
27 April 2009
MANOHARA PINOT DAN KESIAPAN MENIKAH
Nama Manohara Odelia Pinot, selama sepekan ini begitu popular karena banyak dibicarakan oleh berbagai media televisi maupun cetak. Model blasteran Indonesia-Prancis yang cantik ini, sebagaimana diungkapkan ibunya Daisy Fajarina, tengah mengalami tragedi pahit dalam hidupnya. Selain diduga disekap oleh suaminya, Tengku Muhammad Fakhry, putra dari Raja Kelantan Malaysia, ia diduga tengah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Daisy saat ini tengah mengusahakan “kebebasan” dan berbagai bantuan hukum bagi putrinya Manohara. Mendatangi Komnas HAM, Deplu, dan juga Kepolisian, bahkan menggelar jumpa pers merupakan serangkaian cara yang ditempuh. Yang terpenting baginya adalah diperolehnya kejelasaan nasib Manohara disamping adanya ijin untuk bertemu dengan sang buah hati.
Kasus yang dialami Manohara sejatinya adalah kisruh hubungan suami-istri biasa, atau kisruh antar keluarga besan yang sering terjadi di masyarakat. Kejadian ini menjadi luarbiasa karena melibatkan kerajaan Kelantan dan pangerannya yang ditengarai arogan, melibatkan pasangan dari dua negara berbeda, dan juga karena blow up media yang gencar. Tragedi Manohara Pinot berawal dari sebuah pernikahan “kecelakaan” akibat pergaulan bebas, perkawinan beda budaya dan status, dan perkawinan dengan pasangan di bawah umur yang jelas minim kesiapan dan persiapan. Akumulasi permasalahan di awal pernikahan Manohara pada akhirnya melahirkan berbagai masalah yang kemudian membesar dan melebar kemana-mana.
Tuntutan Kesiapan Menikah
Nikah adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat penting, suatu mitsaqan ghalizan (perjanjian yang sangat berat). Banyak konsekwensi yang harus dijalani pasangan suami-isteri dalam berumah tangga. Oleh sebab itu seorang muslim harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan menjelang memasuki lembaga pernikahan. Yusuf Abu Salam (2006: 27-38) membaginya menjadi persiapan batin dan persipan fisik.
Diantara bekal-bekal batin yang perlu dipersiapkan untuk menikah adalah bekal ilmu, do’a yang tak kunjung putus, menimbang cita-cita, dan bekal agama (taqwa). Bekal ilmu yang dibutuhkan adalah ilmu agama dan pengetahuan tentang kerumah tanggaan. Ilmu agama akan membimbing dan mengarahkan hidup seseorang dan menjalani kehidupan. Sementara pengetahuan tentang rumah tangga akan melengkapi bekal ilmu agama dalam memberikan pemahaman mengapa manusia harus menikah, apakah kewajiban dan hak masing-masing pasangan, serta bagaimanakah kiat sukses berumah tangga. Bekal tentang kesehatan dan reproduksi menurut Amir Achsin (2003: 33) juga sangat dibutuhkan.
Doa adalah sesuatu yang amat berharga yang dimiliki oleh seorag muslim, tetapi paling sering disia-siakan. “Senjata” do’a sangat diperlukan dalam pemilihan pasangan, agar seseorang mendapatkan panduan ilahi. Urusan jodoh adalah “perkara besar” yang berada di luar kendali manusia. Karenanya, memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam hal ini adalah sebuah kewajiban.
Cita-cita dalam mencari jodoh ideal perlu ditancapkan setinggi mungkin. Pasangan yang menawan, anak-anak yang lucu, dan rumah yang lapang tempat tinggal mereka, siapa yang yang tidak ingin memperoleh semua itu? Hanya saja semua hal tersebut bersifat duniawi dan “rendah”. Seorang muslim hendaknya memiliki cita-cita tinggi yang berdimensi ukhrawi berupa “surga” dalam seluruh urusannya. Dalam QS. Ali Imran: 197, Allah memperingatkan kita agar tidak terpesona perilaku orang-orang kafir yang bebas bermewah-mewahan dalam hal dunia. Peringatan ini berindikasi untuk menjauhi kehidupan mereka apalagi terlibat dengan menjadikan mereka sebagai pasangan hidup.
Bekal terbaik dalam hidup dan juga perkawinan adalah “taqwa” sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an. Pesan ini sepintas terkesan klise, tetapi sebenarnya merupakan pesan “agung”. Allah dalam ayat tersebut menyebut orang yang bertakwa sebagai orang yang berakal, karena besarnya peran takwa dalam sebuah kehidupan. Dalam merencanakan dan mengarungi sebuah pernikahan bekal takwa mutlak diperlukan sebagai dasar dan pedoman.
Sementara itu persiapan-persiapan fisik dalam menikah meliputi kematangan fisik, kesiapan pekerjaan, dan bekal mahar. Nabi dalam hadith menganjurkan mereka yang memiliki al-ba’ah untuk segera menikah. Lafal al-ba’ah tersebut mengandung banyak arti. Menurut Nabil Kadzim (2006: 63), cakupan arti lafal tersebut meliputi tempat tinggal, lingkungan, dan rumah. Al-ba’ah juga sering diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga secara materiil, rohani, manupun jasmani (seksual).
Kematangan fisik mutlak diperlukan dalam berkeluarga disebabkan besarnya tuntutan kehidupan keluarga terhadap fisik yang kuat. Tidak saja aspek fisik biologis yang mapan, tetapi kecukupan umur perlu diperhatikan. Kematangan fisik menjadikan seseorang percaya diri dalam menunaikan perannya sebagai suami atau istri, termasuk bargaining position diri terhadap pasangan hidupnya.
Memperoleh pekerjaan atau profesi adalah kebutuhan penting sebelum menikah. Dalam surat Al-Baqarah: 233, Allah menyebut kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakain untuk keluarganya meski sesuai dengan kemampuan diri. Ini berarti bahwa seorang suami harus bekerja. Pekerjaaan dimaksud adalah semua bentuk usaha utuk mencari nafkah apapun bentuknya. Mencari nafkah merupakan usaha yang banyak sekali cara dan peluangnya. Hanya saja penghalang terbesar adalah gengsi, yang sering menyebabkan tingginya angka pengangguran. Dikarenakan masalah ini pula banyak pemuda yang takut untuk menikah walaupun sebenarnya sudah berhasrat. Kewajiban berusaha mencari nafkah haruslah dilakukan dengan bersungguh-sungguh, tetapi hasilnya dan ketercukupan hidup dari pekerjaan itu hendaknya diserahkan kepada Allah. Setelah memiliki pekerjaan, maka pilihan menikah dapat dilakukan karena Allah menegaskan untuk membantu dan membuat kaya mereka yang menikah.
Bekal fisik lain yang perlu dipersiapkan adalah mahar. Mahar adalah salah satu syarat sahya nikah selain dari wali (ayah), dan dua orang saksi. Pemahaman yang baik tentang mahar dewasa ini tidak dimengerti oleh banyak orang, sehingga mereka asal saja dalam memilih mahar seperti mushaf al-Qur’an dan seperangkat alat shalat. Rasulullah Saw. memang menegaskan bahwa sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan tuntutan maharnya, tetapi Rasulullah juga memberikan contoh mahar yang “pantas” ketika beliau menikahi istrinya Khadijah dengan lima ratus dirham. Kadar dan besaran mahar hendaknya disesuaikan dengan kemampuan calon pengantin, dan diserahkan kepada kesepakatan kedua belah pihak.
Saat ini, untuk dapat menikah dengan persiapan yang penuh tentu bukan perkara yang mudah. Untuk mapan dalam pernikahan memang dibutuhkan proses yang panjang. Tetapi menikah dengan tanpa persiapan dan kesiapan sama saja mengundang masalah dalam hidup. Bekal pengetahuan tentang pernikahan, kematangan fisik, dan adanya pekerjaan meski seadanya, adalah kesiapan yang harus dimiliki setiap orang yang hendak berkeluarga. Tanpa memilikinya sebuah keluarga yang baru dibentuk akan rawan masalah. Keluarga baru Manohara adalah sebuah contoh riil terjadinya dominasi suami terhadap pasangan yang belum cukup umur yang tentu saja belum matang baik secara fisik maupun psikis. Ketidaksiapan Manohara untuk menjadi istri dan menunaikan perannya, menurut pengamatan banyak pakar, menyebabkan agresifitas suaminya Tengku M. Fakhri dan berbuntut kekerasan. Mudah-mudahan tragedi ini dapat dijadikan cermin bagi mereka yang akan menikah untuk tidak mengabaikan persiapan-persiapannya baik lahir maupun batin, dan sebaliknya hanya terjebak pada persiapan resepsional dan formal pesta perkawinan. Wallahu a’lam.
0 komentar: