Menikmati Hidup
14.03 | Author: nuruliman1972

13 Desember 2009

MENIKMATI HIDUP

Dalam sebuah jagongan santai, mbah Surat, seorang yang bekerja menggarap sawah keluarga saya, bercerita tentang acara malam mingguan orang-orang tua di desanya berupa nanggap sinden dan tayuban. Acara tersebut menurutnya berjalan gayeng, menyenangkan, dan hampir rutin dilakukan setiap bulannya, dengan pembiayan yang ditanggung bersama secara swadaya.

Pada kesempatan ke kota Ponorogo pada hari ahad, saya menyaksikan sekelompok orang penggemar Yamaha Vixion dari luar kota yang sedang berkumpul di sebelah timur alon-alon kota. Nampak mereka sedang bersantai dan beristirahat disamping motor-motor yang apik, menawan dan sangat terawat tersebut setelah touring mereka. Sementara itu, saya juga sempat menyaksikan di sekitar stadion pemuda-pemuda yang tergabung club punk dengan dandanan mereka yang nyentrik, ”sangar”, serba hitam, penuh tato dan tindikan di banyak anggota tubuh, dan tentunya keluar dari kebiasaan masyarakat pada umumnya. Mereka mondar-mandir mencari perhatian dan sesekali ”menggoda” para cewek yang lewat.

Kegiatan tayuban, keikutsertaan dalam motoclub maupun clubpunk tersebut diatas sejatinya adalah sekian dari banyak cara yang dilakukan orang untuk menyalurkan minat dan bakat mereka, menemukan komunitasnya, serta mendapatkan pengakuan yang kesemuanya akan bermuara pada adanya kepuasan, ketenangan, serta kesenangan diri. Mereka mencari ”kenikmatan” hidup lewat aktivitas tersebut, disamping masih ada kegiatan lain yang dapat juga ditempuh, seperti mancing, masak-masak, koleksi barang tertentu, olah raga, arisan, dan yang lainnya.

Berkenaan dengan kenikmatan hidup, Al-Qur’an yang menyebutnya sebagai thayyibat (kebaikan), rizq (rejeki), dan zinah (perhiasan) yang harus dipergunakan dan dinikmati. Hal ini diulang-ulang dalam banyak ayat. Dalam al-Isra ayat 70, ditegaskan bahwa Allah telah memuliakan manusia di daratan dan lautan, memberikan rejeki berupa thayyibat, dan melebihkan mereka dari makhluk-makhluk lain. Dalam ayat 51 surat al-Mukminun, Allah memerintahkan para rasul-Nya untuk memakan thayyibat dan sekaligus beramal shalih. Sedangkah dalam ayat 172 surat al-Baqarah, Allah memerintahkan kaum beriman untuk makan dari rezki Allah dan bersyukur kepada-Nya.

Menikmati thayyibat dan mempergunakannya sesuai dengan peruntukannya adalah salah satu bentuk kesyukuran seorang hamba terhadap rabb-nya. Inn Allah yuhibb an yadzhar atsar ni’matih ’ala ’abdih (Allah senang melihat dampak nikmatnya atas hambanya), demikian nabi menegaskan. Karenanya, menghalangi dan melarang seseorang untuk menikmati apa yang dikaruniakan Allah berupa hiasan dunia (zinah) dan kebaikan-kebaikan rezekinya (thayyibat min al-rizq) adalah sebuah kejahatan yang dimurkai (QS. al-A’raf: 32).

Kendaraan bagus, rumah mewah, pasangan menawan, dan anak-anak lucu adalah kebanggaan yang menjanjikan kenyamanan, dan kepuasan hati. Demikian pula dengan makanan-minuman yang enak dan menggugah selera. Semuanya adalah kenikmatan hidup dunia yang selalu diharapkan dan diusahakan keberadaannya. Demikian juga dengan aktifitas menekuni hobi dan menyalurkan bakat yang dapat merupakan ajang aktualisasi diri dan memperluas pertemanan. Tidak ada larangan agama berkenaan dengan hal ini selama semuanya didapatkan dengan cara yang benar, dilakukan dengan baik, tidak ada unsur maksiat kepada Allah, serta tidak melampaui batas.

Menikmati hidup tidak diperkenankan mendatangkan maksiat kepada Allah, Tuhan Pemberi nikmat bagi manusia. Kegemaran touring dengan motor misalnya hendaknya tidak diikuti dengan pergaulan bebas. Kesenangan dalam bernyanyi dan menikmati lagu-lagu tetap harus menghindari ikhtilat (campur baur laki perempuan), senggal senggol, dan goyang erotis yang dapat menggugah birahi. Kegemaran untuk mengoleksi barang-barang antik menjadi haram hukumnya jika menyeret pada perilaku klenik, takhayul, dan ”menuhankan” benda yang dikoleksinya. Petualang kuliner dan makanan ekstrem tetap harus berhati-hati agar makanan yang dicobarasakan tidak termasuk yang diharamkan oleh agama. Hobi mancing yang ”menguras” banyak waktu hendaknya tidak melupakan seseorang dari menunaikan kewajiban shalat pada waktunya.

Melampaui batas dalam menikmati hidup dan fasilitasnya disebut sebagai bentuk israf atau berlebih-lebihan (Qs. al-A’raf: 31) , tabdzir atau boros (al-Isra’: 26), tughyan atau diluar batas kewajaran (Qs. Thaha: 81). Allah memperbolehkan makan, minum, dan berpakaian tetapi tidak dengan berlebih-lebihan di dalamnya. Sedangkan nabi sebagaimana diriwayatkan Ibn Majah dan Ahmad menyebut diperbolehkannya menikmati makanan, minuman, pakaian dan bahkan bersedekah asal tidak berlaku israf dan bertujuan makhilah (pamer). Ukuran melampaui batas memang sangat individual dan temporal, tetapi sangat mudah diketahui jika suatu perbuatan keluar dari batas kewajaran dan kelaziman sosial.

Perilaku pamer merupakan bentuk mempertontonkan diri dalam menggunakan nikmat secara demonstratif untuk mengundang kekaguman orang lain. Istilah lain yang sering digunakan adalah riya’. Dalam kehidupan, hal ini dicela agama karena dapat mengundang kecemburuan sosial dan kedengkian, demikian pula dalam amaliah akhirat karena merupakan bentuk syirik kecil terhadap Allah yang berakibat ditolaknya amal tersebut.

Dalam menjalani hidup dan meraih hak-hak kenyamanan di dalamnya juga tidak boleh mengorbankan ”hak” lain. Nabi menegaskan ”wa a’ti kulla dzi haqqin haqqah” atau berikanlah setiap orang dan sesuatu haknya. Hobbi memancing tidak boleh menjadikan seseorang melupakannya sebagai bapak atau suami yang bertanggung jawab. Kesenangan untuk petualangan dan travelling tidak layak mengakibatkan penelantaran tugas utama yang sedang diemban. Hak diri untuk tetap sehat dan segar juga tidak boleh dikorbankan demi kesenangan lain. Hobi tersalurkan dan kewajiban tetap dapat ditunaikan. Semuanya dilakukan dengan seimbang dan sesuai porsinya.

Kenyataan tersebut memberikan pengertian bahwa menikmati hidup dan dunia adalah hak manusia dan ia ”merdeka” di dalamnya. Masing-masing dipersilakan memperturutkannya selama masih dalam batas kewajaran, tidak mengorbankan hak lain, serta tidak menyeret pada kemaksiatan kepada Tuhan. Jadi, mari kita nikmati hidup yang indah ini dengan penuh kesadaran dan keseimbangan. Subhanallah, bukankan Dia telah menciptakan segalanya bagi kita untuk dinikmati? Hidup ini memang indah.
|
This entry was posted on 14.03 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: