Jadilah Orang "Asing"
14.50 | Author: nuruliman1972
1 Agustus 2009

JADILAH “ORANG ASING”



Pada suatu kesempatan, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW memegang lengan Abdullah bin Umar al-Khattab lalu bersabda: “jadilah engkau seorang gharib (asing/pendatang) dan ‘abir sabil (pelancong)”. Ibnu ‘Umar lalu berkata berkenaan hadith ini, “di waktu sore jangan hanya menunggu datangnya pagi, dan di waktu pagi jangan hanya menunggu datangnya sore. Dari waktu sehatmu pergunakan untuk sakitmu, dan dari saat-saat kehidupanmu ambillah persiapan untuk matimu”.

Dalam bahasa Arab kata gharib merupakan bentuk single yang memiliki bentuk jamak ghuraba’. Gharib menurut kamus al-munjid dapat diartikan sebagai ‘ajib (aneh), atau khariq ghair ma’luf (luar biasa), atau mubtaid ‘an al-watan (orang yang bepergian meninggalkan tanah airnya).

Hadith tersebut merupakan anjuran untuk tidak tenggelam dalam kehidupakan dunia, berlaku zuhud di dalamnya, dan bersikap qana’ah. Imam al-Nawawi memaknainya dengan ungkapan: “janganlah kamu bersandar pada hal-hal duniawi, jangan menjadikan dunia sebagai tanah air, janganlah mengajak dirimu seakan hidup di dalamnya selama-lamanya, dan janganlah terlalu bergantung kepada dunia. Bertidaklah seperti halnya seorang pelancong yang mendatangi suatu tempat. Ia (ibarat tamu) tetap memiliki tempat tinggal asal dan tanah air”. Ungkapan ini mengandung maksud bahwa dunia memang bukanlah sebagai tujuan akhir, tetapi hanyalah sarana yang mengantarkan kepada kampung hakiki akhirat. Seseorang dapat dianggap sebagai gharib jika ia telah menjadikan seluruh fasilitas dunia sebagai batu lompatan untuk kehidupan akherat.

Keunikan seorang “asing” (gharib) tidak hanya dikarenakan “waton bedo” tetapi lebih disebabkan apa yang dipedomani dan dijalani merupakan kebaikan yang telah mulai dijauhi ataupun amal yang ditinggalkan. Ketika ditanya tentang siapakah golongan al-ghuraba’ Nabi sebagamana diriwayatkan Ibn Majah menjawab bahwa mereka adalah al-nuzza’ min al-qabail atau orang yang meninggalkan kampung halamannya demi mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan dalam riwayat Ahmad, Nabi menyebut ghuraba’ sebagai manusia-manusia yang salih di tengah-tengah komunitas masyarakat yang buruk. Pelaku maksiat di dalamnya lebih banyak dari pada golongan yang taat. Pendefinisian nabi terhadap ghuraba’ menunjukkan bahwa keanehan dan keunikan golongan ini haruslah tetap mendasarkan pada alasan rasional, serta memiliki pertimbangan yang benar. Tidak ngawur ataupun mengada-ada.

Seorang muslim yang “asing” adalah orang yang dapat memadukan kehidupan akherat dengan kehidupan dunia. Tidak terlalu condong kepada salah satu diantara keduanya. Tidak pula meninggalkan akherat untuk dunia atau meninggalkan dunia semata untuk kehidupan akherat. Pengabdian kepada Allah selalu dijadikan final aim bagi seluruh amal-amal duniaw yang dikerjakan.

Guru ”asing” adalah seseorang yang menjalani profesi guru sepenuh hati dan dengan menggunakan seluruh tenaga dan perasaan. Ketika mayoritas guru hanya fokus pada aspek administratif keguruan sehingga mengabaikan upaya-upaya kreatif dan inovatif, guru model ini berusaha untuk terus melakukan terobosan demi menjadikan pembelajarannya semakin menarik dan produktif. Ia berusaha tidak terjebak pada rutinitas belajar mengajar dan ”zona nyaman”-nya dan sebaliknya terus berusaha mengikuti perkembangan dunia pembelajaran dan pendidikan yang semakin hari semakin melaju kencang seiring perkembangan budaya, teknologi, serta tuntutan masyarakat.

Orang tua ”asing” adalah mereka yang mengasuh anak-anak dengan cinta dan kasih sayang dengan bekal lengkap paduan pendidikan agama dan umum. Ia tidak terkungkung budaya masyarakat yang berorientasi serba materi dan glamour sehingga memanjakan anak dan melupakan untuk memberikan pengalaman hidup lewat pendidikan keprihatikan dan life skill. Tidak juga memisahkan atau meninggalkan aspek pendidikan agama tetapi menjadikannya sebagai pelengkap pendidikan umum bagi anak-anak mereka.

Pegawai yang ”asing” adalah orang menunaikan kewajiban pekerjaannya bukan hanya untuk ”kejar setoran” seperti yang sering dijalani banyak orang. Ada aspek lain dari pekerjaan yang ia tunaikan berupa profesionalitas karena pekerjaan memang dipandang sebagai ladang ibadah disamping ajang untuk aktualisasi kemampuan diri. Bekerja maksimal menurut orang ini merupakan sarana untuk menjemput barakah dan rahmat Allah.

Menjadi orang ”asing” ataupun gharib dalam konotasi positif adalah berkah yang menjanjikan kebaikan dan mendatangkan banyak manfaat, tidak saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Tidak ada kata berhenti untuk sebuah kemajuan, sebagaimana tidak ada ungkapan tamat untuk terus menambah kemampuan dan mempertajam arah dalam belajar, berbuat, maupun bekerja.

Tidak mudah untuk menjadi seorang yang ”asing”. Ada sekian banyak resiko berupa cemoohan, tuduhan, maupun cucuran keringat yang mesti ditanggung. Biaya atau ongkos yang besar juga akan dikeluarkan. Hanya saja, jika berhasil maka sekian banyak kemuliaan akan dapat direngkuh. Jadi, tetaplah menjadi seorang yang ”asing”. Maukah?
|
This entry was posted on 14.50 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: