1 Mei 2009
IKUT UJIAN, HARUS LULUS?
Oleh: Amalia Sulfana*
Pertanyaan ini terlihat sederhana, dan jawabannya sepintas mudah. Lulus ujian, adalah suatu ending point yang dikehendaki oleh setiap guru, siswa, dan orang tua. Tetapi kapankan “keharusan” lulus ujian menjadi target mereka, sedangkan sunnah kehidupan menunjukkan bahwa dalam setiap ujian pasti ada yang lulus dan pasti ada yang gagal.
Jika pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan “bagaimana agar lulus?”, maka jawaban yang muncul akan sangat beragam. Dalam nalar normal jawabannya bisa “dengan kerja keras, meningkatkan mutu pembelajaran, mempersiapkan ujian dengan baik, memberikan kiat-kiat jitu dalam menjawab soal ujian, atau dengan menambah jam pelajaran bagi siswa-siswa yanga akan mengikuti ujian. Tetapi ketika “keharusan” lulus ujian dipegangi secara membabi buta, maka jawaban pertanyaan ini bisa berupa “apa sajalah, yang penting siswa-siswa kita lulus”. Dan inilah yang dipikirkan oleh banyak pelaku kecurangan UN seperti halnya yang terjadi di Bengkulu yang melibatkan 16 orang Kepala Sekolah, 9 orang guru, dan pejabat Kabiddikmen Bengkulu. Sebuah realita yang memalukan dan memilukan.
Terjadinya kecurangan pada pelaksanaan UN itu disebabkan belum dipahaminya makna dan hakekat pendidikan dan kesuksesan di dalamnya. Dalam benak banyak orang gagal ujian adalah sebuah vonis, sehinggga siswa yang tidak lulus UN dianggap bodoh, tidak memiliki potensi. Kekeliruan itu yang menyebabkan kita semua takut terhap kegagalan. Bagi penyelenggara pendidikan, tidak lulusnya sebagian siswa adalah momok yang mengancam reputasi dan gengsi sekolah. Jika berpikir dengan bijak, mereka akan mengatur strategi cerdas sukses UN dan melakukan segenap aktifitas positif. Tetapi jika berpikiran sempit, jalur kecuranganlah yang akan ditempuh.
Ujian Nasional bagi banyak orang memang momok yang menakutkan. Padahal, Mendiknas Bambang Sudibyo dalam dialog “Atas Nama Rakyat” yang ditayangkan TV One (27/04/09) menegaskan tujuan mulia UN yakni untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurut pak Menteri, indikator peningkatan itu sudah ada berupa meningkatnya kinerja guru dan murid dalam belajar, menurunnya tingkat tawuran pelajar, serta angka ketidaklulusan nasional hanya 8 – 10 persen saja.
Sayangnya, tujuan mulia penyelenggaraan UN banyak tidak dipahami dengan baik. Ujian dalam belajar dirancang agar siswa belajar dan guru “belajar” mengajar. Ujian akhir dan ujian nasional hanyalah mekanisme evaluasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan proses belajar mengajar yang telah memakan banyak waktu, biaya, dan tenaga. Jika ujian ini ditiadakan, lalu mekanisme apalagi yang dapat dipergunakan pemerintah untuk terus memantau penyelenggaraan pendidikan di negeri ini.
Kontoversi tentang ujian nasional berkaitan dengan diterapkannya KTSP adalah sebuah kenyataan. Otoritas guru dan penyelenggara pendidikan sebagai pihak yang paling berhak untuk menyelenggarakan evaluasi pembelajaran memang terasa “dikebiri”. Apalagi ujian nasional ditetapkan sebagai penentu kelulusan/tammat belajar siswa. Tapi hal ini sudah terlanjur menjadi kebijakan nasional yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Mari kita tinggalkan saja kontroversi tersebut, dan selanjutnya bekerjasama untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu sehingga secara otomatis mengarah pada sukses UN. Sekolah diharapkan tidak terjebak pada orientasi jangka pendek sukses UN saja. Konsentrasi guru dan potensinya hanya diarahkan pada kemampuan siswa menyelesaikan soal-soal UN melulu sehingga mengorbankan makna pendidikan secara luas. Jika ini terjadi, maka seperti yang dibahasakan Ahmad Makki, seorang guru sebuah SMAN di Malang, UN telah memutilasi pendidikan di sekolah.
Jika hanya kelulusan yang dibidik, lanjut Makki maka pendidikan di sekolah menjadi dangkal karena sebatas mengajarkan siswa dapat menjawab soal-soal UN dan trik-trik jitu untuk menyelesaikannya secara benar dan cepat. Sekolah menjadi lebih identik dengan lembaga bimbingan belajar (bimbel). Pembelajaran yang akhirnya berorientasi pada UN akan membuat frustasi sekolah dan peserta didik yang masih kekurangan sumber dayanya. Padahal esensi dari belajar tidak lain adalah menggali potensi peserta didik secara aktif. Dalam hal ini, menjadikan sekolah ibarat sebuah industri dan peserta didiknya sebagai hasil produksi yang harus melewati kualitas kontrol. Mereka yang tidak memenuhi standar harus dibuang.
Pelaksanaan UN tingkat SMA/MA-SMP/MTs yang telah berlalu, serta di tingkat SD/MI yang akan segera berlangsung hendaknya dapat dijadikan sarana bagi semua pihak untuk membantu meningkatkan pendidikan formal di sekolah. Tuntutan standar kelulusan 5,5 dapat dijadikan pemicu semangat belajar siswa dan mengajar guru secara baik dan bertanggung jawab. Sementara itu aspek moral spiritual harus tetap dijadikan dasar yang menjiwai seluruh aktivitas sekolah. Jika paduan ini dapat diwujudkan, insya Allah tidak saja sekolah akan sukses bidang akademiknya tetapi juga akan menonjol aspek sosial religiusitasnya. Keinginan untuk mencurangi penyelenggaraan UN di sekolah tidak lagi akan muncul. Lulus atau tidaknya siswa dalam UN tidak lagi dirisaukan guru atau sekolah, karena mereka sudah mendapatkan bekal yang cukup untuk menjawab soal-soalnya. Hasil akhir diserahkan kepada siswa dan tentunya ma’unah Allah SWT. Mari belajar dari UN.
Guru SMAN 1 Babadan Ponorogo
This entry was posted on 17.28 and is filed under
Pendidikan
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: