Taqdim al-Ahamm 'ala al-Muhimm
18.19 | Author: nuruliman1972


02 November 2009

YANG PENTING, TERPENTING, DAN TIDAK PENTING



Dalam disiplin ilmu Qawaid Fiqhiyah dikenal kaidah Taqdim al-ahamm min al-muhim yang dapat diartikan sebagai ”mendahulukan yang terpenting dari yang penting”. Kaidah tersebut memberikan arahan kepada kita untuk lebih memprioritaskan urusan atau perkara yang terpenting dibandingkan sekian hal lain yang kadar kepentingannya berada di bawahnya. Ini berarti jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka wajib baginya memikirkan mana yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian mengorbankan hukum yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya.

Pada kalkulasi kaidah taqdim al-ahamm min al-muhimm menegaskan bagi kita, “lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu sakit atau sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2: 185).

Meski kaidah ini berasal dari “dunia” fiqih, tetapi juga berdimensi luas pada bidang-bidang lain. Dalam dakwah Islam misalnya, taqdim al-ahamm mengandung maksud untuk mendakwahkan lebih dahulu urusan-urusan pokok seperti tauhid dan keimanan dibanding masalah-masalah ibadah madhdah maupun ghair mahdhah. Hal ini disebabkan posisi sentral tauhid dan keimanan sebagai fondasi dan pilar pokok dalam beragama.

Dalam disiplin Usul Fiqh juga dikenal terminologi maqasid syariah (tujuan syariah). Al-Shatibi membaginya menjadi 3 hal, yakni dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah segala hal didasarkan padanya sebuah kehidupan manusia, berupa agama, jiwa (nyawa), akal, harta, dan harga diri. Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar yang tidak boleh tidak, harus ada, dan karenanya merupakan hal terpenting. Al-Hajiyat adalah segala apa yang dibutuhkan manusia dalam rangka menghindari kesulitan hidup dan menanggung bebannya. Sedangkan Tahsiniyat adalah hal-hal yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan manusia, tampilan mereka, dan hubungan sosial diantara mereka.

Meminjam terminologi Usul Fiqh tersebut, maka kebutuhan manusia di kehidupan ini dapat digolongkan menjadi dharury, hajjiy, dan tahsini. Al-Dharuriyah adalah kebutuhan pokok yang keberadaanya mutlak diperlukan yang sifatnya lebih berbentuk nafsiyah (psikologis) seperti relegiusitas, keamanan diri, dan penghargaan terhadap eksistensi diri. Sedangkan hajiat adalah kebutuhan utama yang lebih bersifat fisik seperti sandang, pangan, dan papan dalam bentuk yang mendasar. Sedangkan kebutuhan tahsiny adalah kebutuhan yang lebih bersifat komplementer (pelengkap), dalam meningkatkan kenyamanan hidup seperti kendaraan, rumah yang bagus, makanan yang mewah, hanphone, maupun asesoris-acesoris yang lain.

Kebutuhan hidup manusia selalu tumbuh mengikuti perkembangan zaman. Dalam kondisi tertentu, hal-hal yang bersifat tahsiny dapat saja meningkat statusnya menjadi hajjy, tetapi tidak demikian halnya dengan kebutuhan hajjy dan maupun dharury. Keduanya tidak akan dapat turun pangkat menjadi kebutuhan tahsiny. Kebutuhan kita terhadap sepeda motor merupakan kebutuhan tahsiniyat yang pada waktu tertentu dapat berubah statusnya menjadi hajjiyat. Hanya saja, kebutuhan manusia terhadap aspek-aspek dharuriyat seperti rasa aman, relegiusitas, dan penghargaan diri, tetap tidak akan dapat digantikan dengan apapun dan karenanya pemenuhan terhadapnya harus mendapatkan prioritas terdepan.

Kehidupan manusia yang damai, tenteram, dan baik akan terwujud jika seluruh seluruh aspek kebutuhan-kebutuhan hidupnya terpenuhi. Dalam kondisi riil, memenuhi ketiga kebutuhan dharuriyat, hajjiyat, dan tahsiniyat tidaklah mudah, tetapi harus diusahakan secara berurutan.

Al-ahamm fa al-muhimm, yang terpenting baru yang penting. Mengedepankan kebutuhan kedua atas yang pertama atau kebutuhan ketiga atas yang kedua hanya akan menyisakan banyak persoalan. Kebutuhan dharuriyat yang bersifat psikologis dan kasat mata harus tetap diprioritaskan karena mendasari pemenuhan kedua kebutuhan yang lain. Dalam sebuah keluarga, ketika hendak membangun sebuah rumah yang merupakan kebutuhan fisik, maka pasangan suami istri perlu mengadakan rembug untuk membincang banyak hal, menampung aspirasi keduanya, dan menghilangkan dominasi keinginan salah satu pihak. Dengan be-rembug maka kebutuhan keluarga pada aspek dharuriat (psikologis) terpenuhi, disamping kebutuhan tahsiniyat berupa rumah yang sedang diusahakan. Semuanya marem, merasa dihargai, dan diperhatikan.

Dalam organisasi atau institusi publik yang kepemilikannya tidak melekat pada individu, usaha untuk memenuhi aspek-aspek psikologis dharuriyat yang tercermin dalam penghargaan diri, kenyamanan kerja, dan relegiusitas, perlu dikedepankan melebihi apapun. Sebuah keputusan untuk memenuhi hal-hal tahsiniyat berupa kebutuhan fisik (seperti sandang, pangan, dan papan) hendaknya dibangun diatas pondasi dharuriyat. Ada sharing, tukar pendapat, argumentasi, dan rasionalisasi. Diharapkan melalui proses ini maka keputusan apapun yang diambil akan penuh pertimbangan, melegakan semua pihak, dan ”membumi” karena mempertimbangkan banyak masukan. Keputusan tersebut juga menjadi kuat karena telah menjadi keinginan bersama dan legitimate sehingga tidak dikhawatirkan akan digugat di belakang hari.

Perkembangan zaman saat ini memutlakkan setiap organisasi untuk bersinergi dalam bekerja agar dapat bertahan dan bersaing. Memperhatikan aspek kebutuhan-kebutuhan hidup baik dharuriyat, hajiyat, maupun tahasiniyat secara proporsional dan benar harus dilakukan, meski secara berkala perlu juga dirumuskan kembali definisi masing-masing seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuannya.

Identifikasi secara bersama terhadap kebutuhan-kebutuhan organisasi yang selanjutnya diikuti dengan penetapan skala prioritas kebutuhan pada gilirannya akan menumbuhkan iklim sehat dalam berorganisasi. Dinamika kreativitas dan inovasi juga akan terbangun. Tidak ada ganjalan maupun sumbatan ide. Rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi dan program-programnya juga akan terbina baik.

Jadi, marilah identifikasi dan temukan dalam kehidupan kita hal terpenting (al-ahamm) diantara yang penting (al-muhimm). Mulailah dengan yang dharuriyat, baru hajiyat, dan akhiri dengan yang tahsiniyat, maka insha Allah kehidupan kita akan semakin lengkap. Semoga.
|
This entry was posted on 18.19 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: