Naruto, Ujian Nasional, dan Perjuangan Sukses
04.39 | Author: nuruliman1972
28 Maret 2010

NARUTO, UJIAN NASIONAL, DAN PERJUANGAN SUKSES


Dalam banyak kesempatan, ketika longar, saya sering menemani anak lanang menonton film kartun kegemarannya, serial ninja Naruto, sebuah anime karya Masashi Kishimoto yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Ia begitu hafal dengan tokoh-tokoh film ini beserta “jurus” masing-masing. Meski sudah sering ditayangkan berulangkali, saya cukup keheranan mengapa sang anak begitu “menikmati” tontonan tersebut dan tidak mengalami kebosanan. Jika ada waktu, bahkan sang istri juga ikut nimbrung.

Setelah ikut mencermati, ternyata tontonan Naruto yang sarat dengan kekerasan dan pertempuran itu, juga banyak mengajarkan nilai-nilai tentang kehidupan. Sosok Uzomaki Naruto yang dibesarkan di desa Konoha adalah simbol perjuangan tiada henti menuju tujuan, berupa keinginan menjadi Hokage, pimpinan tertinggi para ninja, dengan segala kemampuan jurus beladiri dan kebijakannya. Perjalanan hidup Naruto menuju pencapaian cita-citanya digambarkan sebagai tahapan-tahapan penuh rintangan dan halangan. Setingkat demi setingkat akhirnya masing-masing tingkat genin, chunin, jounin, dan sanin, dapat dilalui sebelum akhirnya mendekatkannya pada gelar Hokage.

Naruto adalah sosok pebelajar hebat. Dalam belajar jurus-jurus ninja, ia selalu ulet, pantang menyerah, selalu dapat bangkit dari kegagalan. Tidak ada kata putus asa dan setengah-setengah dalam belajar. Serial kartun Naruto juga mengajarkan kebersamaan/teamwork, kejujuran, dan empati terhadap orang lain. Dalam kerja teamwork, kesuksesan selalu diatasnamakan tim dan kelompok. Tidak ada klaim pribadi terhadap setiap keberhasilan. Dalam perjuangan menuju sebuah kesuksesan, beban dan hambatan memang akan menjadi lebih ringan jika ditanggung bersama, apalagi jika diikuti dengan nilai-nilai lain seperti kegigihan dan kejujuran. Semakin mudah. Hanya saja, sebagai tontonan berbasis budaya lain, serial Naruto juga tidak lepas dari banyak hal yang kadang bertentangan dengan budaya kita Indonesia.

Kesuksesan memang harus diperjuangkan, dan perjuangan selalu diikuti oleh banyak pengorbanan dan ”keringat”. Wama al-ladzatu illa ba’ada al-ta’bi. Jika dikaitkan dengan dengan gawe besar bangsa ini pada bulan-bulan ini berupa Ujian Nasional, maka kesuksesan setiap lembaga dalam mengantarkan para siswa lulus sesuai dengan kriterianya 5,5 (passing grade), tentu hal itu menguras banyak energi dan waktu. Para peserta didik mencurahkan segenap energi dan kemampuannya dalam mempersiapkan diri mampu menjawab soal-soal ujian. Sementara itu para guru dan sekolah menfasilitasi mereka dengan menyelenggarakan pembelajaran bermutu, try out, motivasi, juga pendampingan. Semuanya adalah kerja bareng yang terorganisir dan terencana.

Diselenggarakannya ujian semisal Unas merupakan ajang pembuktian kemampuan murid dan guru. Siswa dengan peningkatan kemampuan dan kecakapan akademik yang dibuktikan nilai dan sikap diri, sedangkan para guru dengan kemampuan mendidik dan membelajarkan para siswa dengan baik. Andai saja tidak ada alat ukur semisal ujian, maka sangat sulit untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan sebuah pendidikan.

Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kelulusan dalam ujian seperti Unas misalnya, sebenarnya hanyalah ”tujuan antara” dari proses pendidikan sebuah lembaga sekolah/madrasah yang bersifat jangka pendek. Sementara itu, tujuan jangka panjangnya adalah mempersiapkan para siswa dengan penguasaan kemampuan dan kecakapan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, kecakapan hidup, dan penanaman nilai-nilai hidup berupa akhlak dan sikap terpuji. Semuanya mengarah pada pemberian modal kesuksesan hidup kelak. Karenanya, penyelenggaraan pendidikan harus selalu diarahkan pada pencapaian tujuan jangka panjang tersebut. Terlalu berorientasi pada tujuan jangka pendek berupa sukses dalam ujian, tentunya hanya akan ”mengerdilkan” arti sebuah pendidikan itu sendiri.

Misi mulia pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karenanya, jika keinginan ”mencerdaskan” anak didik menjadi acuan, dalam penyelenggaraan Ujian nasional, mestinya tidak akan didapati berbagai tindak kecurangan yang melibatkan tidak saja pada peserta ujian tetapi juga unsur guru dan sekolah, atau bahkan dinas terkait. Sebutan ”tim sukses UN” hendaknya tidak menggiring penyelenggara pendidikan untuk melakukan cara-cara tidak terpuji. Saat ini, rasanya masih berat untuk mengatakan bahwa ujian nasional yang berjalan lancar tersebut telah berlangsung jujur dan bersih dari kecurangan. Meski tidak dijadikan kasus yang berlanjut pada proses hukum, penyimpangan-penyimpangan tersebut sudah menjadi rahasia umum yang diketahui banyak pihak.

Terlalu banyak yang dikorbankan jika dalam rangka mensukseskan sebuah ujian nasional penyelenggara pendidikan melakukan segala cara yang berbau kecurangan. Ajaran kegigihan, kerja keras, kejujuran, dan kemandirian dalam hidup yang selama ini ditanambudayakan pada peserta didik akan hancur berantakan. Etos dan budaya kerja keras para guru dipastikan akan rusak. Semuanya akan mengandalkan ”pertolongan” dadakan yang diberikan saat ujian. Pada masa selanjutnya, kecurangan dalam ujian hanya akan meneguhkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang memang sudah membudaya dalam sebuah masyarakat. Singkatnya, kecurangan dan ketidakjujuran hanya akan menghancurkan pendidikan dan masa depan sebuah bangsa. Sebuah ”harga” yang harus dibayar mahal.

Jika Naruto telah berjuang keras, gigih, dan jujur dalam mencapai kesuksesannya, maka saatnya bangsa ini terutama generasi muda, bercermin dari tokoh ninja ini atau figur-figur lain dalam mengejar cita-cita dan kesuksesan. Kejujuran sebagaimana ditegaskan nabi akan menuntun pada pada kebaikan (al-birr), dan berlanjut ke surga (al-jannah). Sebaliknya, kebohongan dan ketidak jujuran akan menghantarkan pada keburukan (al-fujur), dan berlanjut pada neraka (al-naar).

”Surga” sebagai akibat kejujuran dalam perspektif dunia dapat diartikan sebagai kenyamanan hidup, keteraturan, serta keadilan. Sedangkan ”neraka” dapat dimaknai dengan ketidaknyamanan, berkembangan kedzaliman, merebaknya kemunafikan, dan terampasnya hak-hak orang lemah. Menjadikan kehidupan dunia ini bagai surga ataupun neraka adalah sebuah pilihan. Semuanya membawa konsekwensi masing-masing. Kejujuran dalam ber-ujian merupakan salah satu cara untuk menghadirkan ”surga” dalam kehidupan bangsa ini pada masa-masa mendatang. Mari kita mulai.
This entry was posted on 04.39 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: