Pesan Kematian
22.42 | Author: nuruliman1972

6 Juli 2009

BELAJAR HIDUP DARI MATI


Dalam sebuah kesempatan tasyyi’ al-janazah di pemakaman seorang tetangga yang berlangsung jam 03.00 dini hari, saya sempat berbincang dengan modin desa tentang proses pemakaman malam itu. Saat pemakaman berlangsung nampak keengganan banyak orang untuk turut mengambil peran dalam ”menanam” mayit karena usia jenazah yang sudah lebih satu hari disamping berat badannya yang over weight.

Pak Modin juga menyinggung tentang nasib setiap jenazah setelah dikebumikan. Saya lalu teringat pesan Luqman al-Hakim untuk anaknya tentang kematian dalam kitab nasaih diniyah, Ia berkata ”al-insanu tsalatsat astlatsin. Tsulus li Rabbih, tsulus linafisih, wa tsulus li al-dud. Fa dzalik ruhuh, wa ’amaluh, wa jismuh. Manusia ketika meninggal, menurut Luqman terdiri dari 3/3 bagian. Bagian sepertiga pertama adalah milik Allah, yakni ruh yang akan kembali kepada-Nya. Bagian kedua adalah amal diri yang akan menjadi milik sebenarnya. Adapun sepertiga terakhir adalah jasadnya yang akan menjadi milik cacing tanah.

Perkataan Luqman tersebut memberikan pengertian tentang arti penting amal manusia dan keharusan memusatkan perhatian terhadapnya. Jika ruh adalah milik Allah yang manusia tidak memiliki akses terhadapnya, maka jasad atau tubuh yang sering kali menguras anggaran belanja, adalah milik cacing tanah setelah seseorang meninggal. Sedangkan amal ibadah dan kebajikan diri adalah milik manusia yang sesungguhnya. Manusia memiliki kuasa penuh untuk mewujudkannya, tetapi sering kali tidak mendapat “porsi” memadai dalam perhatian maupun anggaran belanja jika dibandingkan dengan badan. Padahal setelah seseorang meninggal dan dikebumikan, amal adalah teman sejati yang selalu menemani dan membelanya di hadapan pengadilan Allah. Dalam hadith al-Bukhari, Rasul menyebut tiga hal yang mengiringi jenazah hingga ke kubur, yakni keluarga, harta, dan amalnya. Dua pengiring pertama akan pulang, sedangkan amal yang merupakan pengiring ketiga akan tetap bersama sang mayit.

Untuk mendapatkan ”penampilan” tubuh yang menarik, manusia rela merogoh dalam-dalam koceknya. Jutaan rupiah dihamburkan untuk membeli sabun, bedak, shampo, dan alat kosmetik atau kecantikan. Duit yang banyak juga dibelanjakan untuk perawatan tubuh di salon, spa, massage, pusat-pusat kebugaran, dan lain-lainnya, disamping menyita banyak waktu. Orientasi kesempurnaan fisik dan tampilan luar menjadi tujuan, sementara belanja untuk ”prestasi” amal-amal saleh untuk akhirat sering diabaikan.
Pernyataan kritis ini tidak berarti bahwa kita harus melalaikan urusan perawatan badan dan fisik kita dan hanya berkonsentrasi untuk urusan amal soleh dan akherat, tetapi sebaliknya mengajak untuk menempatkan aspek amal kebajikan pada porsi yang sesungguhnya, yakni sebagai tujuan hidup. Sementara itu, perhatiaan kepada tubuh lewat perawatan dan belanja, lebih disebabkan posisi tubuh sehat dan kuat sebagai wasilah (sarana) dalam beribadah dan beramal secara maksimal.

Dalam rangka belajar ”menghargai” hidup kita secara lebih baik, tidak ada salahnya jika kita menjadikan kematian sebagai ibrah dan pelajaran. Kematian yang merupakan pemutus kehidupan dunia dan meniadakan kesempatan manusia untuk beramal, sebagaimana disabdakan Rasulullah memang sudah cukup untuk dijadikan bahan renungan bagi seorang muslim. Kafa bi al-mauti ibran.

Anthony Robbin dalam Unlimited Power menyebut kematian sebagai kuasa yang tak terbatas. Banyak rahasia Tuhan di dalamnya. Ungkapan ini tampak menyeramkan, namun kita akan segera sadar bahwa kematian itu sungguh nyata adanya, sungguh kita semua akan mengalaminya. Kapan datangnya? Itulah rahasianya. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahui rahasia ruh –kematian– ini, sekalipun Nabi, kecuali Allah SWT, Sang pemilik ruh.

Setiap peristiwa kematian di tengah masyarakat memotivasi kita untuk berjuang agar dapat memanfaatkan sisa waktu yang dimiliki sambil berupaya untuk dapat ”hidup” selamanya jika ajal memang telah tiba. Jika gajah mati akan meninggalkan gading, dan jika harimau mati akan meninggalkan belang, maka kematian kita hanya akan meninggalkan nama dan sejarah. Nama dan sejarah yang baik dapat diukir lewat prestasi amal kebajikan dan akan membuat kita hidup selamanya.

Nama dan prestasi baik seseorang dapat dibuktikan dengan keadaan yang melingkupi saat seseorang meninggal. Isak tangis dan perasaan sedih karena kehilangan merupakan bentuk kongkritnya. Bukan malah menjadi orang yang kematiannya di harapkan, karena keburukan dan amal sesatnya merugikan banyak orang. Hal ini ditegaskan Ali bin Abi Thalib : ”waladatka ummuka ya ibnka bakiyan wa al-nas yadhhakunan haula sururan. Ihris ’ala amalin takunu bihi idza ya yabkuna haulaka dhahikan masruran”. Perkataan Ali ini berarti ”Hai anak Adam, ibumu telah melahirkan kamu dalam keadaan menangis sedang manusia lain saling tertawa kegirangan. Berusahalah agar ketika kau mati, engkau berbahagia (karena amalmu) sedang manusia lain merasa sedih”.

Dapat meninggal dalam keadaan seperti yang digambarkan ungkapan tersebut adalah sebuah idaman. Kematian memberikan pelajaran betapa terbatasnya umur manusia, berbeda dengan amal perbuatan dan karyanya yang terus abadi baik di dunia dan akherat. Semoga berbekal kejadian-kejadian kematian di sekitar kita menjadi lebih siap menghadap Allah, suatu saat dikehendaki-Nya. Inilah pesan utama yang disampaikan sebuah peristiwa kematian. Wallahu a’lam.
|
This entry was posted on 22.42 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: