CANDU GOSIP
20.16 | Author: nuruliman1972
24 Maret 2009

CANDU GOSIP

Oleh: Amalia Sulfana

“Berhentilah Jadi Pecandu Gosip”, demikianlah Tafrida Tsurayya menuliskan dalam Suara Merdeka (11/03/2009) tentang kegelisahannya terhadap budaya menggosip diantara masyarakat terutama kaum hawa. Keasyikan membicarakan orang lain dan mengulas borok/kekurangannya telah menjadi kegiatan yang rutin. Kebiasan ngerumpi seakan mendapat bahan baku dan modalnya dengan adanya dukungan program acara seputar selebriti di berbagai stasiun televisi yang disebut infotainment. Keterkenalan artis memang menarik untuk diperbincangkan dan menjanjikan pesonanya tersendiri.

Tafrida menambahkan bahwa infotainment telah menunjukkan “taring”nya dengan semakin banyaknya peminat sehingga dimanfaatkan oleh pengelola stasiun televisi untuk dijadikan peluang bisnis. Award untuk program infotainment tervaforit juga telah diadakan. Dalam sehari saja, sebuah stasiun TV bisa menyuguhkan 2-3 kali acara infotainment dengan durasi 30-60 menit. Pagi, siang, dan sore.

Kebiasan menggosip lanjut Tafrida dapat menjadi “candu” yang susah ditinggalkan. Padahal gosip model tayangan infotainment tidak mampu memberikan sisi positif bagi kehidupan masyarakat, selain sebagai hiburan. Sebagian besar beritanya hanya mengangkat aib orang (perceraian, kisruh rumah tangga, selingkuh, perseteruan, pelanggaran hukum) di muka umum, atau gaya hidup glamour dan hal-hal lain yang minim pesan moral. Sebaliknya sajian tentang realita kehidupan para artis dan perjuangan mereka demi meraih kesuksesan jarang ditampilkan. Padahal aspek inilah yang bisa dipetik hikmahnya dan dapat mencerdaskan para pemirsa.

Karenanya, meninggalkan tayangan “candu” gosip perlu diusahakan sedikit demi sedikit. Mulailah dengan sesuatu dari yang kecil, dari diri kita sendiri. Tidak perlu dengan gerakan memboikot tayangan infotainment tetapi dengan pindah channel ketika jam-jam tayangnya, atau mematikan TV dan mengalihkan pada kegiatan lain yang lebih bermanfaat.

Pandangan Agama
Dalam bahasa Arab gosib atau menggunjing disebut dengan istilah ghibah. Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah mendefinisikan Ghibah ini sebagai dzikr al-akh bima yakrah atau menyebut dan menceriterakan orang lain dengan cara yang dapat membuatnya tidak rela. Ini berarti bahwa cerita dalam ghibah ini merupakan realita atau kenyataan yang memang didukung bukti. Tetapi jika ia merupakan sesuatu yang diada-adakan, direkayasa, dibumbui, atau dilebih-lebihkan maka hal itu dapat menjadi buhtan (fitnah), sesuatu yang dianggap sangat keji.

Dalam Islam, ghibah merupakan sesuatu yang diharamkan. Al-Qur’an dalam Al-Hujurat: 12 memerintahkan kaum mukminin untuk menghindari buruk sangka, memata-matai orang lain, dan perilaku menggosip. Perilaku menggosip dalam ayat ini bahkan disamakan dengan memakan bangkai teman sendiri yang tentunya sangat menjijikkan. Selanjutnya Allah memerintahkan untuk bertaubat karena Ia memang Maha Penerima Taubat dan Pemurah.
Rasulullah —sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud—sembari melarang untuk menggunjing kaum muslimin dan menelisik aib mereka, bahkan menyebut pelaku ghibah sebagai orang yang keimanannya hanya di bibir dan belum meresap dalam hati. Rasul juga menyampaikan ancaman bahwa pelaku ghibah akan dibuka aibnya oleh Allah dan dihinakan meski (ia berada) di rumah sendiri.

Seorang muslim lanjut nabi harus dijaga dan diharamkan harta, darah, dan harga dirinya bagi muslim yang lain kecuali dengan adanya udzur syar’i. Harta hanya dapat dipindahtangankan dari seorang muslim melalui transaksi yang legal. Darah dapat ditumpahkan karena perang atau melindungi diri dari kematian. Sedangkan harga diri menurut Imam Al-Nawawi dapat “dinodai” karena beberapa alasan, diantaranya pengaduan kejahatan (tadzallum) kepada yang berwajib, usaha pencegahan kemungkaran, memohon fatwa _okum, persaksian dalam persidangan maupun periwayatan hadith, dan pencarian mitra bisnis. Ini berarti bahwa mengorek-ngorek kesalahan orang lain dan menceriterakan kesalahannya untuk tujuan hiburan seperti dalam infotainment tidak diperkenankan. Itulah sebabnya Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk infotainment seperti Cek dan Ricek, Kassel, Insert, dan lain-lain (Tempo, 7/7/2006). Hanya saja, karena infotainment sudah kadung membudaya, fatwa MUI ini nampak tidak efektif.

Budaya menggunjing dan ngrasani selain tidak baik menurut agama dapat “membahayakan” pelakunya. Seorang Psikolog Fauzil Adzim (1999: 533) menyebut bahwa ghibah dapat merugikan diri pelakunya, keluarganya, bahkan anak-anak yang disayangi. Dalam komunikasi antara sepasang suami-istri atau anggota keluarga yang sedang menggunjing, perhatian hanya tertuju pada kejelekan dan kelemahan orang yang digunjing. Pada saat seperti itu, disadari atau tidak, maka akan muncul perasaan superioritas para penggunjing. Kalau tidak karena merasa lebih baik, rasanya memang tidak akan ada ruang untuk membicarakan kejelekan orang lain.

Perasaan unggul (bukan kesadaran tentang keutamaan yang dikaruniakan Allah) lanjut Fauzil dapat menjadikan seseorang kurang peka terhadap kelemahan diri, termasuk kelemahan dalam memberi perhatian dan memahami pasangan atau anggota keluarga. Perasaan unggul yang sering kali bentuknya memandang rendah orang yang digunjing, menjadikan pelakunya lebih siap memperoleh affirmasi (peng-iya-an) dan tidak siap kalau pernyataannya dibantah orang lain, termasuk pasangannya. Ia cepat emosi jika gosipnya dibantah, dan dengan sigap akan menunjukkan “bukti-bukti”. Hal ini menunjukkan bahwa yang dia butuhkan bukanlah pasangannya, tetapi dukungannya terhadap penilaian orang lain yang sedang digunjingkan.

Jika setiap saat pikiran seseorang disibukkan oleh pembicaraan tentang orang lain dan keburukan-keburukannya, akhirnya ia menjadi benar-benar tidak merasa akrab dengan istri, anak-anak, dan orang disekitarnya. Ini menjadikannya tidak dekat secara emosional dengan orang-orang yang mestinya paling dekat dengannya. Kualitas komunikasi yang terjadi dalam keluarga “ahli ngrumpi” hanya bersifat permukaan karena kebutuhan psikis interpersonal masing-masing anggota keluarga tidak terpenuhi. Jiwa mereka terhadap perhatian terabaikan dan tidak “terpenuhi”. Bagaimana akan terpenuhi, kalau konsentrasi pembicaraan justru sering diarahkan pada orang lain?
Menarik sekali untuk disimak ungkapan tuba liman syaghalahu ‘aibuh ‘an ‘uyub al-nas yang berarti “beruntunglah orang yang selalu disibukkan dengan aib dirinya sendiri sehingga melupakan aib orang lain”. Semoga kita termasuk didalamnya. Wallahu a’lam.
|
This entry was posted on 20.16 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: