GREBEG SURO, TAHUN BARU, DAN PERUBAHAN DIRI
17.35 | Author: nuruliman1972
22 Desember 2009

GREBEG SURO, TAHUN BARU, DAN PERUBAHAN DIRI

Tahun baru adalah “tamu agung” yang menghampiri kita. Kali ini, dua tahun baru hijriah dan masehi datang hampir bersamaan. Berbagai kegiatan dan perayaan diselenggarakan untuk menyongsong “perubahan” tahun baru. Sambutan kita terhadap tahun baru hijriah dikenal dengan istilah “Grebeg Suro” karena tahun baru Hijriyah memang datang berbarengan dengan 1 Suro.

Prawiro Atmojo dalam Bau Sastra Jawa memaknai ‘grebeg’ dengan ‘bada, riyaya’. Grebeg Suro, dengan demikian dapat diartikan sebagai “riyaya, bada” berkenaan dengan datangnya bulan Sura. Sedangkan ungkapan “panggrebeg temanten” adalah sebutan bagi orang-orang yang mengantar penganten, mengiringi kedatangannya, dan membawakan perlengkapannya ke rumah mertua. Berdasarkan hal di atas maka berkenaan datangnya bulan Suro/Muharram atau bulan Januari, setiap diri yang mengalami pergantian tahun baru adalah “panggrebeg Suro/Muharram” atau “panggrebeg Tahun baru”.

Sebagai “panggrebeg” bergantinya tahun baru hijriah dan tahun baru masehi kali ini sudahkan kita berlaku sebagaimana kita “panggrebeg temanten”. Sudahkan kita macak dengan apik dan baik. Sudahkan kita bersiap diri untuk mengantarkan tamu agung tahun baru kita dengan “kendaraan” terbaik kita. Sudahkan barang bawaan dan perlengkapan kita lengkap dalam menyambut kedatangan tahun baru kali. Kalau semua hal berkenaan dengan penyambutan tahun baru tidak dilakukan maka kita tidak dapat disebut sebagai panggrebeg yang baik.

Dalam tahun baru sebenarnya tidak ada yang berubah kecuali deretan angka tahunnya. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa dengan tahun baru umur kita bertambah satu tahun. Tambah umur, tambah dewasa, lalu bertambah apa lagi? Demikian mestinya pertanyaan besar yang harus kita buat untuk diri.

Tahun baru merupakan nikmat Allah yang berkenaan dengan waktu dan umur. Karenanya, hendaklah ia dimanfaatkan sebagai sarana instopeksi diri guna menghindari “kerugian” lebih banyak. Kalau perusahan selalu melakukan rapat akhir tahun untuk menghitung laba-rugi tahun lalu dan merancang program-program baru untuk tahun baru, maka sudahkah kita melakukan hal yang sama untuk diri dan keluarga. Kita perlu berhati-hati karena nabi membagi manusia berkenaan nikmat waktu menjadi tiga (3) golongan: rabih, khasir, dan mal’un. Orang rabih (beruntung) adalah yang memiliki peningkatan diri pada hari-harinya. Orang khasir (merugi) adalah yang produktifitas hari-hari sama dengan yang lalu. Sedangkan orang yang mal’un a(dilaknat) dalah orang yang menurun produktifitasnya atau lebih buruk kondisinya.

Menyambut tahun baru dengan pesta dan perayaan tidaklah mengapa jika dimaksudkan sebagai bentuk kesyukuran kita. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah janganlah pesta dan perayaan itu melupakan kita dari menggapai ‘esensi’ terpenting tahun baru itu sendiri, apalagi jika bermuatan maksiat kepada Allah. Saya teringat ungkapan Prof. Satjipto Raharjo dari Undip Semarang --berkenaan posisi “ambigu” definisi ilmu hukum dalam kajian keilmuan-- dengan: “sejatine ra ana apa-apa. Kang ana kuwi dudu”. Ungkapan tersebut, jika dikaitkan dengan tahun baru, mengandung arti bahwa pesta yang digelar, dan perayaan yang diusung setiap tahunnya bukanlah esensi tahun baru itu sendiri. Tahun baru sejatinya adalah program yang dicanangkan, perbaikan diri yang dikonsep, serta perubahan positif yang digagas setiap individu maupun komunitas tertentu. Satu tahun berikutnya adalah pembuktian kesemua hal tersebut dalam amal nyata.

Dalam tahun baru Hijriyah, perbaikan diri dapat diarahkan pada usaha napak tilas sirah Rasulullah SAW. Pencanangan kalender Islam oleh Khalifah Umar yang diawali dari hijrah Rasul dimaksudkan agar kaum muslimin selalu mengenang sejarah Nabi dalam mendakwahkan Islam, selain juga menghindari kultus individu terhadap dirinya. Hijrah memang merupakan episode terpenting perjuangan yang merupakan titik balik kemenangan umat Islam. Karenanya, menyambut tahun baru khususnya hijriyah haruslah diikuti semangat untuk meningkatkan diri dalam ber-uswah kepada Rasulullah dan perjuangannya serta meneladani ajarannya dalam menjalani kehidupan ini.

Yang memprihatinkan kalaupun tidak disebut mengenaskan, adalah berkembangnya berbagai praktek klenik dan tahayul lewat ritual-ritual menyambut tahun baru. Dengan alasan melestarikan budaya dan nguri-uri warisan leluhur, maka kegiatan-kegiatan upacara awal tahun, pawai, festival budaya, dan semisalnya tidak dapat dipisahkan dari berbagai kemusyrikan. Realita ini jika dibiarkan dan diamini oleh para alim ulama yang juga terlibat dalam grebeb suro dan tahun baru, maka pelan namun pasti akan menjadi tradisi yang melembaga. Pada gilirannya, tahun baru dan grebeg sura yang awalnya adalah menyambut perubahan tahun dan mensyukuri nikmat umur, akan berubah menjadi ajang ”pengkhianatan” terhadap Allah dengan menggunakan nikmatNya dalam kegiatan-kegiatan yang mengandung syirik. Dalam hal ini, adzab Allah lambat laun pasti akan turun menggantikan rahmat, kasih sayang, dan barokah-Nya.

Mudah-mudahan Allah memberikan karuniaNya lewat tahun baru ini serta memberikan kekuatanNya agar kita dapat menjalani hari-hari pada tahun tersebut untuk mempersembahkan karya-karya terbaik kita yang bermanfaat bagi sesama dan kehidupan ini, sehingga kita layak disebut bersyukur dan bukan kufur. Mari selalu panjatkan doa ”Allahumma ij’al khair umrina akhirah, wa khaira ’amalina khawatimah, wa khaira ayyamina yauma alqaka fih (Ya Allah jadikan akhir hidupku sebaik-baik umurku, sebaik-baik amalku bagian akhirya, serta sebaik-baik hariku adalah hari aku berjumpa dengan-Mu). Semoga.
|
This entry was posted on 17.35 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: