30 November 2009
MENGAJARKAN QURBAN KEPADA ANAK
Oleh: Amalia Sulfana*
Meski Idul Adha telah berlalu yakni pada 27 Nopember 2009, rasanya sungguh disayangkan jika momen ”luar biasa” ini dilewatkan. Sebagai seorang muslim tentu kita merayakan ‘Idul Adha tersebut serta mengambil pelajaran berharga darinya. Setiap hari raya ini tiba, kita selalu diingatkan kembali tentang kisah ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as, dalam menjalankan perintah Allah Swt. Lewat mimpi (dan mimpi seorang nabi adalah wahyu) Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk menyembelih putranya. Kedua Bapak-anak ini segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan, apalagi keengganan atau penolakan. Dengan ikhlas keduanya menunaikan perintah Allah Swt, meski masing-masing harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim merelakan kehilangan putranya, dan Ismail tidak keberatan kehilangan nyawanya.
Dalam al-Qur’an dan syari’at Islam, peristiwa agung ini diabadikan agar menjadi teladan bagi manusia di sepanjang masa. Maha benar Allah yang telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai uswatun hasanah bagi setiap manusia yang bermaksud mencari keridhoan Tuhannya. Dalam QS. Al-mumtahanah ayat 4, Allah menegaskan: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya”. Secara lebih lengkap peristiwa “heroik” ini terekam dalam Al-Qur’an surat al-Shoffat 99-111.
Sebelum peristiwa Qurban, Ibrahim adalah sosok pejuang sejati yang telah mempersembahkan segala sesuatu yang dimilikinya dalam berdakwah kepada Allah. Ibrahim adalah ikon ajaran tauhid yang berjuang untuk “menemukan” Allah dan kemudian berjuang menjaganya bahkan ketika berhadapan dengan rezim kafir saat itu, Raja Namrud. Dalam QS. Al-Nahl 120-121, Ibrahim disebut seorang yang patuh kepada Allah, hanif (lurus), yang tidak pernah mempersekutukan Allah.
Dari sejarah hidup Nabi Ibrahim as. banyak pelajaran berharga dapat dipetik oleh kaum muslimin dan keluarganya. Diantaranya: Pertama, cinta kepada Allah selalu menuntut bukti dan pengorbanan. Ibrahim as dan Ismail as telah sukses memberi contoh bagi ummat manusia. Cinta Allah melebihi segalanya, dan karenanya diganjar dengan pahala berlipat. Syariat Qurban bagi kaum muslimin tentu tidak sebanding dengan pengorbanan mereka berdua, tetapi memberikan bekal yang cukup untuk belajar berkurban dan membuktikan cinta kepada Allah. Puncak tertinggi pengorbanan adalah ketika seorang muslim dapat mempersembahkan sesuatu paling berharga (mimma tuhibbun) dalam rangka mengabdi kepada Allah. Kedua, Dalam menjalani hidup, hendaknya seseorang tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena sikap ini milik orang-orang kafir (QS. Yusuf:87). Tetaplah berusaha dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Dalam urusan mendapatkan keturunan, Ibrahim as. memberi contoh tentang kontinuitas beliau dalam berdo’a. Setelah berpuluh-puluh tahun, do’a tersebut baru dikabulkan oleh Allah; Ketiga, syukur nikmat hendaknya selalu menghiasi diri kita meski sekecil apapun nikmat itu. Ibrahim tetap memuji Allah meski nikmat keturunan diberikan kepadanya sangat “terlambat”, karena memang terlalu banyak nikmat-nikmat lain yang perlu disyukuri.
Perilaku berkurban dalam rangka mendekatkan diri (qorban) kepada Allah dewasa ini menjadi barang yang mulai langka, demikian pula dengan berkurban untuk kepentingan orang lain. Berkurban untuk kepentingan diri sendiri saja, baik jangka pendek maupun panjang mulai mulai diabaikan. Sebagai gantinya mulati tumbuh perilaku egoistis, hedonis, dan tidak bertanggung jawab, yang sebenarnyan merugikan diri pelakunya.
Dengan bercermin kepada sejarah hidup Ibrahim yang penuh Qurban, maka para pendidik perlu memikirkan cara mengajarkan qurban kepada anak didik. Keberhasilan hidup Ibrahim dunia-akherat, memberikan inspirasi kepada kita bahwa kesuksesan memang hanya dapat dicari lewat Qurban kepada Allah, yang sebenarnya jika dicermati merupakan kepentingan manusia sendiri sebagai makhluk Allah. Berkurban dengan menyembelih hewan sering kali dimaknai dengan belajar “menyembelih” ego dan nafsu kita.
Diantara kiat-kiat yang dapat dipergunakan untuk mendidikkan qurban adalah:
Pertama, menumbuhkan kebiasaan mementingkan ibadah. Qurban merupakan amal mengedepankan dan mementingkan Allah atas segalanya. Di rumah atau sekolah, kebiasan kecil untuk mengedepankan ibadah dapat dilakukan, misalnya dengan segera menghentikan aktivitas belajar atau mematikan TV dan mendirikan shalat saat adzan berkumandang. Kebiasaan ini seadakan mendeklarasikan bahwa ibadah harus lebih dipentingkan dibandingkan kegiatan-kegiatan yang lain.
kedua, mengajarkan berbagi dan memberi lewat ”tangan” anak. Berbagai kegiatan infak atau sedekah (berbagi) perlu dikelola dengan melibatkan anak-anak. Jika mungkin dapat dibuat sebagai ”proyek” sosial. Momen-momen berbagi dapat diciptakan secara sengaja seperti kegiatan buka puasa, santunan anak yatim, dan bantuan untuk orang miskin. Musibah bencana alam juga seperti banjir dan gempa bumidapat dimanfaatkan untuk mendidikkan kepedulian pada sesama. Keterlibatan anak-anak secara aktif pada kegiatan-kegiatan tersebut akan mengajarkan mereka untuk banyak bersyukur sekaligus mempertajam kepedulian sosial mereka dan menanamkan semangat untuk selalu berbagi.
Ketiga, keteladanan. Tidak ada yang lebih mujarab dalam mendidikkan suatu kebaikan dari pada metode keteladanan (uswah). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Lisan al-hal afsah min lisan al-maqal atau perbuatan seseorang lebih ampuh (mengajarkan sesuatu) dari pada omongannya. Ibrahim as. telah sukses memberikan keteladan berkorban ini pada Ismail as. sehingga menumbuhkan semangat berkorban luar biasa pada diri putranya. Karenanya, dalam setiap apa yang akan dididikkan hendaknya para pendidik lebih dulu melakukannya sendiri, dan kemudian mengerjakannya lagi secara bersama-sama dengan para anak didik.
Keempat, do’a tulus yang menyertai. Sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab, Ibrahim as. selalui mengakhiri amal ikhtiarnya di dunia khususnya berkenaan dengan anak istrinya dengan do’a. Sebelum dan sesudah memiliki keturunan, beliau selalu memanjatkan rabbi habb li min al-shalihin (wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku keturunan yang shalih). Dan ketika beliau meninggalkan Ismail dan Hajar di Makkah yang tandus (wadin ghair dzi zar’), beliau memohon kepada Allah agar mereka dapat terpelihara, mendirikan shalat, dan selalu ada di hati setiap manusia. Semuanya secara gamblang diabadikan al-Qur’an.
Apa yang telah diteladankan Ibrahim as. adalah inspirasi yang sangat berharga bagi kesuksesan pendidikan anak-anak kita. Mari kita menapak tilas terhadapnya agar dapat melahirkan generasi masa depan yang sehat jasmani dan rohani, serta mampu mengemban beban estafet dakwah islamiyah, demi meraih izzat al-islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
Religi
|
This entry was posted on 17.03 and is filed under
Religi
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: