16 Februari 2010
Setiap sesuatu memiliki tempatnya sendiri. Topi di kepala, sepatu untuk kaki, gelang di tangan, cincin di jari, dan sebagainya. Menyalahi aturan yang lazim tentang penempatan sesuatu atau peruntukannya disebut sebagai dzalim.
Anton Na’mah, dalam al-Munjid fi al-Lughah al-’Arabiyyah al-Mu’ashirah (2001: 935), memaknai dzulm dengan mujawazat al-hadd (melampaui batas), ’unf wa ta’assuf (kekerasan), dan khalaf al-’adl wa al-haqq (menyalahi keadilan dan kebenaran). Kata dzulm menurutnya juga memiliki hubungan dengan dzalam yang berarti gelap dan tiadanya cahaya. Kedzaliman biasanya memang menyebabkan “kegelapan nasib” bagi orang yang terdzalimi disamping pelaku kedzaliman sendiri sebenarnya berada dalam kegelapan karena tidak adanya ilmu tentang perbuatannya.
Di dalam al-Qur’an, selain kata zhulm digunakan pula kata baghy, yang memiliki arti hampir sama dengan zalim yaitu melanggar haq orang lain. Namun demikian pengertian zalim lebih luas maknanya ketimbang baghy, tergantung kalimat yang disandarkannya. Kezaliman itu memiliki berbagai bentuk termasuk diantaranya syirik, mempersekutukan Allah.
Kalimat zalim, menurut Wikipedia bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa makna dzalim merujuk pada praktek meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya secara proporsional. Orang tua misalnya, adalah sosok yang seharusnya dihormati, dan merupakan bentuk kedzaliman ketika mereka dilecehkan dan direndahkan. Anak adalah amanat Allah yang harus dijaga dan ditumbuhkembangan, dan menjadi dzalim jika mereka ditelantarkan.
Selain itu, definisi-definisi tersebut juga memberikan pengertian bahwa dzalim selalu berkonotasi pada adanya tindak merugikan orang lain. Maka, kedzaliman adalah setiap perbuatan yang meniadakan hak-hak kemanusiaan seseorang, merampas hartanya, menghilangkan kesempatannya untuk bekerja, memperlakukannya secara tidak adil, serta menyebabkan kehidupannya berada dalam dzalam (kegelapan).
Dalam tindakan kedzaliman, manusia dibagi menjadi dzalim (pelaku) dan madzlum (pihak yang terdzalimi). Pihak pertama merupakan penyebab timbulnya tindakan aniaya, biasanya diidentikkan dengan pihak pemengang kekuasaan yang lebih superior sementara yang kedua adalah pihak yang inferior. Orang tua terhadap anaknya, guru terhadap muridnya, pemimpin terhadap rakyat atau bawahannya, dan si kuat terhadap yang lemah. Meski demikian, orang-orang yang dianggap lemahpun juga bisa berbuat aniaya dalam kapasitas mereka sendiri seperti dalam kasus durhakanya anak pada para orang tua. Lebih dari itu, seseorang juga dapat disebut dzalim li nafsih (menganiaya diri sendiri) ketika ia menelantarkan dirinya, atau bahkan mendatangkan kerugian untuk diri sendiri.
Berkenaan dengan pelaku kedzaliman (dzalim) maupun “korban”nya (madzlum), Rasulullah SAW dalam hadith al-Timidzi menegaskan pentingnya menolong mereka. Menolong orang yang madzlum dapat dilakukan dengan menghilangkan penderitaan mereka, sedangkan menolong yang dzalim adalah dengan menghalangi mereka dari meneruskan perbuatan aniaya (takuffuh ‘an al-dzulm) yang dilakukan.
Meski bantuan perlu diberikan kepada orang yang terdzalimi, tetapi menurut penulis mereka adalah orang-orang yang “kuat” di sisi Allah sehingga ada garansi do’a mereka pasti dikabulkan (mustajab al-du’a). Dalam hadith, al-Bukhari menyebut himbauan Rasulullah agar kita berhati-hati dari do’a atau laknat para madzlum karena antara mereka dan Allah tidak ada hijab. Sedangkan al-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah menyebut tiga do’a yang mustajabah, yakni do’a orang terdzalimi, musafir, dan do’a orang tua untuk anaknya. Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Majah bahkan berjanji untuk memenangkankan orang-orang yang terdzalimi Kenyataan ini sekali lagi menunjukkan bahwa orang-orang yang madzlum tidak perlu dibantu karena mereka berada dalam “jangkaun” bantuan Allah. Sebaliknya, para dzalimin (orang-orang yang menganiaya) sangat terancam posisinya karena akan berhadapan dengan Allah disebabkan kedzaliman yang dilakukan, dan karenanya mereka perlu “dibantu”.
Membantu orang dzalim sebagaimana ditegaskan Nabi adalah dengan menghentikan kedzalimannya, yang populer dengan istilah nahy al-munkar (mencegah sebuah kemunkaran). Mengingkari kemungkaran sebagaimana disabdakan Nabi dalam hadith Muslim dapat dilakukan dengan perbuatan (biyadih), atau dengan lisan maupun tulisan jika perbuatan tidak bisa, atau dengan hati, jika cara pertama dan kedua tidak dapat dilakukan, dan hal tersebut merupakan tingkat terendah. Yang perlu digaris bawahi adalah, jika menginkari kemungkaran dengan hati adalah tingkat terendah inkar al-munkar, maka bagaimana dengan perilaku membiarkan kemungkaran atau bahkan menyokongnya, maka hal tersebut tentu dapat digolongkan sebagai kemungkaran itu sendiri.
Hanya saja, amal baik dan penuh barokah, mengingkari kemungkaran tentunya sangat berat, penuh resiko, dan mengundang banyak bahaya, disebabkan para pelaku kedzaliman biasanya tidak menyadari kesalahannya atau karena kedzaliman tersebut banyak menguntungkan mereka secara moral maupun material, sehingga akan dipertahankan sekuat tenaga. Seseorang yang berusaha menghentikan kedzaliman bisa saja dimusuhi, dikucilkan, disingkirkan, dituduh sebagai “pemberontak”, atau bahkan difitnah merebut kekuasaan. Padahal sebenarnya mereka adalah bantuan Allah terhadap para hambaNya yang sedang salah, alpa, ataupun sesat jalan.
Yang terpenting adalah hendaknya setiap muslim selalu bermuhasabah dan meyakinkan diri agar tidak menjadi orang dzalim yang akan berhadapan dengan do’a para madzlumin. Jika ada orang yang berteriak keras di telinga kita, segeralah berinstropeksi, jangan-jangan kita sedang menyengsarakan orang lain baik secara sadar atau tidak. Bukankan seringkali kita menginjak kaki orang lain tanpa disadari dan kitapun enggan meminta maaf. Bukankah berulang kali kita telah menyakiti sesama bahkan orang terdekat seperti anak istri, dan kitapun tidak merasakannya. Karena itu, kebiasaan minta untuk dikritik dan dan dikoreksi adalah keberanian luar biasa dari orang-orang yang berwawasan maju demi kebaikan dan perbaikan dirinya.
Jadi, mau ”dibantu” (karena kedzaliman kita) atau ”membantu” saudara kita yang sedang dzalim ?. Wallahu a’lam.
0 komentar: