PENDIDIKAN “KEPRIHATINAN”
“Wa ma al-ladzdzatu illa ba’da al-ta’bi” demikian bunyi peribahasa arab yang terkenal yang berarti bahwa tiada kenikmatan kecuali didahului oleh kerja keras. Ungkapan yang bersumber pada realitas kehidupan ini meniscayakan adanya kerja keras dan pengorbanan besar demi meraih sebuah tujuan kesuksesan.
Sejarah kehidupan membuktikan bahwa orang-orang sukses adalah pekerja keras yang rela memeras seluruh tenaga dan pikirannya untuk sebuah cita-cita. Demi tercapainya cita-cita tersebut, mereka siap menganggung “ongkos”nya berupa hidup penuh kesederhanaan atau bahkan kekurangan asal segala pengorbanan yang dilakukan dapat mendekatkan kepada tujuan. Sebut saja tokoh-tokoh agama semisal Muhammad SAW dan para khalifahnya Abu Bakar, Umar, Usman, dan ‘Ali. Mereka mencurahkan seluruh kemampuan, tenaga, pikiran, dan harta untuk kesuksesan dakwah Islamiyah kala itu. Tokoh-tokoh kemerdekaan negeri ini juga telah mencontohkan betapa mereka telah mengorbankan “segala”-nya untuk tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Dengan bekerja keras seseorang akan menemukan potensi diri yang sesugguhnya. Ibarat sebuah pisau, semakin diasah maka ia semakin tajam. Karenanya semakin sering seseorang bekerja keras, semakin trampillah ia mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, disebabkan ia telah menjelma menjadi “pisau tajam” untuk pekerjaannya. Hanya saja belakangan muncul istilah “kerja cerdas” disamping kerja keras dalam memaksimalkan potensi seseorang, sehingga dalam bekerja tidak saja ia mengandalkan okol (fisik) tetapi juga akal atau pikiran.
“Keprihatinan” yang dimaksudkan dalam judul di atas adalah sebuah keadaan diri berupa sikap sabar, telaten, dan ulet dalam rangka menanggung beban dan perjuangan meraih sebuah kesuksesan. Keprihatinan dalam meraih kesuksesan berarti menjadikan sukses sebagai tujuan sambil mengenyampingkan pahitnya penderitaan dan beratnya tantangan. Apabila kesuksesan diibaratkan sebuah apel besar di puncak sebuah pohon, maka sikap keprihatinan seseorang dalam meraihnya adalah kesabaran dan keberaniannya dalam memanjat pohon itu sejengkal demi sejengkal tanpa menghiraukan gangguan-gangguan semisal gigitan semut, terpaan angin, atau bahkan rasa takut.
Mendidik anak-anak sikap prihatin berarti mengajarkan mereka agar mereka sabar dalam meniti hidup, teguh pendirian, ulet dalam mengejar cita-cita, serta mampu menahan diri dari keinginan sesaat demi sebuah hal yang jauh lebih besar. Berkenaan pendidikan ini, maka perlu dipikirkan sebuah langkah untuk memberikan pengalaman hidup bagi mereka tidak saja yang manis-manis dan enak-enak, tetapi juga yang pahit-pahit.
Diantara sekian halangan mendidik untuk belajar prihatin adalah perasaan sayang orang tua yang berlebihan. Dengan alasan tidak tega dan kasihan sering kali orang tua memanjakan si buah hatinya dengan segala cara. Padahal perilaku ini berdampak buruk pada pertumbuhan pribadi anak. Ia akan menjelma menjadi pribadi cengeng, tidak mandiri, gampang berputus asa, dan malas. Dalam hal ini, memanjakan anak bisa jadi bumerang bagi dirinya dan mungkin masa depannya.
Tantangan budaya hidup saat ini yang serba instant dan “cepat saji” bisa saja turut memperburuk keadaan pendidikan keprihatinan yang seharusnya dijalani anak. Untuk dapat makan kenyang, seseorang saat ini cukup menunggu 5 atau 10 menit. Agar dapat menghitung cepat seseorang cukup bergantung pada kalkulator atau alat hitung lain. Ini bukan berarti kita harus serta merta meninggalkan semua yang berbau instant, tetapi hendaknya ketika menikmatinya, kita juga memikirkan pula dampak yang ditimbulkan oleh kebiasan hidup model ini. Lihat saja, bahwa banyak sekali penyakit dan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kebiasan “hidup instant” ini. Bukan tidak mungkin dampak buruk ini juga melebar pada bidang yang lain.
Sekali lagi, kerja keras adalah kunci kesuksesan. Tanpa sebuah usaha yang menguras tenaga dan pikiran, rasanya kesuksesan tidaklah mudah di dapat. Simaklah ungkapan peribahasa Arab lain yang berbunyi : “Wa man talab al-ula, bighair kaddin, adha’a al-umra fi thalab al-muhal”. Artinya : Barang siapa menginginkan kemuliaan tanpa sebuah jerih payah, maka sesungguhnya ia menghabiskan umur demi sebuah hal yang mustahil”. Disamping itu, kenikmatan sejati hanya akan dirasakan oleh mereka yang bekerja keras.
This entry was posted on 23.27 and is filed under
Pendidikan
. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 komentar: