Mendidik Tanpa Marah
16.56 | Author: nuruliman1972
18 Oktober 2009

MENDIDIK TANPA MARAH, MUNGKINKAH ?

Oleh: Amalia Sulfana, S.Ag.*

Diantara sikap-sikap tidak terpuji yang sering ditunjukkan seseorang adalah marah. Sejak bayi kecil, kita sudah mampu untuk melakukan perilaku marah tersebut. Namun pada bayi dan anak yang belum bisa bicara perilaku marah biasanya berupa tangisan. Sayyid Muhammad Nuh (1993) dalam kitab Aafaatun ‘Alath-Thariq mengartikan marah secara literal dengan beberapa pengertian. Menurutnya, marah adalah sikap tidak rela terhadap sesuatu dan iri dari sesuatu, terambil dari dari kosa kata arab, ghadib ‘alaihi dan ghadiba lahu. Marah dalam bahasa Arab juga berarti kemuraman, kemurungan, dan sekat ”penghalang” dalam pergaulan.

Jika dicermati, definisi-definisi literal tersebut memiliki relevansinya dengan makna istilahnya. Dalam Psikologi, marah didefinisikan sebagai reaksi terhadap motif-motif yang tidak terpenuhi. Marah mewujud pada perubahan internal atau emosional yang menimbulkan penyerangan dan penyiksaan guna mengobati apa yang ada dalam hati.
Chaplin (2002) dalam kamus psikologinya sebagaimana dikutip www.kampusislam.com, menyebut marah sebagai reaksi emosional akut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik; dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmani maupun yang verbal atau lisan.

Pada umumnya, marah selalu dikonotasikan pada hal-hal yang negatif. Dalam realita kehidupan, seorang yang pemarah biasanya tidak banyak disukai orang karena perilakunya sering ”menyakiti” orang lain. Tidak berlebihan, jika Rasululullah sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah memberikan wasiat kepada seseorang agar tidak marah-marah dan bahkang mengulangi pesan ini hingga tiga kali.

Sebagai agama yang rahmatan lil'alamin, Islam mengajarkan bagaimana membuat amarah tersebut menjadi tidak liar, ganas dan membahayakan orang lain. Karenanya, Islam mencela sifat marah dan sebaliknya memuji sifat sabar yang merupakan bentuk pengendalian emosi. Rasulullah menyebut orang yang kuat adalah mereka yang mampu menahan emosinya, bukan yang memiliki ”okol” (tenaga) besar. Rasulullah selanjutnya memerintahkan kita untuk meredakan marah dengan berbagai upaya diantaranya dengan diam (al-shumt) dan dengan berwudhu.

Berkenaan dengan marah dan dampak ”kerusakan” yang dapat ditimbulkannya, para psikolog menyatakan bahwa terapi terhadap emosi marah dapat dilakukan dengan beberapa hal, diantaranya: 1) mengawali kehidupan setiap hari dengan perkataan "hari ini saya tidak boleh marah"; 2) bersegera untuk memohon perlindungan dari godaan syetan yang terkutuk, ketika emosi marah sedang datang; 3) memandang wajah sendiri dicermin ketika sedang marah dan membayangkan bagaimana jika wajah yang masam tersebut berubah ceria dengan senyum. Membandingkan dua keadaan wajah tersebut akan memicu pelaku marah untuk segera meninggalkannya; 4) melakukan kegiatan-kegiatan pengalih marah dengan berjalan, belanja dan sebagainya; 5) Mengungkapkan kemarahan daengan membuat tulisan atau surat yang paling keji sekalipun, sebagai ganti bentuk pelampiasan.

Mendidik Tanpa Marah

Marah disebut Ja’far al-Shadiq sebagai miftah kull syarr (kunci segala keburukan) dan memang demikian kenyataannya. Ketika seseorang sedang emosi dan marah dan ia tidak berusaha untuk mengendalikannya, maka ”segalanya” bisa saja terjadi. Seorang ayah misalnya, jika sedang marah kepada anaknya disebabkan suatu kesalahan dan ia tidak mengedalikan emosi itu, maka bisa saja ia melakukan kekerasan dalam segala bentuknya. Umpatan keji, perilaku yang merugikan, maupun aktifitas fisik lain yang membahayakan. Pelampiasan model ini tentu saja tidak menguntungkan bagi pendidikan anak sendiri maupun bagi orang tuanya. Sebaliknya yang muncul adalah broken hart (hati yang luka) dan kebencian, bukan kesadaran anak atas kesalahan yang dilakukan.

Andai saja dapat dipilih ”cara marah” yang lebih bijak dan tidak mengandung kekerasan, berupa teguran yang sopan dan arahan yang menyejukkan maka pesan perbaikan yang diinginkan orang tua tentu justru akan ”sampai” dan diterima anak. Ketika bersabar, seseorang yang sedang marah memang akan dapat dengan mudah menemukan solusi untuk permasalahannya dan mengambil keputusan dengan bijak. Nabi menyebut kesabaran sebagai sebagai dhiya’ (pelita) yang menerangi.

Karenanya, dalam mendidik perlu diusahakan sekian cara agar para orang tua dan guru dapat mengendalikan diri saat marah. Agar produktif, kemarahan juga perlu dikelola sedemikian rupa. Diantara upaya-upaya yang dapat dilakukan para pendidik untuk mengendalikan diri dalam marah dan menjadikannya produktif adalah:

1. Membuat kesepakatan
Di dalam rumah maupun sekolah, pelaksanaan kewajiban dan tata tertib dapat disepakati dan dirumuskan bersama bahkan beserta konsenwensi bagi pelanggarannya. Hal ini penting agar tidak muncul kesan pemaksaan maupun dominasi pihak tertentu. Jika terdapat tindak pelanggaran, para pendidik cukup mengingatkan kembali apa jenis kesalahan yang dilakukan dan konsekwensi yang harus ditanggung. Dengan demikian kemarahan dapat dihindari sehingga para orang tua maupun guru dapat ”menghemat” energinya dengan tidak marah.
2. Konsentrasikan teguran pada perilaku anak dan bukan pribadinya
Meski emosi dan kemarahan sedang memuncak, seorang pendidik perlu membedakan antara pribadi anak dan perilakunya. Kemarahan perlu difokuskan pada perilaku buruk anak, dan karenanya harus detail. Perlu dihindari ungkapan yang umum seperti ”hari ini kamu betul-betul nakal”, atau ”kau mengecewakanku”, dan sebaliknya dapat digunakan ”Kesukaanmu mengganggu adikmu sungguh menyebalkan” dan ”keterlambatanmu mengecewakanku”. Ketika dimarahi, hendaknya anak dibuat mengerti bahwa yang dibenci dan mengundang kemarahan adalah perilakunya. Hal ini mutlak agar anak tidak merasa dibenci dan tetap disayang.

3. Jangan ambil keputusan ketika marah
Sebagai sebuah emosi seperti halnya cinta, kemarahan seringkali membutakan. Membuat keputusan ketika marah sedang memuncak seringkali tidak tepat dan hanya akan menyisakan banyak penyesalan. Karenanya, keputusan rendaknya diambil ketika hati sudah tenang dan kemarahan telah mereda.

4. Jangan marah kalau belum bisa menguasai diri
Kemarahan memang perlu dilampiaskan, tetapi jika tidak dikendalikan akan kebablasan. Menguasai diri ketika marah perlu diusahakan, tetapi menyalurkannya pada pelampisan alternatif seperti yang direkomendasikan para psikolog akan jauh lebih baik. Belajar, dan belajar adalah ungkapan yang pas untuk upaya mengendalikan marah. Dalam kenyataanya, seringkali kita mendapatkan para pendidik kita yang memarahi kita tetapi tetap membuat kita nyaman dan berterima kasih kepada mereka di belakang hari. Ada semangat keikhlasan dalam kemarahan tersebut. Tidak ada dendam. Kita menjadi tersadarkan akan kesalahan kita.

Marah diberikan Allah untuk menjaga eksistensi manusia sendiri. Hanya saja, emosi ini dianggap sebagai keburukan karena biasanya lepas kendali. Menyikapi perilaku para anak-anak, para pendidik sudah selayaknya belajar mengendalikan amarahnya agar tidak kebablasan dan kontra produktif dengan pendidikan yang ditunaikannya. Tidak mudah memang, tetapi itulah tantangannya.

Alangkah luar biasanya, andai suatu saat akan terdapat sebuah keluarga atau sekolah yang menghindari kekerasan termasuk kemarahan dalam mendidik dan membangun hubungan. Pendidikan dijalankan dengan prinsip kesadaran dan saling pengertian. Kesalahan-kesalahan diperlakukan dengan arif, dan mendapatkan teguran dengan tanpa mengorbankan harga diri. Harapan ini memang sangat ideal tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Semoga berbekal dengan kesabaran kita dalam menjalani agama dan kewajibannya, Allah memberikan kita kemampuan untuk mengendalikan marah kita. Amin ya rabbal a’amin.
This entry was posted on 16.56 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: