Khutbah Idul Fithri 1430 H
09.36 | Author: nuruliman1972
IDUL FITHRI: KEMENANGAN MILIK SIAPA ?


الله أكبر x 7 و لله الحمد
الله أكبر كبيرا و الحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة و أصيلا.
الحمد لله نحمده و نستعينه و نستهديه و نستغفره و نعوذ به من شرور أنفسنا و سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلله فلن تجد له و ليا مرشدا، أشهد أن لا إله إلا الله وحدوه لا شريك له، خصنا بخير كتاب أنزل، و أكرمنا بخير نبي أرسل، و أتم علينا النعمة بأعظم منهاج شرع. و أشهد محمدا عبد الله و رسوله، أدي الأمانة و بلغ الرسالة و نصح للأمة علمها من جهالة و هداها من ضلالة فأخرجها من الظلمات إلي النور بإذن ربهم. اللهم فصل و سلم و بارك علي هذا الرسول الكريم محمد الأمين و ارض اللهم عن أله و أصحابه.
أما بعد، فيا عباد الله اوصي نفسي و إياكم بتقوي الله فقد فاز المتقون. قال الله تعالي : وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا(7)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(8)قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا(9)وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا(10) ألأية


Allah Akbar 7 X wa Lillah al-Hamd
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang maha besar, sampailah juga kita di hari yang agung ini: hari kemenangan, hari kelulusan, hari penerimaan hadiah dan hari kita kembali berbuka setelah sebulan penuh kita berpuasa. Rahmat dan salam senantiasa kita haturkan ke haribaan baginda nabi besar, Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan para pengikutnya hingga hari akhir.

Jama’ah Shalat Idul Fithri Yang berbahagia,

Dalam Al-Qur’an, puasa Ramadhan disebut sebagai kewajiban bagi orang yang beriman agar mereka menjadi bertaqwa. Ritual puasa ini dikehendaki Allah terjadi berulang-ulang setiap tahunnya agar proses ini berjalan terus dan berlanjut. Mukmin bertakwa adalah sebuah prestasi idaman, karena merupakan sebuah entitas yang sarat dengan nilai kebaikan. Diantara ciri-ciri orang yang bertaqwa dalam al-Qur’an adalah tersebut adalah:
1. Beriman kepada Allah, Rasulnya, hari Akhir, dan hal-hal yang Ghaib.
2. Memberikan harta yang dicintainya untuk yatim, kerabat, fakir, miskin, dan yang membutuhkan.
3. Memerdekakan budak
4. Mendirikan shalat
5. Menunaikan zakat
6. Menepati janji
7. Shabar dalam keadaan lapang dan susah
8. Mampu menahan marah
9. Suka memaafkan
10. Suka berbuat baik (ihsan)
11. Segera bertaubat dan beristighfar jika berbuat dosa atau menganiaya diri sendiri.

Hadirin, berapa kalikah kita telah berpuasa Ramadhan? Sudahkan kita berani mengaku sebagai seorang bertaqwa yang memiliki kesebelas karakter tersebut? Atau seberapa jauhkan penguasaan kita terhadap ciri-ciri tersebut? Saya yakin, bahwa kesemua kita akan menjawab bahwa kita masih jauh dari harapan untuk berani berkata dan mengaku sudah bertakwa. Sebaliknya kita baru dalam proses dan belajar untuk menjadi bertaqwa. Bulan Ramadhan dan kewajiban berpuasa adalah anugrah terbesar Allah bagi kita untuk mewujudkan keinginan mulia ini.

Ma’asyiral Muslimin, yarhamukullah.
Kita beribadah pada prinsipnya untuk kebaikan kita. Tidak ada kebutuhan Allah terhadap ibadah kita seperti kebergantungan kita pada kepada-Nya dan kebutuhan kita terhadap ritual-ritual ibadah tersebut untuk kebaikan kita sendiri. Kebutuhan kita kepada puasa disebabkan besarnya aspek-aspek nilai dan pembelajaran di dalamnya. Puasa mengajarkan kepada kita pengendalian diri, penguasaan emosi, penundukan nafsu/syahwat, kejujuran, kesederhanaan, kepedulian sosial, serta syukur terhadap nikmat Allah. Karenanya, nabi Muhammad SAW lebih memilih untuk berpuasa daripada ”laku kenyang” setiap harinya.
عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ لِيَجْعَلَ لِي بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا فَقُلْتُ لَا يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ (أحمد\21166)
"Tuhanku menawariku untuk menjadikan seluruh bukit Makkah menjadi emas. Aku jawab : Tidak wahai Tuhanku, aku tetap kenyang sehari dan lapar sehari kemudian atau seperti itu. Jika lapar, aku akan merendah kepada-Mu dan mengingat-Mu, dan jika kenyang aku akan memuji dan besyukur kepada-Mu"
Pilihan yang sama juga dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Ketika menjabat Menteri Pangan dan Logistik saat itu, Yusuf tetap memilih berpuasa, lalu berkata :
إني أخاف أن أشبع، فأنسى الجائع
Aku takut jika terus kekenyangan, maka aku menjadi lupa terhadap orang yang kelaparan

Sayangnya tidak semua orang menyadari pentingnya berpuasa bagi kehidupan beragama dan sosialnya. Banyak orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau berpuasa dengan berbagai alasan. Padahal puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan. Tidak ada alasan untuk meninggalkan puasa bagi seorang muslim kecuali jika ia sedang sakit, atau bepergian, atau wanita hamil, atau menyusui. Padahal membatalkan atau meninggalkan puasa satu hari saja tanpa alasan yang jelas, hal tersebut tidak dapat digantikan dengan puasa satu tahun penuh, apalagi jika meninggalkan puasa Ramadhan selama sebulan. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ (رواه أبو داود)
Kalau berpuasa saja tidak mau, maka bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim dapat menjadi pribadi bertakwa seperti yang disebut al-Qur’an la’allakum tattaqun. Seorang yang berpuasa saja belum ada jaminan dapat menjadi bertaqwa apalagi yang tidak berpuasa.

Sidang Idul Fithri yang dirahmati Allah.
Diantara hambatan tidak berfungsinya puasa sebagai sarana pembelajaran taqwa adalah bahwa puasa kebanyakan orang masih belum beranjak dari pada puasa model lahir menuju puasa batin. Al-Ghazali, menyebutnya sebagai puasa kaum awam, berupa menjaga perut dan kemaluan dari syahwat dan dari hal-hal yang membatalkan. Sedangkan puasa khusus berupa pengendalian seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa atau bahkan puasa khusus al-khusus berupa mempuasakan hati tentang keduniaan belum banyak dilakukan.
Mempuasakan seluruh anggota tubuh secara bersamaan dengan puasanya perut memang bukan perkara mudah. Apalagi mempuasakan hati, tentu lebih berat lagi. Dibutuhkan kemauan yang kuat, bekal ilmu agama yang cukup, serta konsentrasi luar biasa. Tetapi yang perlu dicacat, bahwa Allah tidak hanya menghendaki puasa kita berupa puasa perut dan syahwat saja. Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه البخاري)
Barang siapa yang tidak dapat meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong, maka Allah tidak peduli terhadap puasa yang dilakukan
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ (رواه مسلم)
Puasa adalah perisai. Maka jika seseorang lagi berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor, marah-marah, dan jika dihina oleh orang lain atau dimusuhi, hendaklah berkata bahwa ia sedang berpuasa.

Kedua hadith tersebut memberikan pengertian bahwa dalam berpuasa kita dilarang untuk berbohong, menipu, berkata kotor, marah-marah, dan tetap menjaga emosi meski mendapat perlakuan yang tidak baik. Jika dapat mengendalikan diri kita dari perbuatan-perbuatan tersebut, maka puasa kita dapat dianggap berhasil, tetapi jika tidak maka kita menjadi orang yang gagal dalam berpuasa, karena kita hanya mempuasakan mulut dan syahwat kita, sementara perbuatan dan emosi kita lepas, tanpa kendali. Pahala puasa kita juga dapat rusak dan terhapus disebabkan perbuatan kita yang bertentangan dengan puasa.

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Puasa dari makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari hanya merupakan simbol dari kemampuan kita untuk menahan diri dari syahwat perut dan keinginan seksual. Hakekat puasa itu sendiri sesungguhnya adalah menahan diri dari menuruti keinginan yang tidak diridhai Allah SWT.
Gerakan-gerakan shalat seperti ruku’ dan sujud adalah simbol ketaatan kita kepada Allah SWT. Makna hakiki dari shalat adalah loyalitas mutlak kepada Allah baik di dalam maupun luar shalat. Maka orang yang shalat semestinya taat pula kepada Allah SWT di luar shalat.
Zakat adalah simbol penyucian diri dari sifat-sifat tercela seperti bakhil dan cinta harta, yang diformalkan dengan mengeluarkan sebagian harta yang kita kuasai. Zakat mengajarkan manusia untuk dermawan dan tidak mencintai harta secara membabi buta.
Sementara itu ibadah haji adalah simbol ketaatan pada Allah SWT baik fisik maupun harta yang diformalkan dengan melakukan perjalanan ke baitullah, yang memerlukan bekal harta dan kekuatan fisik. Sedangkan esensi haji adalah totalitas kepasrahan dan ketaatan manusia kepada Allah SWT dalam segala aspek hidup.
Pertanyaan yang menarik untuk disampaikan adalah, mengapa kita mengamalkan Islam sebatas formalitas saja? Jawaban yang sering dikemukakan, adalah karena pendidikan agama yang kita terapkan selama ini hanya pendidikan formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mengedepankan kecerdasan intelektual dan tidak mengintegerasikannya dengan pendidikan moral spiritual. Pendidikan agama juga hanya terkesan dibebankan pada sekolah, lembaga pendidikan, maupun Taman Pendidikan Al-Qur’an. Sementara itu tanggung jawab keluarga dan masyarakat seringkali terlupakan, padahal mayoritas anak-anak menghabiskan waktu di tengah-tengah mereka.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ummat Islam di Indonesia adalah jumlah terbesar. Dari 230 juta penduduk kita mendominasi hampir 90 persennya. Sayangnya meski mayoritas kita merupakan minoritas dalam prestasi, kekayaan, dan amal shalih. Banyak sekali simpul-simbul kekuasaan dan aset negara justru berada di tangan segelintir orang yang non muslim atau bahkan non indonesia. Kenyataaan ini cukup mengenaskan.
Selain itu kita patut nelangsa melihat berbagai peristiwa yang menunjukkan rendahnya tingkat moral, pengendalian diri dan emosi, kejujuran, dan etos kerja generasi kita. Budaya korupsi yang melibatkan kalangan pejabat eksekutif maupun legislatif begitu parah, bahkan juga penegak hukum seperti polisi, jaksa, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi-pun terlibat. Yang lebih mencengangkan lagi adalah perilaku kecurangan dalam Ujian Nasional 2009 dengan modus pembocoran soal maupun jawaban, yang melibatkan oknum murid sekolah, guru, kepala sekolah, dan bahkan Dinas Pendidikan yang terjadi di banyak propinsi di negeri ini. Sebagai sangsi, Depdiknas pun menggelar Ujian Ulang di banyak sekolah tersebut.
Hadirin, jika diibaratkan sebuah sungai moral, maka laku korupsi pejabat-pejabat membuat kekeruhan di hilirnya, tetapi laku pencurangan ujian nasional terjadi di hulu sungai atau bahkan mata airnya. Mari kita bayangkan dampak besar kecurangan yang melibatkan anak didik tersebut di kemudian hari. Kecurangan itu mengajarkan kepada mereka bahwa untuk sukses tidak perlu belajar, tidak perlu bersungguh-sungguh, tidak perlu jujur, tetapi lakukan saja sedikit trik dan upaya mencari bantuan. Generasi kita menjadi tidak mengenal kerja keras dan sebaliknya lebih senang mencari jalan pintas. Kecurangan pada UN ini meruntuhkan sendi-sendi pendidikan moral di sekolah yang telah dirintis sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Sungguh sebuah kebodohan yang melibatkan penyelenggara pendidikan. Prinsip
Kesemua hal tersebut menyisakan pertanyaan, jika para pelaku tersebut adalah kaum muslimin, maka dimanakah letak agama mereka ketika melakoni dosa-dosa dan kekonyolan tersebut? Benarkah ritual-ritual seperti shalat, puasa dan semisalnya tidak berbekas dalam kehidupan sehari-hari mereka? Ataukah ritual-ritual itu telah dilaksanakan secara formalitas saja.

Jama’ah Ied yang dimulyakan Allah,
Realita ini selayaknya menggugah kesadaran kita sebagai muslim sekaligus menyisakan tanda tanya besar. Benarkan praktek beragama kita seperti yang diharapkan Islam sehingga bekas dan pengaruhnya tidak banyak dalam kehidupan ini. Sudahkah amaliah ibadah kita seperti atau mendekati apa yang dicontohkan Nabi dan Para sahabatnya.
Padahal sejarah telah menunjukkan bahwa semakin kaum muslimin berpegang dan mengamalkan agama secara baik, maka kemakmuran dan kesejahteraan hidup dapat dinikmati kaum muslimin. Selama hampir 7 abad lamanya umat Islam mengalamai masa-masa kejayaan. Hal ini senada dengan firman Allah :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(55)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Nur: 55)

Hadirin,
Idul Fithri, saat dimana kejernihan hati dan pikiran mendominasi diri kita, marilah kita kembali melihat secara teliti dan mendalam bagaimanakah derajat ketaqwaan kita. Kita evaluasi kembali pelaksanaan ajaran-ajaran Islam, sudahkan kita menjiwai dan maksimal menunaikannnya. Marilah dengan semangat Ramadhan yang baru usai, kita belajar dan kaji kembali ajaran agama kita dengan lebih seksama. Hanyalah taqwa dalam pengertian yang sebenar-benarnya yang dapat menyelamatkan kita dalam kehidupan dunia dan akhirat kita.
Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk dapat berusaha menjadi manusia-manusia bertaqwa. Amin. Marilah kita sama-sama berdo’a dan memohon kepada Allah SWT.
جعلنا الله و إياكم من الفايزين الأمنين
This entry was posted on 09.36 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 20 September 2009 pukul 07.34 , vizon mengatakan...

Khutbahnya bagus sekali Ustadz...

Ana dan keluarga mohon maaf lahir dan batin ya... Semoga kita menjadi pemenang hakiki dalam Idul Fitri kali ini... :D