IDUL ADHA, HARI AIDS, DAN “QURBAN” KITA
Awal bulan Desember tahun 2008 kita dihadapkan dengan banyak hari-hari bersejarah. 1 Desember diperingati sebagai hari Aids Sedunia, sementara 8 Desember yang bertepatan dengan 10 Dzulhijjah lalu, sebagai seorang muslim kita merayakan ‘Idul Adha 1429 H. Setiap hari raya ini, kita selalu diingatkan tentang kisah ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim as dan putranya, Nabi Ismail as, dalam menjalankan perintah Allah Swt. Lewat mimpi (dan mimpi seorang nabi adalah wahyu) Nabi Ibrahim as diperintahkan untuk menyembelih putranya. Kedua Bapak-anak ini segera bergegas melaksanakan perintah Allah. Tak tampak sama sekali keraguan, apalagi keengganan atau penolakan. Dengan ikhlas keduanya menunaikan perintah Allah Swt, meski masing-masing harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga dan dicintai. Ibrahim merelakan kehilangan putranya, dan Ismail tidak keberatan kehilangan nyawanya.
Peristiwa agung ini pun diabadikan dalam al-Quran agar menjadi teladan bagi manusia di sepanjang masa. Maha benar Allah yang telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai uswatun hasanah bagi setiap manusia yang bermaksud mencari keridhoan Tuhannya. Dalam QS. Al-mumtahanah ayat 4, Allah menegaskan: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya”. Secara lebih lengkap peristiwa “heroik” ini terekam dalam Al-Qur’an surat al-Shoffat 99-111.
Banyak pelajaran berharga dapat dipetik oleh kaum muslimin dari peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim as. dan keluarganya. Diantaranya: pertama, Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, karena sikap ini milik orang-orang kafir (QS. Yusuf:87). Tetaplah berusaha dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Dalam urusan keturunan Ibrahim as. memberi contoh tentang kontinuitas beliau dalam berdo’a. Setelah berpuluh tahun, do’a tersebut baru dikabulkan oleh Allah; kedua, syukur nikmat hendaknya selalu menghiasi diri kita meski sekecil apapun nikmat itu. Ibrahim tetap memuji Allah meski nikmat keturunan diberikan kepadanya sangat “terlambat”; ketiga, cinta kepada Allah selalu menuntut bukti dan pengorbanan. Ibrahim as dan Ismail as telah sukses member contoh bagi ummat manusia. Cinta Allah melebihi segalanya, dan karenanya diganjar dengan pahala berlipat. Syariat Qurban bagi kaum muslimin tentu tidak sebanding dengan pengorbanan mereka berdua, tetapi memberikan bekal yang cukup untuk belajar berkurban dan membuktikan cinta kepada Allah. Puncak tertinggi pengorbanan adalah ketika seorang muslim dapat mempersembahkan sesuatu paling berharga (mimma tuhibbun) dalam rangka mengabdi kepada Allah.
Jika dicermati, perilaku berkurban dalam rangka mendekatkan diri (qorban) kepada Allah dewasa ini menjadi barang yang mulai langka, demikian pula dengan berkurban untuk kepentingan orang lain. Berkurban untuk kepentingan diri sendiri saja, baik jangka pendek maupun panjang mulai mulai diabaikan. Sebagai gantinya mulati tumbuh perilaku egoistis, hedonis, dan tidak bertanggung jawab, yang sebenarnyan merugikan diri pelakunya. Sungguh mencengangkan apa yang dimuat Jawa Pos edisi 7 Desember 2008 tentang hasil survey PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Samarinda. Dari 300 ABG usia 13-16 tahun yang dijadikan objek survey ditemukan bahwa 220 orang pernah pacaran. 39 orang mengaku pernah berhubungan seks, 56 % diantaranya melakukan seks di usia 13-16, 44 persen setelah 16 tahun. 20 % dilakukan dengan teman sediri, 28% dengan pacar, dan 44% dengan PSK. Penelitian ini adalah temuan berharga bagi para pendidik meski PKBI Samarinda tidak merinci metode penelitian yang digunakan dan margin error dari hasil yang didapat. Perilaku seks bebas yang penuh resiko apalagi jika dilakukan dengan PSK atau berganti-ganti pasangan, adalah contoh keengganan untuk berkurban untuk diri sendiri, demi kesehatan pribadi jasmani dan ruhani, serta ketidak sabaran untuk melampiaskan seks dengan cara dan waktu yang tepat. Sebaliknya yang dipentingkan adalah pemuasan hasrat hewani diri. Terlalu banyak yang dikorbankan oleh seseorang jika ia menganut seks bebas. Bagaimana mungkin pelaku seks seperti ini akan berkurban untuk Allah, atau orang lain, kalau untuk berkurban bagi dirinya sendiri saja ia tidak mampu? Apa yang diungkap oleh PKBI Samarinda bukantidak mungkin terjadi di tempat lain atau tempat kita dengan temuan yang bisa saja lebih besar.
Hari Aids yang diperingati oleh Dunia pada tanggal 1 Desember tahun ini menyisakan keprihatinan yang mendalam. Berbagai kegiatan digelar dan dilaksanakan, dalam bentuk renungan, penyuluhan, aksi-aksi sosial, penggalangan dana dan lain-lain. Korban-korban terus berjatuhan dan kecemasan semakin meluas. Simak saja situs www.aids-ina.org yang memuat secara lengkap ‘klipping’ berita-berita tentang Aids, maka mata kita akan semakin terbelalak kaget. Sudah sedemikian parahkan? Sedangkan upaya penanggulangan lewat berbagai cara termasuk kondomisasi tidak juga dapat menghambat laju pertumbuhan orang yang terinfeksi virus HIV (ODHA). Penelitian ginekolog mutakhir menyebutkan bahwa ukuran virus HIV 1/240 mikron atau lebih kecil dari pori-pori kondom yang 1/60 mikron. Maka penggunaan kondom untuk menangkal HIV sebenarnya tidak maksimal dan sebaliknya perlu dibudayakan pencegahan yang lain.
Momen ‘idul Adha adalah kesempatan berharga tidak saja bagi bara juru dakwah tetapi juga bagi para pendidik untuk menanamkan pada generasi muda ajaran Ibrahim as dan keluarganya tentang rela berkorban dan sikap sabar dan meniti ridho ilahi, sekaligus meraih kesuksesan diri dan orang lain. Berkurban untuk keselamatan diri sendiri dengan menjauhi sebab HIV dengan menghindari narkoba dan seks bebas perlu ditanamkan secara mendalam. Bersabar untuk menyalurkan hasrat seksual secara tepat waktu dan tempat, perlu ditekankan. Keengganan untuk mengorbankan kenikmatan abadi dengan kenikmatan sesaat seperti narkoba dan miras, hendaknya dapat menjadi pilihan setiap kaum muda. Kesabaran dan keteguhan dalam berbagai bentuknya adalah resep sukses diri baik dunia maupun akhirat.
Akhirnya, marilah kita menanyakan kepada diri sendiri. Buat apa berbuat kalau tidak menyebabkan qurban (kedekatan) kita kepada Allah. Untuk apa bertindak kalau tidak ada manfaatnya bagi orang lain dan diri sendiri. Buat apa menceburkan diri ke dalam kehancuran. Sudahkan kita berkurban dengan menyembelih hewan atau dengan belajar “menyembelih” ego dan nafsu kita. Marilah kita mendidik diri dan keluarga kita untuk banyak berkurban demi qurban kita dari Allah dan rahmat-Nya. Berkorbanlah tapi jangan jadi kurban. Betul??
0 komentar: