknya, serta “sampah” pornografi. Akses internet yang saat ini bisa hadir di mana dan kapan saja bahkan di tangan setiap orang lewat handphone, turut mendukung meluasnya kerusakan moral umat manusia khususnya para generasi mudanya.
Seiring dengan itu, disadari atau tidak filter diri para generasi muda yang bersumber pada agama dan etika moral telah melemah. Ajaran agama yang pada prinsipnya berisi perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebenarnya mengajarkan seseorang agar taat kepada Allah lewat menunaikan perintah yang bermanfaat bagi diri dan kehidupannya, dan menjauhi hal-hal yang berakibat buruk pada diri dan kehidupannya. Sayangnya, pola pendidikan agama yang berlaku di masyarakat seringkali bersifat doktrinal, terkesan taken for granted (mau tidak mau harus diterima), dan tanpa menyisakan tempat bagi nalar untuk mencerna kembali ajaran-ajaran agama.
Rasionalisasi perintah dan larangan merupakan upaya penting yang harus dilakukan para pendidik dalam mengajarkan agama. Dengan mengungkap hikmah dan rahasia Allah di balik perintah-perintah dan larangan-laranganNya, maka diharapkan setiap muslim memahami bahwa semua ajaran agama diadakan hanya untuk kebaikan mereka sendiri. Tuhan tidak butuh terhadap ketaatan seorang hamba sebagaimana ia membutuhkannya untuk perbaikan dirinya sendiri. Allah menyebut bahwa ajaran agama adalah lima yuhyikum (mendatangakan kebaikan hidup) bagi kita, ummat manusia sendiri. Paradigma pembelajaran agama yang fiqih oriented dan bernada hitam-putih, halal-haram, perlu disempurnakan dengan mengikutsertakan hikmat al-tasyri’ dan filosofinya yang mengurai keutamaan perintah dan hikmahnya, serta menjabarkan keburukan hal-hal yang dilarang Allah dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
Di dalam keluarga, penumbuhan nalar anak dapat dipupuk dengan melengkapi setiap arahan, perintah, dan larangan dengan menyebut alasannya. Ajakan untuk belajar hendaknya disertai dengan keterangan bahwa belajar perlu untuk memberikan pekerjaan bagi otak. Larangan jajan di luaran seyogyanya diikuti dengan pemahaman tentang banyaknya bahaya dalam kandungan kimiawi jajan tersebut. Dengan demikian, diharapkan agar para anak yang merupakan generasi mendatang paham makna “tidak” dalam larangan orang tua mereka.
Mengajarkan “tidak” terhadap hal-hal yang buruk menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik dewasa ini. Budaya permisifme yang datang dari barat mengharuskan kita untuk belajar kembali dalam mengajarkan aturan Islam yang berkenaan dengan pergaulan laki-perempuan maupun pergaulan sosial lainnya. Rasionalisasi ajaran-ajaran tersebut berkenaan dengan dampak negatif dan kerugian yang akan mereka tanggung sendiri, memantapkan para remaja dan peserta didik untuk berkata “tidak” terhadap pergaulan bebas.
Tidak mudah tentunya untuk mendidikan habs al-nafs (penendalian diri dan emosi). Tetapi puasa Ramadhan yang satu bulan itu dapat dijadikan sumber inspirasi. Mudah-mudahan, kita mendapatkan kekuatan secara moral dan spiritual untuk membesarkan mereka dalam hidayah dan petunjuk Allah. Semoga.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
This entry was posted on 17.59 and is filed under
Pendidikan
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: