Guru Harus Tetap Belajar ?
22.09 | Author: nuruliman1972
GURU JUGA HARUS BELAJAR?

Alkisah, di sebuah negeri hiduplah seorang guru silat yang sudah sangat tua. Ia ingin mewariskan perguruannya kepada salah satu dari dua murid yang masing-masing memiliki tingkat keseriusan, semangat, dan keuletan belajar silat yang sama. Dikarenakan kemampuan silat keduanya sebanding dan sama, maka sang guru menggunakan “cara lain” untuk menentukan pewarisnya.

Pada suatu malam, sang guru memanggil keduanya dan memberi tugas, "Besok pagi kalian pergilah ke hutan mencari ranting pohon. Siapa yang pulang dengan hasil yang terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang. Waktu yang tersedia untuk kalian adalah jam lima pagi sampai jam lima sore." Sang guru lalu menyerahkan dua buah parang sebagai alat untuk bekerja.
Mendapat tugas yang baru ini, di benak murid yang pertama langsung terbayang bahwa keesokan harinya ia harus bekerja lebih keras dan lebih serius karena waktunya terbatas. Ia lalu fokus pada waktu, yakni harus berangkat jam 5 tepat , tidak boleh kurang satu detik pun dan pulang jam 5 sore , tidak boleh lebih. Setelah yakin dengan waktunya, ia pun pergi tidur.
Dengan tugas yang sama, murid kedua lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukannya. Ia langsung memeriksa parang yang disediakan oleh gurunya, dan ternyata parang tersebut adalah parang tua yang sudah tumpul. Maka, ia pun memutuskan, besok sebelum berangkat ia akan mencari batu asah untuk mengasah parangnya agar menjadi tajam dan siap digunakan. Dengan parang yang lebih tajam, hasil yang sama dapat diperoleh dengan upaya yang lebih sedikit. Ia juga membayangkan di benaknya tentang bagaimana cara membawa ranting pohon lebih banyak secara efisien dan efektif? Setelah berpikir cukup lama dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan, ia memutuskan untuk menyiapkan tali pengikat dan tongkat pikulan sebelum berangkat keesokan harinya. Dengan memikul ranting menggunakan tongkat pikulan. Akhirnya dengan perasaan puas, ia pun pergi tidur meski cukup terlambat.

Keesokan harinya, murid pertama yang sudah berencana akan bekerja keras, bangun tepat waktu dan langsung berangkat ke hutan. Sementara itu, murid kedua masih tidur karena terlambat tidur memikirkan strategi. Tepat jam enam pagi, murid kedua bangun. Sesuai rencana, ia segera mencari batu asah dan mengasah parangnya sampai benar-benar tajam. Kemudian ia mencari tali dan tongkat pikulan. Setelah semua perlengkapan siap, ia segera berangkat ke hutan, jam menunjukkan pukul tujuh lebih. Ketika jam menunjukkan pukul satu siang, murid kedua sudah berhasil mengumpulkan ranting cukup banyak. Ia segera mengikatnya menjadi dua dan memikulnya pulang. Sesampainya di rumah, diserahkannya ranting-rantingtersebut kepada gurunya. Ia berhasil mendapat banyak ranting dan pulang lebih cepat.

Sementara itu, murid pertama, karena tidak mengasah parangnya, harus menggunakan waktu dan energi yang lebih besar untuk memotong ranting pohon. Dengan demikian ia juga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk beristirahat karena kelelahan. Belum lagi waktu yang ia gunakan untuk mencari tali pengikat. Selain itu, dengan caranya membawa ranting kayu yang dipanggul di pundaknya, jumlah yang bisa dibawanya juga terbatas.

Menyimak kisah yang dimuat dalam www.andriewongso.com tersebut, kita seakan diingatkan bahwa guru pada mulanya adalah seorang “murid” juga yang dibekali dengan kepandaian dan kompetensi tertentu. Ketika sudah menjadi guru, seringkali kemudian ia terbelenggu oleh rutinitas kerja sehari - hari, sehingga lupa "mengasah parang" yang sudah sekian lama dipergunakan dalam mengajar dan mungkin menjadi tumpul. Kesibukan administratif pembelajaran begitu menyita keseluruhan hidupnya membuatnya melupakan bahwa ia harus update diri dalam metode mengajar, wawasan keilmuan, kemampuan sosial, atau bahkan ketrampilan teknologi pengajaran yang selalu berkembang. Padahal untuk dapat mengajar secara efektif ia dituntut untuk selalu ‘berubah’ dan menyesuaikan diri dengan perubahan.

Paretto (Ubaidillah, 2008) menyatakan bahwa kehidupan kita kadang tidak berjalan efektif bukan dikarenakan ketidak mampuan kita (over-burden) tetapi dikarenakan adanya ‘kebocoran’ dan ‘kemampetan’ sehingga menjalani hidup dengan kualitas rendah(80:20). Artinya kita mengeluarkan energi 80 % dan hanya menghasilkan 20 % dari sasaran. Padahal mestinya 20% yang kita keluarkan dan mendapatkan 80% sasaran atau setidaknya 30:70, 40:60, atau 50:50. Pertanyaannya, apakah bentuk kebocoran (blokade) yang menghambat tersebut?

Sebagai guru, selayaknya seseorang sering bertanya kepada diri sendiri, apakah saya sudah mengajar efektif? Sudahkah sasaran pembelajaran tercapai? Betulkan kualitas mengajar saya (80:20) atau paling tidak (50:50)? Kalaupun jawaban sudah, berarti hal ini merupakan sebuah prestasi yang menuntut untuk dipelihara dan ditingkatkan. Tetapi jika belum, hendaklah ia belajar bagaimana ia menjadi efektif dalam mengajar dan melaksanakan tugasnya.

Stephen Covey (1998) menyebut seven habit atau tujuh kebiasaan manusia yang berkorelasi dengan kemampuan dasar dalam diri, agar dapat menjadi efektif. Guru dalam hal ini dapat mengadopsinya. Diantara 7 kebiasaan itu adalah sikap proaktif dan sharpen the saw (asah gergaji). Sikap proaktif lahir dari sebuah kesadaran diri. Seorang guru yang memahami peran penting dirinya dalam pendidikan serta tuntutan zaman yang terus berkembang akan memilih respon yang paling cocok untuk “mempersiapkan diri” sebelum, di dalam, atau ketika mengajar. Persiapan ini akan menuntut sejumlah konsekwensi yang diantaranya adalah membaca, mengamati, meneliti dan lain sebagainya. Sedangkan sikap “asah gergaji” lahir dari kemampuan untuk memperbaharui diri dan keinginan untuk mengembangkannya. Pembaharuan tersebut dapat berupa inovasi, improvisasi, pembelajaran, atau merenovasi “talang” diri yang rusak.

Perkembangan dunia dalam berbagai aspeknya meniscayakan berkembangnya guru dan dunia pendidikan supaya bisa mengimbangi atau paling tidak mengejar ketertinggalannya. Percepatan dunia teknologi dan informasi menuntut percepatan diri seorang guru. Mengikuti pelatihan, training, motivasi, penelitian, atau kegiatan-kegiatan pemberdayaan diri merupakan kebutuhan guru kontemporer yang tidak bisa ditunda lagi. Kesempatan studi lanjut juga memiliki arti penting untuk kesuksesan mengajar. Guru harus tetap belajar?
This entry was posted on 22.09 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: