Mewaspadai "Puasa Seolah-Olah"
18.05 | Author: nuruliman1972


14 Agustus 2010

MEWASPADAI “PUASA SEOLAH-OLAH”


Sesepuh saya di Fakultas, pak Din, seringkali mengutip keprihatinan koleganya profesor Zainuddin Maliki terhadap budaya formalisme di masyarakat Indonesia yang seringkali melupakan substansi dan mengesampingkan esensi sesuatu. Ujian akhir dalam bentuk UAN misalnya seringkali “diakali” sehingga tidak mencerminkan kondisi riil hasil proses pendidikan. Meski penyelenggaraannya menguras energi dan biaya semua pihak, tetapi sering tidak berhasil mengambarkan yang sesungguhnya disebabkan banyaknya laku kecurangan. Dengan demikian mereka tidak banyak belajar dan mengambil manfaat dari proses ujian. Karenanya, ujian tersebut bisa saja dibunyikan menjadi “seolah-olah ujian”. Disamping itu, terdapat pula fenomena “seolah-olah kuliah” jika aturan-aturan kuliah tidak ditaati dan hanya mengejar formalitas ijazah/ gelar, atau “seolah-olah menikah” jika kedua pasangan tidak serius menjalaninya dan hanya untuk mengesahkan hasil hubungan gelap yang telah terjadi, dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan ibadah puasa, Rasulullah SAW mengingatkan kaum muslimin tentang banyaknya shaimin yang memiliki kualitas rendah puasa, yang hanya berhenti pada kegiatan fisik perut berupa menahan makan dan minum. Karenanya, beliau menyebut “rubba al-shaim laisa lahu min shiyamih illa al-ju’ ” (HR. Ibn Majah). Pahala yang didapatpun hanyalah rasa lapar dan dahaga. Yang perlu diwaspadai adalah bahwa redaksi hadith tersebut menyebut kata “rubba shaim” atau jumlah yang banyak dari golongan shaimin yang “gagal” berpuasa dengan sebenarnya. Ini berarti pula bahwa hanya sedikit orang saja yang kualitas puasanya baik dan dapat digolongkan kepada golongan sukses berpuasa.

Jika dicermati, pelaksanaan Ibadah-ibadah Islam termasuk puasa di dalamnya, sangat ditentukan kesuksesannya oleh dampak yang ditimbulkan, baik secara pribadi maupun sosial. Hal ini menegaskan bahwa meski sebagian ibadah nampak hanya berdimensi vertikal ilahiyah semata, namun sejatinya ia tetap harus berdimensi sosial horizontal, yang dapat dinikmati manusia dan dirasakan makhluk hidup lainnya, berupa kesalehan pribadi dan sosial. Ibadah yang shalat disebut sukses jika dapat menghantarkan pelakunya dekat dengan Allah, semakin khusyu’, dan juga tunduk kepadaNya. Selanjutnya ia juga harus dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar (tanha ‘an al-fahsya’ wa al-munkar). Tanpa paduan aspek kedua yang melengkapi yang pertama, ia hanyalah ibadah yang menggugurkan kewajiban (yubri’ al-dzimmah) tetapi menjadi kering dan mungkin tidak berpahala.

Kesuksesan seorang mukmin untuk mengelola perut lapar ketika ia berpuasa diharapkan berkorelasi positif terhadap penguasaan diri dan perilakunya sehingga tidak merugikan atau menyakiti orang lain, dan sebaliknya mendatangkan keuntungan. Tidak berlebihan jika Nabi menyebut puasa bukan hanya puasanya perut dari makan dan minum (min al-akl wa al-syurb) tetapi juga puasa dari ucapan kotor dan perbuatan keji (min al-lagw wa al-rafast). Dalam hadith Al-Bukhari, Rasulullah menegaskan bahwa seorang yang berpuasa tetapi tidak meninggalkan kebohongan dan laku kecurangan, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya. Di hadith Al-Bukhari yang lain, Nabi menyebut puasa sebagai perisai (junnah). Ketika berpuasa seorang muslim tidak diperkenankan berkata buruk dan menghardik. Jika diomeli orang lain dan dicela, hendaknya ia berkata (termasuk pada diri sendiri) “saya sedang puasa”. Hal ini dimaksudkan agar emosinya dapat diredam.

Untuk kesuksesan berpuasa, Imam al-Ghazali dalam Ihya’-nya menawarkan kiat-kiat rahasia yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas puasa Ramadhan, diantaranya:

1. Menutup pandangan (ghadd al-bashar) dan menjaganya dari penglihatan bebas terhadap apa-apa yang dicela dan dilarang, dan dari hal-hal yang dapat menyibukkan hati dan melupakannya dari dzikir kepada Allah.

2. Menjaga lisan (hifdz al-lisan) dari perkataan sia-sia, kebohongan, ghibah, adu domba, ungkapan jorok, keras, penuh permusuhan, dan riya’.

3. Menjaga pendengaran (kaff al-sam’) dari mendengar segala yang dibenci. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang haram untuk diucapkan, haram pula untuk didengar. Oleh sebab itu Allah menyamakan antara mendengar kebohongan dengan memakan suht (samma’un li al-kadzibi, akkalun li al-suht).

4. Mengendalikan anggota tubuh (kaff baqiyyat al-jawarih) dari segala dosa. Termasuk dalam hal ini adalah menjaga tangan dan kaki dari kejahatan, dan menjaga perut dari makanan yang syubhat ketika berbuka. Menurut al-Ghazali, tidak ada artinya jika kita berpuasa dari makanan yang halal tetapi berbuka dengan sesuatu yang haram. Hal ini ibarat orang yang membangun istana tetapi merobohkan kota.

5. Hendaknya tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan ketika berbuka sehingga perutnya penuh sesak. Sesungguhnya tidak ada tempat yang lebih dibenci oleh Allah dari perut seorang hamba yang kepenuhan dengan makanan halal. Bagaimana mungkin ia akan menjadikan puasanya sebagai sarana menundukkan hawa nafsu, jika berbuka berubah menjadi ajang balas dendam dalam makan dan minum. Ketika berbuka, seorang muslim harus tetap dapat mengendalikan diri.

6. Ketika berbuka hendaknya hati seorang shaim memiliki perasaan harap-harap cemas (bain al-khauf wa al-raja’). Ia perlu tetap merasa cemas jika puasanya hari ini tidak sah, atau terkurangi pahalanya dengan dosa yang dilakukan. Dan sebaliknya terus berharap bahwa Allah akan melimpahkan rahmat dah kasih sayangNya.

Kiat-kiat berpuasa yang ditawarkan al-Ghazali mengajarkan kita agar dalam berpuasa kita dapat meningkatkan kualitasnya. Dari sekedar puasa perut menuju puasa segenap anggota tubuh, bahkan juga puasa hati. Telaah terhadap teks-teks agama tentang puasa menegaskan bahwa puasa dalam pengertian al-Ghazali tersebut yang dikehendaki oleh Islam. Puasa model ini akan dapat mengantarkan pelakunya menuju derajat muttaqin. Wallahu a’lam.
This entry was posted on 18.05 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 12 Agustus 2010 pukul 20.19 , vizon mengatakan...

Selamat berpuasa Ustadz... maaf lahir batin ya..

Artikelnya sungguh mantap, bisa jadi bahan ceramah nih, hehe.. :)