Renungan Akhir Tahun
23.29 | Author: nuruliman1972

Sebuah Renungan Akhir Tahun

Oleh: Amalia Sulfana

Ya ibn adam. Innama anta ayyam majmu’ah. Kullama dzahab yaum, dzahab ba’dluk

Demikianlah ucapan al-Hasan al-Basri, seorang tokoh sufi terkenal, berkenaan dengan waktu dan kaitannya dengan umur manusia. Menurutnya manusia dan umurnya sejatinya hanya merupakan akumulasi hari-hari. Jika suatu hari berlalu, sebenarnya ia telah kehilangan sebagian dari dirinya.

Ungkapan tersebut rasanya pas kita pedomani ketika menyambut datangnya dua tahun baru sekaligus sebentar lagi, tahun masehi 2009 dan tahun hijriah 1430 H. Kebiasaan kita yang hanyut dalam hingar bingar pesta tahun baru, seringkali membuat kita alpa tentang hakikat pergantian tahun baru itu sendiri dan “perubahan” yang seharusnya kita hadirkan. Hasan al-Basri seakan mengingatkan lewat kata hikmah itu bahwa dengan dengan tahun baru sebenarnya umur kita baru saja berkurang, karenanya jangan terlalu gembira dan sebaliknya segara sadar akan “kehilangan” kita.

Tidak ada yang berubah dalam tahun baru dan tahun lama kecuali berubahnya satu angka dalam deretan angka baru tahun itu. Tugas kita yang mengalami perubahan itu untuk mewujudkan perubahan sesungguhnya dalam realitas kehidupan kita. Jika kita tidak berubah dan berada dalam kondisi “sama saja” antara tahun baru dan tahun lama, maka kita secara ekonomi merugi. Jika keadaan kita semakin buruk di tahun baru, berarti kita kita merugi dua kali, atau dalam bahasa agama sebagaimana disebut hadith nabi disebut mal’un (terlaknat).

Jika ingin memperbaiki diri, marilah kita melakukan renungan di penghujung tahun ini. Satu hal yang dapat direnungkan adalah: ”Seberapa besar tingkat kepedulian kita kepada sesama?” Dari skala 1 (sangat buruk) sampai dengan 5 (sangat baik), dimanakah posisi diri kita? Jawabannya tak perlu dikemukakan, tapi cukup disimpan untuk diri sendiri.

Memperbanyak “manfaat diri” adalah kunci jawabnya. Tahun baru memberikan energi yang cukup bagi kita untuk mengaplikasikan sabda Rasullah Saw. “khair al-nas anfa’uhum li al-nas” atau sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya. Manfaat apakah yang sudah didapat orang-orang di sekeliling kita dari keberadaan diri kita. Sebagai orang tua, anak, karyawan, atasan, atau anggota masyarakat, sudahkan kita menjalankan “posisi” diri tersebut dengan baik. Sudahkah keberadaan kita membawa manfaat, atau jangan-jangan malah membawa madharat?

Kesempatan untuk memikirkan orang lain memang sangat sulit dilakukan, apalagi di zaman sekarang. Setiap hari kita disibukkan dengan pekerjaan yang tak habis-habisnya. Namun sekadar memperhatikan diri Anda sendiri akan menghasilkan kesulitan yang cukup serius dalam jangka panjang. Anda akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan spiritual Anda. Banyak orang yang beranggapan bahwa hal ini adalah kewajiban. Ini adalah sebuah kesalahan besar. Memperhatikan orang lain adalah kebutuhan Anda untuk menikmati hidup yang penuh makna. Memperhatikan orang lain adalah cara terbaik untuk mencapai hakikat kemanusiaan yang sejati.

Seorang filsuf terkemuka pernah mengatakan, ”Manusia dilahirkan dalam kondisi telanjang, dan ketika meninggal ia dibungkus kain kafan. Apakah hanya itu keuntungan yang ia dapatkan sepanjang hidupnya?” Sayangnya dunia kita sekarang telah begitu materialistisnya, sehingga banyak orang beranggapan bahwa perhatian tersebut bisa digantikan dengan uang. Padahal walaupun uang memang penting, ia tak akan pernah dapat menggantikan perhatian, pengertian, kehadiran dan kasih sayang.

Banyak contoh yang bisa kita ambil dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak anak yang tumbuh tanpa perhatian yang semestinya dari orang tua mereka. Banyak orang tua yang berdalih bahwa quality time jauh lebih penting ketimbang quantity time. Padahal, kasih sayang dan pengertian hanya akan terbina melalui proses yang perlahan-lahan dan membutuhkan banyak waktu. Betapa banyak para profesional yang cukup puas dengan memberikan sejumlah uang kepada orang tua mereka tanpa pernah mau tahu mengenai keadaan mereka yang sesungguhnya. Orang-orang seperti ini telah salah kaprah dalam memahami hidup seolah-olah segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang.

Kepedulian kita kepada orang lain dapat pula diwujudkan dalam bentuk mendengarkan mereka. Mendengarkan dengan benar adalah melupakan diri sendiri dan memberikan perhatian lahir dan batin yang tulus. Dengan mendengarkan kita dapat menangkap bukan hanya apa yang dikatakan tetapi juga apa yang dirasakan. Mendengarkan amat penting untuk bisa memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan orang lain, bahkan sekalipun mereka tidak mengatakannya. Kahlil Gibran pernah mengatakan, ”Adalah baik untuk memberi ketika diminta, tapi jauh lebih baik lagi jika memberi tanpa harus diminta.” Sudahkan anda “member” hari ini?

|
This entry was posted on 23.29 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: