Ponorogo, 17 Mei 2009
TUKAR NASIB
Oleh: Amalia Sulfana*
Untuk mempersembahkan tontonan yang bermutu dan variatif, stasiun-stasiun televisi saling berlomba untuk menghadirkan berbagai program dan acara andalan, diantaranya reality show. Tukar Nasib adalah salah satunya, yang hadir di setiap sore hari. Acara dikemas untuk mempertukarkan kehidupan dua orang atau dua keluarga dari keadaan yang sangat berlawanan selama beberapa hari. Masing-masing orang atau keluarga menjalani kehidupan keluarga “lawan”nya baik berupa profesi, pekerjaan, rutinitas harian, dan diperkenankan untuk menggunakan fasilitas kantor dan rumah. Untuk beberapa hari mereka saling merasakan suasana yang sama sekali berbeda atau bahkan bertolak belakang.
Tukar Nasib digagas untuk memberikan pelajaran hidup berharga bagi yang menjalaninya. Melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan dan tidak dikenal sebelumnya ternyata tidaklah mudah. Butuh adaptasi panjang, pelatihan yang lama, dan ketekunan menerus. Bagi seseorang yang terbiasa memegang handphone dan laptop tentu akan terasa sulit jika harus mengandalkan sabit untuk bekerja. Seorang ibu yang terbiasa mencuci baju dengan mengandalkan mesin cuci, akan terasa berat jika dituntut mengucek dengan tangan sendiri. Dengan memerankan nasib orang lain, diharapkan tumbuh kepekaan, emphati, dan penghormatan kepada orang lain dan profesinya.
Sikap yang ditunjukkan para peserta Tukar Nasib juga beragam. Ada yang antusias dalam menjalaninya, ada yang pasrah, tetapi ada juga yang berontak menyesal dan misuh-misuh. Sikap-sikap ini menunjukkan kesiapan psikis para peserta dalam menerima perubahan drastis dalam kehidupannya.
Jika dalam acara Tukar Nasib, pertukaran keadaan dan perubahan situasi meski terlihat sangat kontras tetapi tetap bersifat predictable sehingga langkah antisipatif dapat dipersiapkan. Untuk menuju keadaan itu bahkan ada tim yang siap mengantarkan, mengawal, dan mengendalikan hal-hal yang tidak diinginkan. Selesai acara, bahkan tim menjemput mereka, mengembalikan mereka pada posisi semula, dan memberikan hadiah. Hal ini tentu berbeda dalam roda pertukaran nasib kehidupan riil.
Hidup sejatinya adalah sebuah nasib yang pasti akan dipertukarkan dan diputar. Karenanya ada istilah roda kehidupan. Tidak ada satu kondisi yang abadi. Kekayaan-kemiskinan, senang-susah, enak-sengsara, sehat-sakit, selalu akan dipergulirkan. La huzn yadum wa la surur, wala ‘usr ‘alaika wala rakhau demikian ungkapan pepatah Arab. Kalimat itu berarti “tidak ada kesedihan dan kebahagian abadi (di dunia), demikian pula dengan kesulitan hidup dan kemakmuran, semunya bakal dipertukarkan”. Pertukaran “versi Allah” ini selalu unpredictable (tidak dapat diprediksi) dan uncontrolled (tidak dapat dikendalikan). Hanya saja, dalam semuanya itu tetap ada peran tangan manusia. Allah tidak serta merta mengadakan sebuah perputaran nasib tanpa andil manusia, meski dalam banyak hal Allah mampu melakukannya. Kesuksesan selalu diawali oleh usaha keras seseorang yang jatuh bangun berkali-kali, baru kemudian ia sukses disebabkan takdir Allah menjadikannya sukses pada waktu tertentu. Sebaliknya kecelakaan seseorang selalu terjadi akibat kecerobohan dan kekurang cermatan. Takdir celaka didahului oleh kesembronoan diri. Dengan demikian tidaklah dibenarkan selalu menyalahkan takdir Allah sebagai satu-satunya alasan. Bukankah innallaha ya yughayyir ma bi qaum hatta mughayyiru ma bi anfusihim. Allah tidak merubah keadaan sebuah kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka (lebih dulu).
Dalam QS. Ali Imron ayat 140, Allah menegaskan bahwa penderitaaan yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud telah dirasakan kaum-kaum terdahulu. Kemenangan dan kekalahan akan diputar diantara manusia agar Allah mengetahui kaum beriman yang sejati dan yang layak mendapatkan predikat syuhada’. Hal ini memberikan pengertian bahwa rotasi nasib dilakukan sebagai sarana ujian dan seleksi model Tuhan untuk membedakan kaum beriman dari lainnya serta meningkatkan derajat mereka.
Sebaik-baik hal yang patut dilakukan dalam menghadapi pergantian nasib dan kehidupan adalah mempraktekkan apa yang diungkapkan Nabi dengan mempergunakan 5 kesempatan sebelum datangnya 5 kesempitan. Memanfaatkan masa muda sebelum masa tua, masa sehat sebelum sakit, masa kaya sebelum miskin, kelonggaran sebelum kesibukan, dan kehidupan sebelum kematian.
Tidak perlu pongah dengan sesumbar siap dan mampu menghadapi segalanya dengan kekuatan sendiri. Tidak juga bersikap fatalis, mental pecundang yang sering menyerah sebelum bertempur dalam menghadapi perubahan nasib. Dalam kondisi yang baik dan normal persiapkan saja untuk “menabung” energi dan daya guna menghadapi keadaan sulit. Terus berusaha, bekerja, dan mepersembahkan karya-karya terbaik, baru dilanjutkan doa dan permohonan kepada Allah Penguasa Hidup dan perubahannya. Pertukaran nasib tidak perlu dipikirkan terus sehingga menghantui gerak langkah diri. Hadapi saja terjadi. Allah bersama kita. Inna ma’a al-‘usri yusran.
* Guru PAI SMAN 1 Babadan Ponorogo
Religi
|
This entry was posted on 19.39 and is filed under
Religi
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: