Penampilan Diri
19.06 | Author: nuruliman1972
GENERASI “BUNGKUS”


Ketika ingin menikmati sebuah permen dan mengunyahnya, kita dipastikan membuka plastik atau kertas melindunginya. Itulah bungkus. Setiap makanan dan minuman yang ditawarkan saat ini selalu dikemas dalam sebuah bungkus yang menawan hati dan menarik pandangan. Dalam dunia industri telah terjadi persaingan yang nyata dalam mengemas setiap produk yang ditawarkan disamping meningkatkan mutu subtansi atau isi dalam bungkus tersebut.

Persaingan dalam mengemas produk telah menginspirasi banyak orang untuk mulai memperhatikan tampilan bungkus. Kreatifitas dan inovasi dicurahkan untuk merancang, mendesain, dan mempersiapkan sebuah produk dan tampilannya sebelum dipasarkan. Ditambah dengan dukungan iklan yang baik maka sebuah produk diharapkan dapat bersaing dengan para “pendahulu”-nya yang lebih dulu eksis. Dengan mencermati iklan, kemasan, dan produk mie instan saja, kita akan dapat menyimpulkan betapa persaingan di dalamnya telah terjadi begitu ketat.

Budaya persaingan dunia usaha dalam mengemas produk turut memberikan imbasnya pada kehidupan riil masyarakat kita. Tampilan dan “prejengan” diri saat ini mendapat perhatian serius oleh kebanyakan orang. Karenanya, orang mulai mengutamakan tampilan diri dengan memilih merk dan model pakaian yang dikenakan, HP yang disandang dengan berbagai variasi casingnya, kendaraan yang ditunggangi, bentuk rumah yang dibangun, dan lain sebagainya.

Sayangnya, orientasi terhadap “bungkus” dan penampilan diri seringkali dominan sehingga mengabaikan substansi. Banyak orang mulai lebih mementingkan aspek tampilan fisik. Untuk membangun sebuah keluarga misalnya, seseorang rela mengalokasikan puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk sebuah resepsi pernikahan. Perhatian selanjutnya adalah menyediakan rumah mewah lengkap dengan segala perabotannya. Sementara itu persiapan batin berupa persiapan mental dan kegiatan “belajar” menjadi suami/istri lewat membaca buku atau mengikuti pelatihan dan latihan keluarga sakinah, sering tidak diperhatikan. Ketimpangan pada cara pandang aspek lahir dan batin sebuah pernikahan ini pada akhirnya hanya akan melahirkan sebuah keluarga yang kering dan jauh dari hubungan anggotanya yang harmonis.

Orientasi kepada penampilan diri dan hal-hal yang fisik secara berlebihan pada akhirnya melahirkan formalisme. Paham ini lebih memandang sesuatu pada aspek formalnya dan sebaliknya menelantarkan substansi yang merupakan ruh. Ia sering melihat sesuatu dari aspek permukaan. Formalisme saat ini sudah menjadi “akidah” yang teguh dipegangi. Silaturrahmi berhenti pada suasana formal halal bi halal pada bulan Syawwal saja sehingga lebih layak disebut silaturesmi. Tanpa forum ini meminta dan memberi maaf sering tidak dilakukan. Kebahagiaan seseorang sering diukur dari materi yang dikumpulkan. Keberhasilannya sering dinilai dari sederet gelar akademik yang disandang. Kecantikan diri sering diasumsikan dengan wajah cantik dan kulit halus dan mengabaikan apa ada yang di baliknya. Kecenderungan berlebih terhadap hal-hal yang formal akan melahirkan generasi-generasi yang lebih peduli “bungkus” dan casing diri dari pada isi dan aspek-aspek rohaniyahnya.

Diakui atau tidak budaya “bungkus” yang mementingkan tampilan diri merupakan budaya yang tren saat ini. Generasi muda saat ini terkesan lebih memperhatikan gengsi “bungkus” dirinya berupa sandangan yang bagus, motor yang mengkilat, HP terbaru dan merek terkenal, serta wajah yang menarik. Seluruh konsentrasi dan biaya diarahkan untuk pemenuhan kesemuanya. Sementara itu orientasi kepada aspek batin diri berupa kecakapan diri, sikap hidup, dan pengembangan kepribadian jarang diperhatikan atau bahkan mulai ditinggalkan.

Padahal Islam telah menegaskan bahwa aspek batin yang non material merupakan aspek penting yang tidak boleh diabaikan. Dalam hadith yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad menegaskan bahwa untuk menilai seseorang Allah akan melihat hati (qulub) dan amal shalih/prestasi kerja (a’mal) dan sebaliknya mengabaikan tampilan fisik (ajsam) dan harta yang dimiliki (amwal). Kekayaan seseorang dalam hadith lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, tidak diukur oleh banyaknya kapital yang dikumpulkan tetapi dari sikap diri kepada harta berupa qana’ah.

Memperhatikan aspek-aspek batin sesuatu tidak berarti harus menelantarkan aspek lahiriyahnya. Mengembangkan innerbeauty tidak lantas menyepelekan kecantikan luar yang kasat mata tetapi melengkapinya sebagai sesuatu realita yang utuh. Aspek batiniyah mendapat nomor satu, baru aspek lahir yang kedua. Diharapkan dengan ngopeni yang batin disamping yang lahir seseorang akan menampilkan dirinya secara utuh disamping akan mendapatkan sesuatu secara sempurna pula.

Pilih “bungkus” atau isi ? Atau keduanya?
|
This entry was posted on 19.06 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: