SAHABAT NABI MENURUT AHL AL- SUNNAH DAN SHI’AH
19.08 | Author: nuruliman1972
Telaah Komparatif Konsep 'adalat dan Implikasinya
dalam Penerimaan Hadith



Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi transmitter ajaran Islam dari Nabi kepada ummatnya dengan mendokumentasikan Al-Qur’an dan hadith Nabi. Kredibelitas mereka sebagai perawi diakui dalam bentuk ‘adalat, tetapi semenjak terjadinya al-Fitnah al-Kubra, hal itu menjadi dipertanyakan dikarenakan keterlibatan sahabat dalam peristiwa politik. Kelompok Shi'ah menilai bahwa seluruh sahabat yang terlibat dalam dalam "perampasan" khilafah 'Ali telah murtad, dan hanya segelintir orang sahabat yang masih diakui 'adalat-nya. Khawarij menjadikan peristiwa fitnah dan keterlibatan didalamnya sebagai "barometer" awal untuk mengkafirkan sahabat. Ha Sementara kaum ahl al-Sunnah tetap berpendapat tentang keadilan mereka. Alhasil, Ahl al-Sunnah, Shi’ah, dan Khawarij memiliki penilaian berbeda tentang keadilan para sahabat. Perbedaan pendapat yang cukup tajam ini melahirkan perbedaan sikap dalam penerimaan hadith.
Dalam penelitian ini akan dibandingkan konsep ‘adalat sahabat menurut Ahl al-Sunnah dan Shi’ah. Ada dua alasan membandingkan kedua “aliran” ini, Pertama, mempertanyakan klaim kebenaran masing-masing tentang penilaian terhadap sahabat. Kedua, sebagai komunitas umat Islam terbesar, Ahl al-Sunnah maupun Shi’ah, memegang peran besar dalam menciptakan perdamaian dan kerukunan masyarakat. Karenanya memahami pandangan kedua kelompok tersebut mutlak diperlukan.
Tujuan yang hendak dicapai oleh penelitian ini adalah : Pertama, untuk mendeskripsikan konsep ‘adalat sahabat dan landasan berpijaknya menurut baik menurut Ahlu al-Sunnah maupun Shi’ah. Kedua, untuk mengetahui masalah dan pengaruh yang ditimbulkan oleh perbedaan konsep tersebut. Ketiga, mendeskripsikan persamaan dan perbedaan konsep kedua kelompok diatas serta menentukan ada tidaknya implikasi yang timbul dari persamaan dan perbedaan konsep tersebut terhadap penerimaan hadith. Lebih lanjut penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penemuan panduan dalam berinterkasi dengan hadith Nabi dan rijal hadith, terutama dari golongan sahabat. Hasil penelitian ini juga diharapkan memperkaya khazanah intelektual , terutama di bidang Ulum al-Hadith.
Dalam penelitian ini, penulis memilih studi pustaka yang lebih memerlukan olahan interpretatif daripada uji empirik. Pendekatan yang digunakan adalah Hermeneutik Kontekstual. Pendekatan model ini dibutuhkan dalam rangka meneliti sejauh mana pengaruh subjektifitas terhadap interpretasi objektif sebuah teks. Adapun dalam analisis data digunakan analisa kualitatif disamping metode Komparasi Simetris untuk membandingkan pandangan masing-masing.
Sistematika pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua, mengulas tinjauan umum tentang Ahlu Sunnah dan Shiah. Bab ketiga, menampilkan konsep ‘Adalat sahabat menurut Ahlu al-Sunnah dan Shi’ah, dalil-dalil pijakan tentang konsep tersebut, Sahabat paling utama (afdal al-Sahabat), penilaian mereka terhadap Ahlu al-Bait dan sebagian Kibar Sahabat, juga tentang pemerintahan tiga orang pertama al-Khulafa al-Rashidun. Bab keempat, membahas tentang Implikasi konsep ‘Adalat Sahabat dalam Penerimaan Hadith. Bab kelima, berisi analisa perbandingan terhadap konsep ‘adalat sahabat menurut Ahlu Sunnah dan Shi’ah. Bab keenam, merupakan penutup dengan menampilkan kesimpulan dan beberapa saran yang penulis anggap perlu.

II

Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa ahl al-sunnah adalah pengikut-pengikut sunnah nabi yang berpegang teguh terhadapnya, yakni para sahabat dan pengikut setia mereka hingga akhir zaman. Penamaan ini menurut Ibn Taimiyah dan Abu Mudzaffar al-Isfiraini, disebabkan ittiba' dan mutaba'ah mereka terhadap sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan makna al-jama'ah adalah jama'atul muslimin yang berpegang teguh terhadap aturan Rasul dan sahabatnya. Makna lain dari al-jama'ah adalah muwafaqat al-haq berupa keberpihakan terhadap kebenaran. Makna ini menurut Abu Hanifah kemudian dipersempit pada permasalahan-permasalahan aqidah yang banyak dipertentangkan.
Istilah Shi'ah menurut Muhammad al-'Akburi, seorang tokoh Shi'ah abad kelima yang lebih dikenal sebagai "al-Mufid", adalah pengikut amir al-mukminin 'Ali disertai wala' dan keyakinan tentang imamahnya sepeninggal Rasulullah tanpa adanya pemisah (fasl), menafikan kepemimpinan khalifah-kkhalifah terdahulu serta menjadikan 'Ali sebagai sosok panutan. Persoalan imamah adalah pokok aqidah yang membedakan Shi'ah dari aliran Islam lain, sekaligus menimbulkan adanya sekte-sekter dalam Shi'ah sendiri.

III

'Adalat dapat diterjemahkan dengan berbagai macam makna yang semuanya mengarah kepada "kesempurnaan diri perawi" baik dari sisi keagamaan maupun moral sehingga beritanya layak diterima. Al-Nawawi dan Ibn Kathir misalnya mendefinisikan 'adalat perawi sebagai sosok muslim, baligh, berakal, dan terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan perusak harga diri (muru'at). Meski demikian hal tersebut tidak lalu menunjukkan bahwa perawi yang adil benar-benar tidak memiliki cacat sama sekali. Ukuran yang sering dipakai untuk menetapkan keadilan seorang perawi sebagaimana dijelaskan Sa'id bin al-Musayyab adalah adalah jika kelebihan (fadl) seseorang melebihi kekurangannya, sehingga kelebihan ini dapat menutup kekurangan tersebut.
Dalam pandangan ahl al-Sunnah, sahabat nabi dinilai sebagai sosok-sosok 'udul. Mereka adalah sosok-sosok konsisten dalam beragama, patuh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah, serta tidak mungkin untuk sengaja berbohong atas nama Rasulullah karena keimanan, keimanan, dan muru'at mereka. Sebagai sosok-sosok yang tidak ma'sum dari maksiat, salah dan lupa, mereka segera bertaubat. Senioritas keislaman dan shafa'at Rasul juga merupakan "jaminan" pengampunan atas dosa-dosa mereka.
Prestise sahabat ini menurut al-Sakhawi berarti penerimaan riwayat mereka tanpa adanya takalluf, berupa mencari-cari sebab keadilan mereka dan mencari tazkiyah (rekomendasi). Karena itu permasalahan keadilan sahabat menurut Ibn Salah adalah "permasalah yang sudah selesai" (amr mafrugh minhu) yang tidak perlu dipertanyakan lagi disebabkan adanya ta'dil dari Al-Qur'an, sunnah, dan Ijma' ulama. Perselisihan diantara sahabat yang menyebabkan pertumpahan darah dan peperangan, tidaklah mengurangi kredibelitas mereka sebagai perawi yang adil. Mereka juga "dimaafakan" (ma'dzurun) dalam pertikaian tersebut karena adanya shubhah berupa ketidak jelasan permasalahan. Disebabkan hal tersebut, dalam menyikapi perselisihan di antara sahabat, ahl al-sunnah memilih tawaquf dan tidak berkomentar.
Shi'ah berpandangan lain tentang keadilan sahabat. Sepeninggal nabi hanya terdapat minoritas sahabat yang dapat digolongkan al-shakirin yang tetap beriman kepada Allah dan Rasul, teguh dalam kecintaan mereka, dan bersedia berjuang demi memenuhi konsekwensi keimanan tersebut. Kelompok mayoritas sahabat adalah sosok-sosok yang beriman kepada Allah dan Rasul, tetapi hati mereka "sakit". Mereka selalu mempertimbangkan keuntungan pribadi dalam menerima perintah agama. Praktek jarh (kritik) terhadap sahabat dilakukan dalam rangka difa'
(proteksi) terhadap sunnah rasul dan keridhaan Allah, bukan untuk menghina dan merendahkan mereka.
Pendapat yang menyebut seluruh sahabat sebagai sosok-sosok adil, menurut kaum Shi'ah, dapat mengubur penyelewengan atau justru menutup kesalahan yang dilakukan para sahabat, sekaligus berdampak buruk pada diterimanya hadith dari oang-orang yang belum teruji kepercayaannya sehingga dapat menodai terhadap kredibelitas Nabi dan sahabat-sahabat yang memang benar-benar adil. Senioritas sahabat dalam memeluk Islam dan keutamaan (fadail) mereka tidak menjadikan mereka maksum dan terhindar dari kesalahan.

IV

Diantara pokok-pokok temuan yang berhasil diungkap dalam penelitian ini adalah :
Pertama, Ahl al-Sunnah dan Shi’ah sama-sama menyatakan keadilan sahabat, hanya saja pengakuan Shi’ah berlaku secara parsial untuk beberapa orang sahabat saja, sedangkan Ahl al-Sunnah bersifat menyeluruh.
Kedua, masing-masing kelompok mengakui bahwa para sahabat tidak ma’sum. Menurut Ahl al-Sunnah para sahabat “dimaafkan” dalam pertikaian politik dan “diampuni” Allah dalam kesalahan mereka, hal mana tidak diyakini oleh Shi’ah. Pertikaian dan dosa menurut Shi’ah adalah sarana seleksi untuk para aufiya al-sahabat (sahabat-sahabat yang tulus).
Ketiga, pandangan berbeda diatas melahirkan produk dan koleksi hadith berbeda, dan karenanya “wajar” jika masing-masing memiliki buku-buku hadith yang mandiri yang pada gilirannya melahirkan "produk" hokum dan usuluddin yang berbeda pula.
Dari temuan-temuan tersebut, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa penilaian Shi'ah berakibat pada penolakan-hadith-hadith yang tidak diriwayatkan lewat jalur ahl al-bait seperti hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dan Samurah bin Jundab, dan selanjutnya diidentifikasi sebagai hadith-hadith maudhu'. Ahl al-Sunnah juga menolak hadith-hadith yang diriwayatkan melalui mereka yang "memusuhi" sahabat. Dalam menyusun kaidah umum dalam menilai matan dan sanad hadith disebutkan bahwa setiap hadith yang memuat klaim "perebutan" kekuasaan 'Ali dan wasiat kepemimpinannya diindikasi sebagai hadith palsu.
Klaim Shi'ah (yang memperlakukan sahabat sebagai manusia biasa) menurut penulis sekilas nampak logis, tetapi sebenarnya tidak realistis, karena mereka memang hanya menyebut tiga atau empat atau tidak lebih dari dua belas orang sahabat yang bebas dalam perselisihan tersebut, sehingga mereka tetap 'udul dan beritanya dapat diterima. Perbedaan hitungan jumlah sahabat yang 'adil dalam Shi'ah makin mementahkan klaim tersebut. Sementara itu pendapat ahl al-Sunnah lebih dapat dipegangi meski sekilas nampak tidak logis, tetapi fakta sejarah yang menyatakan bahwa sahabat nabi tetap saling menghormati, menjaga adab dan tidak saling mengkafirkan meski terjadi perselisihan dan pertumpahan darah diantara mereka, menunjukkan bahwa peristiwa-perintiwa sesudah fitnah itu tidak "mencederai" keadilan mereka. Kritik terhadap sahabat tetap dapat dilakukan tetapi dengan standard an ukuran proporsional. Sikap sahabat dan perkataan mereka terhadap yang lain sewajarnya dijadikan rujukan pokok, karena merekalah yang mengetahui detail setiap peristiwa sejarah saat itu.
Akhirnya, berdasarkan perbedaan konsep 'adalat sahabat diantara ahl al-Sunnah dan Shi'ah memang akan melahirkan "sikap keras" sehingga rasanya akan sulit dilakukan taqrib (kompromi) kalaupun tidak disebut mustahil. Meminta kaum Shi'ah untuk tidak mencela sahabat tidaklah mungkin dilakukan, karena aliran ini memang dibangun dengan "meruntuhkan" kepercayaan terhadap sahabat Nabi. Sebaliknya untuk meminta ahl al-Sunnah untuk berhenti "mengkafirkan" kaum Shi'ah sebagai dampak sikap mereka terhadap sahabat, juga tidaklah mudah. Upaya untuk mendekatkan ahl al-Sunnah dan Shiah hendaknya diarahkan untuk membangun toleransi bukan dalam rangka mencari kesepakatan visi dan pandangan, sekaligus menumbuhkan semangat persaudaraan dan menghilangkan anarkisme.
This entry was posted on 19.08 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: