
1 Juni 2009
UNAS YANG DIULANG
SEBUAH TRAGEDI DUNIA PENDIDIKAN
Memalukan dan memilukan. Demikianlah kira-kira ungkapan yang pas untuk diucapkan ketika BNSP memutuskan untuk mengulang penyelengaraan Ujian Nasional bagi 19 SMA yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, Bengkulu, Gorontalo, dan Palembang. Hasil UN keseluruh sekolah tersebut dinyatakan dibatalkan dan siswa tidak lulus seratus persen. Ujian ulang akan dilaksanakan mulai 8 Juni 2009 (Jawa Pos, 31 Mei 2009).
Di Ngawi, di sekolah negeri favorit tempat Dirjen Dikdasmen Depdiknas Suyanto menamatkan pendidikan menengahnya, seluruh siswa kelas 12 yang berjumlah 315 dinyatakan tidak lulus. Di Wungu Madiun, seluruh siswa SMAN yang mengikuti ujian dan berjumlah 140 orang diharuskan mengikuti ujian ulang. Padahal banyak diantara siswa tersebut telah diterima di berbagai PTN melalui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Kasus ini tentunya akan membatalkan tes PMDK.
Diulangnya ujian nasional ini disebabkan beredarnya kunci jawaban palsu yang digunakan siswa untuk menjawab soal-soal UN. Usaha untuk mengatrol nilai ujian siswa ternyata justru menyesatkan mereka. Hasil scan terhadap LJK siswa menunjukkan adanya pola jawaban yang sama pada semua mata pelajaran. Prof. Mungin Edy Wibowo, Ketua BNSP, menengarai adanya usaha sistemais untuk mengedarkan kunci jawaban yang ternyata palsu. Karenanya, UN ulangan merupakan sangsi moral bagi siswa dan sekolah.
Dunia pendidikan dipermalukan. Tengara bahwa ujian nasional telah berjalan dengan tidak “fair” dan menyimpah banyak kecurangan, telah terbukti. Kegiatan evaluasi pendidikan secara nasional yang menghabiskan banyak biaya dan menguras tenaga berbagai pihak ternyata “diakali”. Tidak dengan usaha keras dan cerdas lewat persiapan ujian secara matang, tetapi dengan kiat-kiat murahan tidak bertanggung jawab melalui pembocoran kunci jawaban.
Terungkapnya pembocoran kunci jawaban yang menyebabkan diulangnya ujian di 19 sekolah tetap akan menyisakan pertanyaan di benak banyak orang. Apakah kecurangan terjadi hanya di sembilan belas sekolah tersebut, atau kasus di sekolah-sekolah ini merupakan kasus besar kecurangan yang dapat diungkap karena dilakukan secara massif. Tidak berlebihan jika Komunitas Air Mata Guru (KAMG) sejak awal mengingatkan banyak pihak agar selalu waspada terhadap terjadinya kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional.
Kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional apalagi jika melibatkan guru dan sekolah, sejatinya merupakan “penggembosan” terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan yang sering digaungkan. Kerja keras untuk membangun pembelajaran yang baik dan produktif yang digagas dan dilaksanakan bertahun-tahun dimentahkan oleh keinginan picik sesaat untuk “menolong” para siswa yang sedang mengikuti ujian.
Praktek kecurangan dalam ujian disebabkan banyak faktor. Tidak PD (percaya diri) menjadi salah satunya. Guru tidak percaya pada kemampuannya mengajar, sedangkan siswa tidak yakin akan kemampuan belajarnya. Proses pembelajaran manakah yang lebih buruk dari pada pembelajaran yang dibangun diatas rasa ketidakpercayaan terhadap diri murid dan guru. Ketakutan akan ketidak lulusan juga menjadi pemicu. Beban gagal seakan menjadi “hantu” menakutkan bagi semua orang, siswa, orang tua, guru, bahkan sekolah.
Saatnya dunia pendidikan bercermin pada pendidikan pesantren yang menjunjung tinggi kejujuran dan fairness dalam ber-ujian. Kecurangan santri dalam menempuh ujian dianggap pesantren dianggap salah “dosa besar”. Jika terdeteksi seorang santri curang dalam ujian salah satu mata pelajaran, hal tersebut menyebabkannya gagal total dan tidak naik kelas, atau bahkan dapat dikeluarkan dari pesantren. Keberanian sikap ini ditempuh dalam rangka membudayakan nilai kejujuran. Jika ada pesantren yang kemudian juga “mengajarkan” kecurangan, berarti telah tercerabut dari akarnya sebagai agen moral yang selama ini dibanggakan.
Pendidikan memang bukan hanya “nilai” ujian. Maknanya terlalu sempit. Pendidikan adalah upaya pembudayaan sikap-sikap baik atau akhlak diri yang diperlukan dalam hidup, tentunya disamping kualitas akademik yang dibuktikan dengan nilai ujian. Kejujuran, keuletan, kesungguhan, kerja keras, kerjasama, percaya diri, keberanian, dan logika berpikir yang benar adalah muatan nilai-nilai pendidikan yang harus mengejawantah dalam proses pembelajaran di kelas. Jika nilai-nilai ini dapat ditumbuhkan dengan baik, maka tuntutan prestasi dan kualitas akademik menjadi tidak masalah lagi. Untuk dapat lulus rerata 5,5 tentu tidak sulit bagi siswa yang sudah terbiasa kerja keras, sungguh-sungguh, ulet, dan percaya diri, apalagi jika para guru mereka telah membekali mereka secara serius berbagai persiapan ujian selama beberapa semester.
Keputusan BNSP untuk mengulang UN bagi ke 19 SMA di atas semoga dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terutama guru dan sekolah. Usaha untuk menyukseskan UN memang harus dilakukan tetapi tetap dengan jalan dan cara yang benar tanpa mengorbankan kejujuran. Tidak untuk menyusun strategi baru guna mengakali ujian-ujian nasional pada masa mendatang. Bukankah kewajiban setiap orang untuk mengambil pelajaran dari setiap peristiwa seperti ditegaskan Allah. Fa’tabiru yaa ulil al-abshar (ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal). Amin.
0 komentar: