Fenomena Pengobatan Ponari
16.49 | Author: nuruliman1972
FENOMENA PONARI DAN PENGOBATAN ALTERNATIF

Diantara berita kontemporer yang cukup menghebohkan beberapa jagat nasional minggu ini adalah munculnya dukun cilik yang berasal dari Dusun Kedongsari Desa Balongsari Kecamatan Megaluh Jombang. Ponari (9) yang masih duduk di kelas III SD ini telah mempraktekkan sebuah praktek pengobatan alternatif dengan cara mencelupkan batu kedalam air putih untuk diminum oleh pasien. Banyak orang mengaku sembuh setelah mendapat pengobatan tak lazim itu.

Pengobatan ala Ponari terus mendapat perhatian masyarakat luas. Ditengarai setidaknya hampir 20.000 pasien datang setiap harinya. Antrian pasien terus memanjang dan berjubel. Korban yang diakibatkan berjubelnya antrianpun berjatuhan. Terhitung telah ada 4 orang tewas dalam mengantri pengobatannya. Ponaripun harus sakit dikarenakan kelelahan fisik setelah mengobati pasien, disamping kehilangan hak-haknya sebagai anak normal untuk dapat bermain dan bersekolah.

Meski telah dihentikan, praktek pengobatan Ponari tetap dinantikan. Ribuan orang tetap setia menunggu di depan pintu pagar yang dibangun menuju sang rumah dukun. Beberapa pasien bahkan rela berebut air comberan bekas mandi sang tabib kecil.
Kesembuhan pasien selalu berhubungan erat dengan sugesti diri. Apa yang terjadi berkenaan dengan Ponari erat kaitannya dengan mitos yang masih melekat erat pada masyarakat kita. Kabar tentang Ponari dan batu bertuah yang dimilikinya, serta kesembuhan beberapa orang lewat pengobatnya telah mengobarkan “kepercayaan” masyarakat secara berlebihan terhadap keampuhan pengobatan Ponari. Dalam keadaan sudah tersugesti seperti ini, rasio, logika, dan nalar tidak lagi berlaku.

Denok Wigati, Dosen Fakultas Psikologi Undar Jombang seperti dimuar di Radar Mojokerto 7 Februari 2009, menyebut ada dua ciri orang yang mudah tersugesti. Pertama, orang yang sedang dalam krisis mental. Misalnya, orang yang sudah lama sakit. Meski sudah menghabiskan biaya besar untuk berobat, penyakitnya tak kunjung sembuh. Sehingga saat mendengar suatu pengobatan di luar nalar yang dikabarkan ampuh, mereka tetap akan mencoba. Kedua, orang yang kurang percaya diri. Misalnya, orang yang menganggap penyakitnya di luar jangkauan medis. Orang yang beranggapan seperti itu, cenderung mencari pengobatan yang tak lazim pula. Semua orang yang datang ke tempat Ponari, lanjut Denok dapat dianggap sudah tersugesti. Dalam perasaan mereka sudah tertanam kuat, bahwa mereka akan sembuh setelah meminum air yang sudah dicelup batu milik Ponari. Pada tingkat yang lebih dahsyat, sugesti akan menimbulkan sebuah hipnosa (hipnotis). Seperti umum diketahui, hipnosa bisa membuat orang melakukan hal-hal di luar kendali dirinya, padahal sebenarnya hanyalah "memainkan" perasaan seseorang.

Senada dengan ungkapan sang psikolog, Ivan Rovian, seorang dokter umum di RSD Jombang menyatakan bahwa dalam dunia kedokteran, sugesti memang turut berpengaruh dalam kesembuhan seseorang. Dalam fenomena pengobatan Ponari, menurut Ivan sugesti masyarakat itu sangat dominan. Air mineral yang dicelup batu itu tidak begitu saja memberikan kesembuhan, jika yang bersangkutan tidak memiliki sugesti yang kuat. Padahal di dunia medis, menumbuhkan sugesti pasien untuk sembuh bukanlah pekerjaan mudah.

Fenomena berbondong-bondongnya masyarakat ke Balongsari untuk mendapatkan kesembuhan dari Ponari menyisakan keprihatikan kita, kaum beriman, terutama terhadap berkembangkan mitos seputar sang dukun cilik. Dalam kacamata agama Islam, perilaku berlebihan yang ditunjukkan masyarakat ini dapat “mencederai” ketulusan keberagamaan (baca: tauhid) seseorang, yang pada gilirannya dapat menghapus amal kebajikan yang telah dilakukan, atau bahkan bisa menggugurkan keislaman seseorang.

Ketika sakit, semua orang memang harus berobat. Setelah memerintahkan berobat, Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh al-Tirmdizi, menegaskan bahwa Allah telah membuat penyakit dan Dia pula yang membuat obatnya. Maka, adalah hak setiap orang untuk bebas memilih hendak berobat ke mana, sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Pengobatan itu bisa dengan ilmu kedokteran modern, pengobatan tradisional, sampai alternatif-komplementari. Yang pasti, ikhtiar untuk mendapat pengobatan harus tetap dilakukan, dalam rangka menjemput rahmat Tuhan berupa kesembuhan. Inilah makna tawakkal sesungguhnya, berusaha baru kemudian berdo’a.

Berobat adalah upaya dan usaha, sedang yang meyembuhkan adalah Allah. Oleh karena itu hendaklah seseorang berobat sesuai dengan kemampuannya tanpa memaksakan diri apabila diluar kemapuannya. Allah berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

Pengobatan alternatif tentu merupakan usaha hamba yang diperbolehkan apabila tidak melanggar syari’at agama disebabkan adanya kesyirikan atau praktek perdukunan terselubung di dalamnya. Nabi dalam hadith riwayat Muslim, melarang kaum muslimin untuk mendatangi kahin (dukun) dan menyebut mereka yang mempercayainya sebagai seseorang yang kafir terhadap nabi Muhammad dan ajarannya.

Karenanya, pengobatan alternatif harus tetap dapat dinalar dan dirasionalkan. Sikap pasien terhadap “tabib” juga tetap tidak boleh berlebihan. Dalam hal ini pengkultusan dukun atau tabib merupakan hal yang dilarang. Bukankah mereka tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangannya.

Agama adalah ‘akal sehat’, demikianlah bunyi pokok bahasan terakhir buku Beragama Dengan Akal Sehat karya Agus Mustofa (2008: 229). Kalau seluruh ajaran Islam saja dapat dinalar dan ditemukan hikmah di dalamnya sehingga menambah mantapnya keimanan seseorang, maka sikap terhadap hidup dan kehidupan hendaknya dapat dibangun atas dasar petunjuk agama dan logika yang benar pula. Demikian pula tentunya dengan sikap kita terhadap penyakit dan upaya mencari kesembuhannya haruslah tetap “wajar”, tidak membabi buta, dan tetap dapat dicerna oleh akal. Pengobatan alternatif yang sering dipraktekkan dengan cara-cara tak lazim dalam hal ini perlu dikaji dengan teliti, sebelum seseorang mengaksesnya. Wallahu a’lam.
|
This entry was posted on 16.49 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 4 Maret 2009 pukul 05.31 , Anonim mengatakan...

bagus Pak Iman, tapi beginilah potret religiusitas kita yang pada kesempatan lain sangat mengaku Islami. lihat aja makam-makam dan batu nisan yang sangat 'seronok bersolek' dibanyak tempat dan gerombolan-gerombolan yang bertandang dengan gamis rapi, tasbih dan tidak ketinggalan terselipkan segenggam kemenyan. eh........eh, Pak Iman kelihatannya akan lebih manis bila artikelnya dikasih date postingnya, sukses. wassalam (Pak-e Vina)